“Ternyata kamu masih menganggap aku sebagai orangtuamu, ya?” sindir Nyonya Isaac dari seberang sana.Nic mengembuskan napas lelah dan menjawab seraya memastikan fokusnya tidak pecah ke arah jalan raya. “Maafkan aku, Ma.”“Sudahlah. Setidaknya aku cukup tenang kamu baik-baik saja. Begitupula Amarise yang memilih menghibur dirinya tanpa kehadiranmu.”Raut wajah Nic mengetat ketika membahas tentang Amarise. Ia mengenggam stir mobil kuat dan menekan pedal gas, membelah malam Los Angeles.Ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil sebelum akhirnya kembali ke apartemen. Bukan tanpa alasan Nic sejak kemarin bermalam di apartemen. Ia hanya takut wanita di seberang sana menghubungi Nic lewat panggilan video.Tapi kali ini Nic memutuskan untuk menelepon sambil melaju ke apartemen. “Dia akan mengerti pekerjaanku.”“Dengan melupakannya tanpa memberikan kabar? Bahkan, bukan hanya aku yang tidak mendapatkan kabar. Perempuan satu-satunya sebagai anggota keluarga terdekat di mansionmu saja t
“Nona Amarise masih bertahan di unit apartemennya hingga hari ketiga pasca Anda memberi tugas padaku. Dia juga selalu memantau apa pun yang sudah Anda perkirakan, Tuan.”Nic menoleh ke samping tanpa menatap wajah anak buahnya yang saat itu bekerjasama dengan Amarise. “Apa kemarin dia melihatku berciuman di depan unit apartemen dan kolam renang?”“Ya, sesuai permintaan Anda. Kami membuat semuanya terkesan kebetulan di mata Nona Amarise,” jawabnya.“Bagaimana dengan anak buah dari Mamaku yang diminta memantau kegiatan Amarise selama di sini?”Salah satu anak buah Nic menimpali, “Mereka sudah kembali pulang, Tuan, sesuai permintaan Anda.”Nic mengangguk paham dan menggerakkan tangan sebagai kode meminta sendirian saja di unit apartemennya. Empat anak buah yang sudah beralih tugas menjaga Amarise, kini keluar teratur dan melanjutkan tugas dari Nic; memantau Amarise.“Kamu masih saja bersikukuh tinggal di apartemen ini hanya untuk melihatku bermesraan bersama kekasihku, Amarise.” napas Nic
“Makananku sudah habis!” ketus Amarise mendorong kasar overbed table, lalu duduk membelakangi Nic.Pria itu menyeringai puas melihat Amarise menghabiskan makanan, meskipun dengan kekesalan yang terus tertahan. Hal pertama adalah karena dirinya tidak menggubris isi hati Amarise.Dan kedua, Nic mengancam akan membawa Amarise ke rumah sakit jika tidak menuruti permintaannya untuk makan dan minum obat. Amarise tentu menolak karena benci untuk di infus dan terlebih ia hanya sakit biasa.“Kamu ingin makan buah-buahan? Atau ingin langsung minum obat?”“Tidak perlu bersikap baik! Pergilah! Aku bisa minum obat sendiri!” tolak Amarise belum berbalik sama sekali.“Aku tidak bisa pergi begitu saja. Malam ini aku akan tidur di unitmu, memastikan besok pagi suhu tubuhmu sudah menurun,” balas Nic santai seraya mengeluarkan ponsel.Amarise berbalik cepat dengan tatapan sinis. “Ini unit yang sudah kusewa. Aku berhak mempersilakan seseorang masuk, terutama menolaknya jika aku tidak menyukainya.”Nic me
“Apa sekarang kamu berbalik menyerangku?”“Kenapa tidak? Aku memegang kepercayaan Mamamu. Semua bisa aku bongkar jika sewaktu-waktu kamu tidak menuruti permintaanku,” tandas Amarise menarik senyum puas.Sementara ia masih bisa mengirup banyak oksigen, sedangkan napas Nic sudah memburu dengan kedua tangan terkepal. Kilatan amarah sangat jelas dari manik coklat, tapi Amarise tidak peduli.Kedua tangan Nic mengepal kuat dengan rahang mengetat. “Sampai kapan kamu ingin menguji kesabaranku, Amarise Damaswara?”Amarise menepis ketakutan dan rasa nyeri setiap Nic melupakan panggilan khusus untuknya. Ia mendongak sengit dan menjawab, “Aku tidak mungkin bisa membuatmu membalas cintaku selagi perempuan itu masih mengirup udara yang sama dengan kita.”“Jadi, aku akan menggunakan banyak cara agar kamu selalu melihatku, bersamaku dan luluh padaku,” desisnya mengabaikan tatapan menusuk Nic.Pria itu berjalan mendekat penuh intimidasi. Amarise menahan gugup dan wajah yang ingin memucat. Sebaik mungk
