Amarise menutup pintu mobil kasar. Air matanya sudah mengering, tapi raut tegang, takut dan gemetar masih ia rasakan. “Nyonya! Sebaiknya Anda memikirkan hal ini baik-baik! Tuan harus tahu—““Siapa kamu sampai memintaku menurutimu, ha?!” Ia berbalik dan menatap tajam anak buah Nic yang sedari awal lebih banyak interaksi dengan Amarise.Mereka semua baik dan tunduk dengan perintah Nic maupun Amarise. Tapi pria di hadapannya inilah yang kali pertama Amarise minta tolong. “Sudah kukatakan untuk menyiapkan pesawat sekarang juga! Katakan pada pilot pribadi Nic, jika aku akan melakukan penerbangan!” titah Amarise.Denyutan kepala dan gemuruh di dadanya semakin tidak terelakkan. Ia meremat kedua jemari tangan seraya mensugesti pikiran sendiri. “Apa yang kamu tunggu?! Aku akan segera mengemasi pakaianku!”“Maaf, Nyonya. Anda perlu memberitahu Tuan Isaac mengenai kepergian Anda. Ini perjalanan jauh dan aku merasa Tuan akan marah jika Anda tidak memberi kabar sedikitpun.”Pikiran Amarise memang
“Jadi, selama ini kamu menenangkan diri di mana? Aku sudah mencarimu sampai bertanya ke teman dekatmu termasuk Falisha.”Amarise mendengkus dalam hati saat nama itu diucap Dion. Pria yang duduk berseberangan dengannya bertanya sendu, penuh kekhawatiran dan menganggap Lisha—nama akrab—itu dilabeli sebagai teman, bukan istri.“Ke manapun yang penting pikiran dan hatiku bisa terobati dari kesedihan,” jawab Amarise datar.“Oh, iya. Falisha sangat mengkhawatirkanmu dan dia merasa tenang setelah aku mengabarinya.” Dion tersenyum kecil seraya meraih kedua tangan Amarise di atas meja. “Kami berdua senang karena kamu sudah pulang. Aku merindukan saat-saat kita bisa pergi menjelajah bertiga atau bersama yang lain,” lanjutnya.Amarise berdeham dengan anggukan sekilas. “Aku juga.”Aku lebih menginginkan momen itu terulang dengan jeli di mataku. Melihat kalian berdua berbicara akrab, saling menimpali dengan bahagia. Kupikir adalah situasi di mana kalian bahagia sebagai teman, bukan pasangan hidup.
Tangan Amarise gemetar mengutak atik ponsel. Berulang kali ia menelepon dan meninggalkan pesan pada Nic, tapi tidak satu pun mendapatkan balasan dari pria itu. “Ayolah, Nic. Tolong angkat agar aku bisa menjelaskannya padamu,” lirih Amarise.Suara perempuan itu sudah sama gemetar dengan tangannya. Dada Amarise bergemuruh, merasa sesak sekaligus khawatir diabaikan begitu saja oleh Nic.Ia masih ingat tatapan dingin dan tajam Nic setelah mengetahui Amarise berbohong padanya. Karena sejak awal Amarise tidak memberitahu kepulangannya. Setiap Nic meminta foto Amarise atau melakukan panggilan video, Amarise akan menolak dengan berbagai alasan.“Nicholas, tolong angkat teleponku.” tangis Amarise pecah.Sambungan terhubung, tapi tidak satupun diangkat atau dibaca Nic saat Amarise meninggalkan pesan.“Halo, Mia? Apa Nic sedang bersamamu? Tolong berikan telepon ini padanya! Aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami berdua!”“Maaf, Nyonya. Tuan sudah pergi kurang dari lima
Amarise mengerang perlahan dengan tubuh yang terasa remuk. Suara tawa sumbang itu mulai menyusup ke indera pendengaran, membuat Amarise membuka kelopak matanya. “Halo, Sayang. Cukup lama juga kamu tertidur dengan posisi duduk. Sakit dan tidak nyaman, ya?”“Dion?!”Detik itu pula Amarise memberontak, baru menyadari ia duduk dengan kedua tangan terikat di belakang. Kedua kaki Amarise terikat kuat hingga dirinya tidak bisa berdiri atau sekadar menendang aset berharga Dion. “Bajingan! Kamu hampir membunuhku!”Pria itu tertawa bahagia. “Syukurlah kamu sudah ingat usahaku agar bisa membawamu ke mari.”“Setelah pertengkaran dan terbongkarnya perselingkuhanku. Malam itu juga aku memutuskan untuk mencari celah masuk ke rumahmu. Aku berusaha membobol pintu dapur dan baru bisa masuk melalui bagian jendela.”Deretan gigi rapi itu ditunjukan dan membuat tubuh Amarise bergidik ngeri. Ia berusaha menutupi rasa takut agar Dion tidak semakin bertindak gila.Ia sudah mengumpulkan ingatan saat Dion menu
Nic menekan tombol sekat antara kursi penumpang belakang dan depan. “Duduk di sini,” titah Nic meraih lembut tubuh Amarise.“Pelan-pelan, ya,” cicit Amarise takut melihat Nic sudah menuangkan cairan. “Tolong jangan lampiaskan sisa kemarahanmu saat menyembuhkan lukaku,” tambah Amarise masih berpikir negatif.“Apa ucapanku meninggalkan jejak seram yang tidak bisa hilang diingatanmu?” Nic mengulum senyum memerhatikan sejenak Amarise masih belum bisa memercayainya.Bibir perempuan itu mengerucut seraya bertahan saat perih di sudut bibir dan sisa yang menjalar di kedua pipinya masih terasa. “Aku sangat takut melihat kali pertama kita bertengkar tanpa memasukkan pihak ketiga. Ini pertengkaran pertama dan aku sendirilah yang memulainya,” aku Amarise.Ia meringis ketika cairan itu sudah terasa di sudut pipinya. Nic melakukan dengan sangat lembut, tapi sepertinya Amarise sendirilah yang tidak bisa bersikap tangguh. Manik coklatnya kembali berlinang air mata. “Kamu masih menyukai bibirku, kan?
