Tangan Amarise gemetar mengutak atik ponsel. Berulang kali ia menelepon dan meninggalkan pesan pada Nic, tapi tidak satu pun mendapatkan balasan dari pria itu. “Ayolah, Nic. Tolong angkat agar aku bisa menjelaskannya padamu,” lirih Amarise.Suara perempuan itu sudah sama gemetar dengan tangannya. Dada Amarise bergemuruh, merasa sesak sekaligus khawatir diabaikan begitu saja oleh Nic.Ia masih ingat tatapan dingin dan tajam Nic setelah mengetahui Amarise berbohong padanya. Karena sejak awal Amarise tidak memberitahu kepulangannya. Setiap Nic meminta foto Amarise atau melakukan panggilan video, Amarise akan menolak dengan berbagai alasan.“Nicholas, tolong angkat teleponku.” tangis Amarise pecah.Sambungan terhubung, tapi tidak satupun diangkat atau dibaca Nic saat Amarise meninggalkan pesan.“Halo, Mia? Apa Nic sedang bersamamu? Tolong berikan telepon ini padanya! Aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami berdua!”“Maaf, Nyonya. Tuan sudah pergi kurang dari lima
Amarise mengerang perlahan dengan tubuh yang terasa remuk. Suara tawa sumbang itu mulai menyusup ke indera pendengaran, membuat Amarise membuka kelopak matanya. “Halo, Sayang. Cukup lama juga kamu tertidur dengan posisi duduk. Sakit dan tidak nyaman, ya?”“Dion?!”Detik itu pula Amarise memberontak, baru menyadari ia duduk dengan kedua tangan terikat di belakang. Kedua kaki Amarise terikat kuat hingga dirinya tidak bisa berdiri atau sekadar menendang aset berharga Dion. “Bajingan! Kamu hampir membunuhku!”Pria itu tertawa bahagia. “Syukurlah kamu sudah ingat usahaku agar bisa membawamu ke mari.”“Setelah pertengkaran dan terbongkarnya perselingkuhanku. Malam itu juga aku memutuskan untuk mencari celah masuk ke rumahmu. Aku berusaha membobol pintu dapur dan baru bisa masuk melalui bagian jendela.”Deretan gigi rapi itu ditunjukan dan membuat tubuh Amarise bergidik ngeri. Ia berusaha menutupi rasa takut agar Dion tidak semakin bertindak gila.Ia sudah mengumpulkan ingatan saat Dion menu
Nic menekan tombol sekat antara kursi penumpang belakang dan depan. “Duduk di sini,” titah Nic meraih lembut tubuh Amarise.“Pelan-pelan, ya,” cicit Amarise takut melihat Nic sudah menuangkan cairan. “Tolong jangan lampiaskan sisa kemarahanmu saat menyembuhkan lukaku,” tambah Amarise masih berpikir negatif.“Apa ucapanku meninggalkan jejak seram yang tidak bisa hilang diingatanmu?” Nic mengulum senyum memerhatikan sejenak Amarise masih belum bisa memercayainya.Bibir perempuan itu mengerucut seraya bertahan saat perih di sudut bibir dan sisa yang menjalar di kedua pipinya masih terasa. “Aku sangat takut melihat kali pertama kita bertengkar tanpa memasukkan pihak ketiga. Ini pertengkaran pertama dan aku sendirilah yang memulainya,” aku Amarise.Ia meringis ketika cairan itu sudah terasa di sudut pipinya. Nic melakukan dengan sangat lembut, tapi sepertinya Amarise sendirilah yang tidak bisa bersikap tangguh. Manik coklatnya kembali berlinang air mata. “Kamu masih menyukai bibirku, kan?
