Perempuan yang malam ini membalut tubuhnya dengan gaun tidur sebatas lutut mendatangi dapur. Ia melihat dua pelayan baru saja menyelesaikan pekerjaannya. “Kalian akan pergi ke paviliun sekarang?”“Iya, Nyonya. Kami berdua baru saja menyelesaikan pekerjaan termasuk membuatkan Tuan minuman.”Tangan Amarise berhenti saat nyaman menyisir rambutnya yang hampir kering. Ia nyaris terbelalak. “Suamiku? Dia sudah pulang?”“Tuan sudah sampai sekitar setengah jam lalu, Nyonya. Aku mengantar minuman Tuan ke kamar tamu di sudut kamar tamu lantai atas,” timpal salah satu lagi, membuat Amarise tercengang.Sepertinya ia terlalu sibuk menikmati berendam dalam bathtub tanpa menyadari kepulangan Nic. Ia juga bertanya mengenai jam pada salah satu pelayan, lalu mengumpati jika Amarise lah yang melupakannya.Ini sudah lebih dari jam yang ditepati Nic untuk pulang. “Baiklah. Kalian bisa pergi sekarang. Terimakasih atas pekerjaan kalian hari ini,” cetus Amarise bergegas menemui Nic.Letupan bahagia mulai ter
“Beberapa bulan lalu, ada pria yang sangat menyebalkan dan dia berkata padaku lengannya menjadi kebas karena menahan kepalaku sebagai pengganti bantal.”“Siapa pria itu?” tanya Nic menarik Amarise lebih dekat dalam pelukannya.Ia membiarkan lengannya menjadi sandaran Amarise hingga mereka bangun tidur. Pagi ini Nic merasa lebih rileks dan berbeda dari hari-hari sebelumnya. Bercinta memang bisa membuat perasaan dan pikiran Nic nyaman.Amarise menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan jengah. “Dia pria menyebalkan, tapi aku sangat menyayanginya,” cibir Amarise melihat Nic sedang menahan senyum jahil.“Oh, iya? Apa aku mengenal pria itu? Katakan nama lengkapnya dan aku akan mengatakan jika dia sangat naif,” cetus Nic berubah serius.Perempuan cantik itu mendengkus kesal. Terlebih tangan bebas Nic di pinggangnya sudah naik membelai punggung polos Amarise. Mereka masih berada dalam satu selimut yang sama dan beberapa detik lalu memberikan kecupan selamat pagi.“Dirimu adalah pria berengsekn
Amarise menutup pintu mobil kasar. Air matanya sudah mengering, tapi raut tegang, takut dan gemetar masih ia rasakan. “Nyonya! Sebaiknya Anda memikirkan hal ini baik-baik! Tuan harus tahu—““Siapa kamu sampai memintaku menurutimu, ha?!” Ia berbalik dan menatap tajam anak buah Nic yang sedari awal lebih banyak interaksi dengan Amarise.Mereka semua baik dan tunduk dengan perintah Nic maupun Amarise. Tapi pria di hadapannya inilah yang kali pertama Amarise minta tolong. “Sudah kukatakan untuk menyiapkan pesawat sekarang juga! Katakan pada pilot pribadi Nic, jika aku akan melakukan penerbangan!” titah Amarise.Denyutan kepala dan gemuruh di dadanya semakin tidak terelakkan. Ia meremat kedua jemari tangan seraya mensugesti pikiran sendiri. “Apa yang kamu tunggu?! Aku akan segera mengemasi pakaianku!”“Maaf, Nyonya. Anda perlu memberitahu Tuan Isaac mengenai kepergian Anda. Ini perjalanan jauh dan aku merasa Tuan akan marah jika Anda tidak memberi kabar sedikitpun.”Pikiran Amarise memang
“Jadi, selama ini kamu menenangkan diri di mana? Aku sudah mencarimu sampai bertanya ke teman dekatmu termasuk Falisha.”Amarise mendengkus dalam hati saat nama itu diucap Dion. Pria yang duduk berseberangan dengannya bertanya sendu, penuh kekhawatiran dan menganggap Lisha—nama akrab—itu dilabeli sebagai teman, bukan istri.“Ke manapun yang penting pikiran dan hatiku bisa terobati dari kesedihan,” jawab Amarise datar.“Oh, iya. Falisha sangat mengkhawatirkanmu dan dia merasa tenang setelah aku mengabarinya.” Dion tersenyum kecil seraya meraih kedua tangan Amarise di atas meja. “Kami berdua senang karena kamu sudah pulang. Aku merindukan saat-saat kita bisa pergi menjelajah bertiga atau bersama yang lain,” lanjutnya.Amarise berdeham dengan anggukan sekilas. “Aku juga.”Aku lebih menginginkan momen itu terulang dengan jeli di mataku. Melihat kalian berdua berbicara akrab, saling menimpali dengan bahagia. Kupikir adalah situasi di mana kalian bahagia sebagai teman, bukan pasangan hidup.