Amarise kian merasakan ada kupu-kupu di perutnya dengan ucapan Nic yang selalu lekat diingatan. “Kamu ingin ke mana?” Nic baru saja merebahkan tubuh Amarise setelah membopong keluar dari mobil. Ia tidak membiarkan perempuan itu turun untuk bersama-sama memasuki kamar apartemen yang malam ini disewa Nic. “Merebahkanmu di ranjangku. Apalagi, hm? Kamu ingin aku melemparmu dari atas lantai lima belas ini?” Bibir Amarise mengerucut mendapati Nic tertawa, berhasil membuat suasana hati Amarise berubah kesal. “Selama perjalanan ke mari kamu sangat memperlakukanku begitu manis. Kamu mengobati lukaku, mengecek bagian kulit tubuhku karena harus diikat kuat.” “Bahkan, aku tidak diperbolehkan turun dari pangkuanmu dan berakhir memasuki unit dengan dibopong. Sikap romantismu berubah dalam sekejam dengan mulut sialanmu, Nicholas!” Nic tergelak puas, tapi tetap membiarkan posisi tubuhnya membungkuk karena masih di rangkul Amarise. Tangan Nic terulur mengusap anak rambut yang menghalangi paras ca
Dion tertawa sumbang dengan pakaian rumah sakit di tubuhnya. “Dasar bodoh! Kalian sudah menembak kakiku, membuat wajahku babak belur dan menendang kepala juga dadaku, tapi masih membawaku ke rumah sakit?”Pria itu menyeringai sinis penuh ejekan. “Seharusnya kalian langsung membunuhku saja dan tidak perlu sampai menunggu keberhasilan operasi di kakiku lancar!” tawanya menggema di ruang perawatan.“Lihatlah pria bodoh itu. Sekarang dia bisa tertawa dengan perban di kepala dan kaki, sedangkan dia tidak berpikir mengenai rencana kita ini,” cetus salah satu anak buah Nic dengan sorot datar.Bibir Dion terkatup rapat, mulai merasa tertekan dan tidak berkutik ditatap dingin ketiga orang bertubuh besar itu.Ia menelan saliva susah payah. “Bunuh saja aku sekarang daripada harus memikirkan apa saja yang ada dipikiran kalian,” balasnya angkuh, menutupi ketakutan dan gemuruh di dadanya.Mereka bertiga kompak menyeringai tipis bak iblis yang membuat sekujur tubuh Dion gemetar. “Tanpa perlu kamu mi
“Bibi ... aku mau gendong Putih!”“Biar aku saja, Bi! Jangan dengarkan permintaan dia!”“Kalian tidak boleh bertengkar. Dengan saudara harus saling menyayangi dan lebih baik coba bergantian saja. Jangan saling menghasut, ya!”“Amarise memang masih cukup muda dibandingkan dengan kamu yang sudah memasuki awal tiga puluh tahun. Di balik sikap manja dan terkadang membuatmu kesal. Pasti ada beberapa hal yang akan selalu kamu rindukan pada istrimu itu,” cetus Tuan Isaac menoleh ke samping.Ia bisa melihat senyum kecil dan pandangan Nic terkunci pada Amarise. Manik coklat itu terus mengikuti gerak istrinya yang bermain bersama Putih ditemani dua keponakan Nic.Amarise menghilang setelah menyerahkan Putih pada dua anak kecil, lalu bergegas masuk saat Nic mendengar suara kakak perempuannya memanggil. “Papa benar. Semakin aku mengenali Rishi. Semakin banyak momen yang kami berdua habiskan dan membuatku terus merindukan bagian menarik di antara kami.”Pria itu memandang sang Ayah saat mereka men