Amarise kian merasakan ada kupu-kupu di perutnya dengan ucapan Nic yang selalu lekat diingatan. “Kamu ingin ke mana?” Nic baru saja merebahkan tubuh Amarise setelah membopong keluar dari mobil. Ia tidak membiarkan perempuan itu turun untuk bersama-sama memasuki kamar apartemen yang malam ini disewa Nic. “Merebahkanmu di ranjangku. Apalagi, hm? Kamu ingin aku melemparmu dari atas lantai lima belas ini?” Bibir Amarise mengerucut mendapati Nic tertawa, berhasil membuat suasana hati Amarise berubah kesal. “Selama perjalanan ke mari kamu sangat memperlakukanku begitu manis. Kamu mengobati lukaku, mengecek bagian kulit tubuhku karena harus diikat kuat.” “Bahkan, aku tidak diperbolehkan turun dari pangkuanmu dan berakhir memasuki unit dengan dibopong. Sikap romantismu berubah dalam sekejam dengan mulut sialanmu, Nicholas!” Nic tergelak puas, tapi tetap membiarkan posisi tubuhnya membungkuk karena masih di rangkul Amarise. Tangan Nic terulur mengusap anak rambut yang menghalangi paras ca
Dion tertawa sumbang dengan pakaian rumah sakit di tubuhnya. “Dasar bodoh! Kalian sudah menembak kakiku, membuat wajahku babak belur dan menendang kepala juga dadaku, tapi masih membawaku ke rumah sakit?”Pria itu menyeringai sinis penuh ejekan. “Seharusnya kalian langsung membunuhku saja dan tidak perlu sampai menunggu keberhasilan operasi di kakiku lancar!” tawanya menggema di ruang perawatan.“Lihatlah pria bodoh itu. Sekarang dia bisa tertawa dengan perban di kepala dan kaki, sedangkan dia tidak berpikir mengenai rencana kita ini,” cetus salah satu anak buah Nic dengan sorot datar.Bibir Dion terkatup rapat, mulai merasa tertekan dan tidak berkutik ditatap dingin ketiga orang bertubuh besar itu.Ia menelan saliva susah payah. “Bunuh saja aku sekarang daripada harus memikirkan apa saja yang ada dipikiran kalian,” balasnya angkuh, menutupi ketakutan dan gemuruh di dadanya.Mereka bertiga kompak menyeringai tipis bak iblis yang membuat sekujur tubuh Dion gemetar. “Tanpa perlu kamu mi
“Bibi ... aku mau gendong Putih!”“Biar aku saja, Bi! Jangan dengarkan permintaan dia!”“Kalian tidak boleh bertengkar. Dengan saudara harus saling menyayangi dan lebih baik coba bergantian saja. Jangan saling menghasut, ya!”“Amarise memang masih cukup muda dibandingkan dengan kamu yang sudah memasuki awal tiga puluh tahun. Di balik sikap manja dan terkadang membuatmu kesal. Pasti ada beberapa hal yang akan selalu kamu rindukan pada istrimu itu,” cetus Tuan Isaac menoleh ke samping.Ia bisa melihat senyum kecil dan pandangan Nic terkunci pada Amarise. Manik coklat itu terus mengikuti gerak istrinya yang bermain bersama Putih ditemani dua keponakan Nic.Amarise menghilang setelah menyerahkan Putih pada dua anak kecil, lalu bergegas masuk saat Nic mendengar suara kakak perempuannya memanggil. “Papa benar. Semakin aku mengenali Rishi. Semakin banyak momen yang kami berdua habiskan dan membuatku terus merindukan bagian menarik di antara kami.”Pria itu memandang sang Ayah saat mereka men
Kelopak mata Amarise terbuka perlahan. Senyum manis itu terlihat di paras cantiknya. Ia selalu menyukai bangun tidur berada dalam pelukan Nic.Tangan kanan Amarise terangkat membelai paras tampan Nic. Bentuk alis, hidung mancung, bibir kemerahan dan rahang tegas serta permukaan wajah bersih itu menarik perhatian Amarise, selain sikap pria itu yang dapat memikat hatinya. “Suamiku sangat tampan,” cetusnya tidak bisa menyembunyikan senyum dan debaran kuat di dada.Amarise bergerak maju, menumpukan sebelah siku dan mencari pendaratan sempurna di bibir suaminya. Cup! Ia bersemu dan berniat menarik diri, tapi tersentak mendapati pinggangnya ditarik kuat dan pagutan lembut itu menyapanya. “Aku memang selalu tampan di matamu,” bisik Nic membuka mata dan bersitatap jahil dengan sang istri.“Aku pikir kamu masih tidur,” gerutu Amarise merasakan pipinya terasa panas menjalar hingga memerah di leher jenjang.Nic tertawa kecil dan memberikan kecupan ringan di permukaan wajah Amarise. “Apa kita aka
“Perempuan muda itu masih bersikukuh ingin bertemu Anda, Nyonya.”Raut wajah perempuan dewasa berstatus manajer restoran itu terlihat datar sambil menutup buku pemeriksaan keuangan di hadapannya. “Sudah aku katakan untuk membuatnya pergi dari sini. Aku tidak memiliki banyak waktu, selain itu dia tidak membuat janji temu padaku,” cetusnya datar.Kurang dari satu jam lagi ia harus menghadiri tepat waktu pentas dari sekolah anaknya. Waktu berlebih sudah cukup tersita saat harus berkunjung ke gerai toko roti miliknya sendiri, lalu melanjutkan pekerjaan yang sudah ditekuni selama hampir tiga tahun terakhir ini. “Aku harus datang tepat waktu ke sekolah anakku.”“Katakan saja untuk membuat janji temu terlebih dahulu. Aku tidak ada waktu menyambut orang asing hari ini,” lanjutnya berdiri seraya mengambil tas kecilnya.“Tapi perempuan itu mengatakan, jika dia mengenal Anda, Nyonya. Terlebih dia mengenal Anda sebaik mengenal Tuan Nicholas.”Stiletto dengan tinggi hak kurang dari lima senti itu