Nic bertelanjang dada, membiarkan tubuh bagian bawah hanya ditutupi handuk putih, melilit dari area pinggang. Ia mendengkus kesal seraya mengusap rambut masih setengah basah. Inisiatif Mia berimbas pada dirinya dan membuat kekacauan ruang kerja; bau dan kotor.“Ada apa, Ma?” tanya Nic cukup malas.Ia menyampirkan handuk kecil di leher, berjalan ke area lemari, memilih kaus turtleneck dan celana panjang bahan. Nic ingin segera pulang karena sudah malas mengingat kejadian beberapa waktu lalu. “Hari ini para keponakanmu sudah ada di mansion!”“Biarkan mereka bermain,” cetus Nic santai, menaruh setelan di atas ranjang.“Di mana Amarise? Aku membawa bocah-bocah menggemaskan itu tidak menemui Amarise. Pelayan hanya mengatakan jika kalian berdua pergi bersama.”Nic mengembuskan napas lelah. Sepertinya ia letih menjawab rentetan pertanyaan dan balik bertanya, “Mama sedang menghabiskan waktu bersama Kakak?”Karena suara di seberang sana terkesan banyak beberapa suara dari transportasi, orang-o
Kedua kelopak mata Nic terpejam sejenak. Tangis Amarise mengisi keheningan yang sudah terasa mencekam. Nic terpojokkan untuk tuduhan beberapa menit lalu. Ia disidang, tidak bisa memiliki kesempatan lain untuk membela diri selain mengambil satu keputusan, “Aku akan menikahi Amarise.”Ruang kerja Nic hening sempurna. Kedua tangan pria itu mengepal kuat di sisi tubuh, sudah membalut tubuh atletisnya dengan kemeja putih dan celana hitam bahan.Namun, penampilan acakannya memang sangat mendominasi, membaur tatapan letih Nic. “Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatanku tadi,” tambahnya.Sontak sorot tajam dan kalimat makian yang diterima Nic berubah menjadi sorot teduh. Kedua bibir wanita yang berdiri di hadapan Nic tertarik perlahan, “Itu baru anakku! Kamu memang harus bertanggungjawab sudah melecehkan anak perempuan keduaku,” tandas Nyonya Isaac.“Ayo, Nak. Tinggalkan sebentar Nic dan Amarise di sini. Mereka butuh bicara dan aku harus membasuh wajahku. Untung saja putra semata way
Amarise menatap nanar Range Rover hitam keluar pukul sepuluh malam. Nic pergi sendirian dan Amarise menduga jika pria itu mengunjungi klub malam.Sorot mata perempuan itu berubah lebih redup, melihat lagi map berisi berkas yang sudah ditandatangani sore tadi. Nic bergerak sangat cepat dan menepati ucapannya. Perjanjian pernikahan di atas kertas, legal dan disaksikan pihak ketiga yang kuat. “Di antara keuntungan lain yang bisa aku dapatkan, kenapa kamu menempatkan satu syarat yang sulit, Nic?”Sekalipun Nic menolak pernikahan ini. Tapi pria itu sudah membubuhkan banyak keuntungan materi bagi Amarise. Baik selama menjalani pernikahan ataupun jika pria itu sudah muak.Namun, satu hal yang sulit diterima Amarise, “Di sana tertera, jika aku mengusik sekali saja kesenanganmu bersama perempuan simpananmu, maka kamu akan membawaku tinggal jauh dari orangtuamu.”“Seluruh akses, ponsel, surel dan alat komunikasi dijauhkan, termasuk membawaku ke rumah di desa kecil,” tandasnya terkekeh sedih.“D
Jantung Amarise berdegup kuat. Kedua sudut bibirnya masih tertarik, membentuk lengkungan bahagia. Telapak tangan kanan dan kirinya bertumpu memegang bahu Nic, membiarkan pria itu menggowes sepeda di sekitar area mansion.Area luas ini tidak pernah Amarise sisir. Ia hanya lewat saat berada di dalam mobil, bukan dalam momen manis seperti ini. “Kita akan duduk di sana?!” tanya Amarise sedikit menaikkan volume suara.Tatapannya mengarah pada danau buatan, cukup luas dengan warna cantik yang memperlihatkan perbukitan jarak jauh. Matanya berbinar senang mendapati jalur Nic menuju ke sana. “Ya. Di sana tempat yang tepat untuk beristirahat,” balas pria itu.“Aku pikir kamu akan mengajakku bersepeda.”“Menurutmu ini bukan bersepeda?” tanya balik Nic datar, masih dengan menggowes.Bibir Amarise mengerucut. “Dua sepeda. Bukan satu untuk berdua,” jelasnya setengah kesal.Nic mengedik sekilas. “Aku hanya memiliki satu sepeda. Tidak berniat mengoleksi, kecuali untuk mobil dan motor.”Amarise mencib