Jantung Amarise berdegup kuat. Kedua sudut bibirnya masih tertarik, membentuk lengkungan bahagia. Telapak tangan kanan dan kirinya bertumpu memegang bahu Nic, membiarkan pria itu menggowes sepeda di sekitar area mansion.Area luas ini tidak pernah Amarise sisir. Ia hanya lewat saat berada di dalam mobil, bukan dalam momen manis seperti ini. “Kita akan duduk di sana?!” tanya Amarise sedikit menaikkan volume suara.Tatapannya mengarah pada danau buatan, cukup luas dengan warna cantik yang memperlihatkan perbukitan jarak jauh. Matanya berbinar senang mendapati jalur Nic menuju ke sana. “Ya. Di sana tempat yang tepat untuk beristirahat,” balas pria itu.“Aku pikir kamu akan mengajakku bersepeda.”“Menurutmu ini bukan bersepeda?” tanya balik Nic datar, masih dengan menggowes.Bibir Amarise mengerucut. “Dua sepeda. Bukan satu untuk berdua,” jelasnya setengah kesal.Nic mengedik sekilas. “Aku hanya memiliki satu sepeda. Tidak berniat mengoleksi, kecuali untuk mobil dan motor.”Amarise mencib
“Kenapa kamu mengijinkan Nic untuk menyelesaikan pekerjaannya hari ini? Dia juga sudah memberitahumu untuk lembur. Calon suami macam apa, hingga membiarkan calon istrinya mengurus persiapan sendiri?!”“Pekerjaan Nic memang sedang banyak, Sayang. Aku sudah menawarinya untuk mengalihkan tugas itu pada asisten pribadiku yang juga sering saling membantu dengan putra kita,” jelas Tuan Isaac.“Lalu, kenapa kamu biarkan saja jika masih ada pilihan lain?”“Ma,” sela Amarise lirih.Ia tertunduk takut mendapati calon ibu mertua berdebat dengan suaminya. Amarise sejak awal ditemani Nyonya Isaac untuk mencoba gaun pernikahan yang telah jadi. Momen ini sangat dinantikan Nyonya Isaac agar kehadiran Nic bisa melengkapi atmosfer romantis seperti pasangan calon pengantin lain.“Sebentar, Amarise. Semalam Nic sudah menyanggupi permintaanku, lalu beberapa waktu lalu aku menunggunya sambil menemanimu memakai gaun. Aku pikir dia akan datang terlambat, tapi justru suamiku yang datang dan memberi kabar ini.
Amarise merasakan gugup di antara momen sakral sejak ia memasuki gereja. Para tamu undangan terbatas dan tanpa media, tidak mengurangi rasa sedih dan bahagia Amarise. Seharusnya di antara kenalan keluarga Isaac, ada perwakilan dari pihak Amarise. Tapi orangtua pun tidak ada dan membuat dirinya teramat sedih. Ia sudah berusaha meredam air mata sedari awal. Namun, air mata Amarise luluh saat di antara ia dan Nic mengucapkan janji suci. Ia menangis, tidak terbesit jika ini adalah pernikahan sandiwara dengan intonasi dan kalimat Nic yang teramat menyentuh. “Aku akan selalu menjagamu,” bisik Nic mengakhiri ciuman pasangan suami istri, lalu mengusap lembut kedua pipi Amarise yang basah oleh air mata. Sorot mata dan kalimat lembut itu seolah meminta Amarise menggali lebih jauh. Ia merasa jika ucapan itu bukanlah kalimat yang dilakukan atas dasar sandiwara. Perasaan haru melingkupi Amarise dan berharap ia tidak salah mengartikan ucapan Nic tadi. Keluarga besar Nic melanjutkan pesta di hal
“Kamar Anda telah siap, Tuan,” ucap pramugari cantik berdiri di sisi duduk Nic.Pria itu mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu mempersilakan perempuan itu berlalu. Tatapan Nic terarah pada Amarise yang sudah tertidur.Nic berdiri mendekati Amarise dan bergegas menyusupkan kedua tangan di balik punggung dan di perpotongan tungkai. Ia membopong tubuh Amarise yang sedikit bergerak gelisah, mencoba mencari kenyamanan dengan menyandarkan wajah di dada bidang Nic.Dengan perlahan tubuh Amarise direbahkan di atas ranjang lebar, bagian dari pesawat pribadi yang dimiliki Nic. Di kepala ranjang berisi deretan buku bacaan Nic, lalu ada beberapa jendela kaca di kanan dan kiri untuk melihat keindahan malam dan momen esok hari dari dalam kamar.Senyum Nic terbit mengingat kekesalan Amarise puluhan menit lalu sebelum pesawat lepas landas. Ia memang tidak memberitahu jadwal pasti keberangkatan. Alhasil, Amarise hanya memakai setelan baju tidur ditambah sandal berkepala kelinci.Nic melepaskan
Bibir Amarise terbuka lebar dengan tatapan mengunci penuh binaran bangunan kastil tinggi, megah dan menunjukkan atmosfer dunia negeri dongeng. Ia tidak hentinya mengagumi pilihan bulan madu ke Disneyland dan Nic mengajaknya mengunjungi di Shanghai, China.Pluk!Permukaan bibir Amarise ditepuk sekilas oleh Nic. “Nicholas!” pekik Amarise menoleh tajam dan langsung dibalas tatapan datar tanpa bersalah.“Ada apa?”Amarise mendengkus seraya mencebikkan bibir. Suasana bahagia karena baru kali pertama menginjakkan kaki kemari, khususnya Disneyland, tampak terganggu dengan kejahilan Nic.Pria yang memakai ransel untuk menyimpan pakaian ganti dan beberapa perlengkapan termasuk kamera kecil, segera meraih tubuh Amarise. Ia merangkul bahu perempuan yang sedang terlihat marah. “Aku selalu menyukai jika kamu kesal padaku,” cetusnya.Tangan Amarise menepis kasar cubitan Nic di pipinya. “Menyebalkan!” gerutu Amarise.Belum sempat perempuan itu ingin memisahkan diri sekadar berjalan duluan. Nic denga
“Nic, aku sudah membeli seluruh bahan yang kita butuhkan untuk ma—“ bibir Amarise terkatup rapat dengan pandangan terkejut melihat dua bodyguard Nic yang sangat dikenali Amarise. Mereka yang sedari tadi berdiri di ruang tengah unit penginapan, berjalan mendekati Amarise. “Maaf, jika kami memilih menunggu Anda di sini, Nyonya,” sahut pria itu sudah berdiri di hadapan Amarise. Perempuan itu menatap keduanya bergantian. Ia bingung karena baru saja pulang dari supermarket tidak jauh dari penginapan. Amarise memutuskan pergi sendiri tanpa menyetujui ajakan Nic. Terlebih pria yang sudah bersamanya lima hari di Shanghai, sesekali mulai disibukkan dengan pekerjaan. “Ada apa kalian sudah menungguku di sini?” tanya Amarise. Ia mulai gusar karena mata yang ia sisir sekilas dan menajamkan pendengaran, tidak mendapati tanda-tanda keberadaan Nic. “Cepat, jangan membuatku khawatir,” lanjut perempuan itu masih berdiri di ambang pintu. Perempuan berbalut mantel sebatas lutut itu masih mengenggam
Amarise tersentak merasakan ada jemari tangan yang menggerayangi punggung polosnya. Ia bersiap menjerit dan ingin melakukan perlawanan, tapi telapak tangan lebar itu sudah menekan punggungnya.Satu kecupan manis singgah di pipinya dari samping. “Ini aku, Nicholas,” bisik suara berat dan seksi mengendurkan respons tegang Amarise.“Sial! Aku pikir orang berengsek yang ingin melakukan tindak pelecehan padaku!” ketus Amarise melirik sinis dari sudut matanya melihat Nic menarik kursi dan duduk nyaman di sana.Nic mengerling genit. “Oh, aku bukan orang berengsek, ya?” tanya pria itu jahil.Bibir Amarise mengerucut sekilas. “Posisiku sedang telungkup tanpa memakai apa pun. Hanya dari pinggang hingga betis ditutupi, jelas saja membuatku kaget dan ketakutan,” jelas perempuan itu sembari mengubah posisi tubuh. “Tapi saat tahu yang datang adalah suamiku, kenapa aku harus takut, kan?” Ia mengedipkan sebelah mata terkesan nakal.Keduanya tertawa geli. Nic memerhatikan Amarise dengan sensual memosi
Ketukan heels Amarise beradu dengan pantofle Nic. Mereka baru saja menyelesaikan rapat dan sekarang Amarise akan memberikan beberapa berkas penting pada Nic. “Sepertinya tawaran para CEO muda tadi sangat menyenangkan.”“Kenapa harus kamu tolak? Dia juga mengundangku untuk ikut bersama kalian semua dalam undangan VIP,” jelas Amarise berusaha mengejar langkah dari kaki panjang Nic.“Tiga penari striptis favorit, meja makan yang disusun di atas tubuh telanjang perempuan seksi, masih tetap ingin kamu hadiri?”“A-apa?”Duk!“Aw ....” ringis Amarise menabrak dada bidang Nic. Pria itu berbalik tanpa memberitahu Amarise yang sedari tadi mengejar ketertinggalan seraya membawa topik ajakan beberapa menit lalu.“Jahat,” keluh Amarise mengusap kening. “Seharusnya kamu bisa memastikan jika jarak berhenti dan jalanku masih cukup jauh,” lanjutnya merasa sakit dan mengabaikan keterkejutan tadi.“Maaf,” balas Nic merasa bersalah. Ia menarik pinggang Amarise dan mulai mengusap kening Amarise. “Masih s