Tangan Amarise gemetar mengutak atik ponsel. Berulang kali ia menelepon dan meninggalkan pesan pada Nic, tapi tidak satu pun mendapatkan balasan dari pria itu. “Ayolah, Nic. Tolong angkat agar aku bisa menjelaskannya padamu,” lirih Amarise.Suara perempuan itu sudah sama gemetar dengan tangannya. Dada Amarise bergemuruh, merasa sesak sekaligus khawatir diabaikan begitu saja oleh Nic.Ia masih ingat tatapan dingin dan tajam Nic setelah mengetahui Amarise berbohong padanya. Karena sejak awal Amarise tidak memberitahu kepulangannya. Setiap Nic meminta foto Amarise atau melakukan panggilan video, Amarise akan menolak dengan berbagai alasan.“Nicholas, tolong angkat teleponku.” tangis Amarise pecah.Sambungan terhubung, tapi tidak satupun diangkat atau dibaca Nic saat Amarise meninggalkan pesan.“Halo, Mia? Apa Nic sedang bersamamu? Tolong berikan telepon ini padanya! Aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi di antara kami berdua!”“Maaf, Nyonya. Tuan sudah pergi kurang dari lima
Amarise mengerang perlahan dengan tubuh yang terasa remuk. Suara tawa sumbang itu mulai menyusup ke indera pendengaran, membuat Amarise membuka kelopak matanya. “Halo, Sayang. Cukup lama juga kamu tertidur dengan posisi duduk. Sakit dan tidak nyaman, ya?”“Dion?!”Detik itu pula Amarise memberontak, baru menyadari ia duduk dengan kedua tangan terikat di belakang. Kedua kaki Amarise terikat kuat hingga dirinya tidak bisa berdiri atau sekadar menendang aset berharga Dion. “Bajingan! Kamu hampir membunuhku!”Pria itu tertawa bahagia. “Syukurlah kamu sudah ingat usahaku agar bisa membawamu ke mari.”“Setelah pertengkaran dan terbongkarnya perselingkuhanku. Malam itu juga aku memutuskan untuk mencari celah masuk ke rumahmu. Aku berusaha membobol pintu dapur dan baru bisa masuk melalui bagian jendela.”Deretan gigi rapi itu ditunjukan dan membuat tubuh Amarise bergidik ngeri. Ia berusaha menutupi rasa takut agar Dion tidak semakin bertindak gila.Ia sudah mengumpulkan ingatan saat Dion menu
Nic menekan tombol sekat antara kursi penumpang belakang dan depan. “Duduk di sini,” titah Nic meraih lembut tubuh Amarise.“Pelan-pelan, ya,” cicit Amarise takut melihat Nic sudah menuangkan cairan. “Tolong jangan lampiaskan sisa kemarahanmu saat menyembuhkan lukaku,” tambah Amarise masih berpikir negatif.“Apa ucapanku meninggalkan jejak seram yang tidak bisa hilang diingatanmu?” Nic mengulum senyum memerhatikan sejenak Amarise masih belum bisa memercayainya.Bibir perempuan itu mengerucut seraya bertahan saat perih di sudut bibir dan sisa yang menjalar di kedua pipinya masih terasa. “Aku sangat takut melihat kali pertama kita bertengkar tanpa memasukkan pihak ketiga. Ini pertengkaran pertama dan aku sendirilah yang memulainya,” aku Amarise.Ia meringis ketika cairan itu sudah terasa di sudut pipinya. Nic melakukan dengan sangat lembut, tapi sepertinya Amarise sendirilah yang tidak bisa bersikap tangguh. Manik coklatnya kembali berlinang air mata. “Kamu masih menyukai bibirku, kan?
Amarise kian merasakan ada kupu-kupu di perutnya dengan ucapan Nic yang selalu lekat diingatan. “Kamu ingin ke mana?” Nic baru saja merebahkan tubuh Amarise setelah membopong keluar dari mobil. Ia tidak membiarkan perempuan itu turun untuk bersama-sama memasuki kamar apartemen yang malam ini disewa Nic. “Merebahkanmu di ranjangku. Apalagi, hm? Kamu ingin aku melemparmu dari atas lantai lima belas ini?” Bibir Amarise mengerucut mendapati Nic tertawa, berhasil membuat suasana hati Amarise berubah kesal. “Selama perjalanan ke mari kamu sangat memperlakukanku begitu manis. Kamu mengobati lukaku, mengecek bagian kulit tubuhku karena harus diikat kuat.” “Bahkan, aku tidak diperbolehkan turun dari pangkuanmu dan berakhir memasuki unit dengan dibopong. Sikap romantismu berubah dalam sekejam dengan mulut sialanmu, Nicholas!” Nic tergelak puas, tapi tetap membiarkan posisi tubuhnya membungkuk karena masih di rangkul Amarise. Tangan Nic terulur mengusap anak rambut yang menghalangi paras ca
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb