Hasrat Amarise bergejolak bersama desahan frustrasi. Jemari tangannya meremat rambut coklat Nic, lalu menekan dan membiarkan isapan pria itu di dadanya yang membusung, kian menggila. “Nic ....” Logika Amarise hilang di antara gairah yang sudah meledak. Ia tidak pernah menyangka seluruh pakaiannya tertanggal di bawah ranjang dan ia begitu gesit membuka pakaian pria di atasnya. Selama ini Nic baik pada Amarise. Perempuan itu memilih membiarkan tubuhnya dijamah dan merespons tiap sentuhan Nic tidak kalah panas, sekalipun ia bisa menyesali malam panas ini di kemudian hari. “Kamu milikku malam ini, Sayang.” Amarise menjerit sakit. Tubuhnya bergejolak dengan sensasi sakit kali pertama yang dirasakannya. Ia menangis saat Nic terus melesakkan miliknya tanpa ampun, tidak memberikan pemanasan sama sekali di awal mereka bercinta. Nic mengerang nikmat dengan mata terpejam sambil terus meraih sensasi yang telah lama tidak dirinya teguk. “Aku sangat menyukai milikmu yang sangat sempit ini, Noli
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa memaafkanku?” Amarise membuang pandangan melihat Nic berjalan ke pinggir kolam renang. “Aku mengakui kesalahanku dan bisakah aku mendapatkan maaf darimu, Rishi?”Kedua tangan Amarise terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia menatap tajam pantulan tipis dirinya dalam remang area kolam. “Kamu sudah menghinaku.”“Ucapanku memang sangat salah, tapi aku tidak bermaksud menghina perempuan yang aku sayangi,” sahut Nic menekan dari tiap ucapannya.Ia tidak bermaksud berucap seperti itu. Nic hanya takut Amarise disakiti pria lain karena dengan mudah masuk dalam bujuk rayu. Sekalipun Nic memanfaatkan Amarise, tapi ia tidak memanfaatkan tubuh untuk melecehkannya atau yang bisa membuat Nic merendahkan seorang perempuan.Pria itu masih sangat logis memikirkan banyak hal termasuk menghargai orang terdekatnya. “Bisa memberiku waktu untuk bicara sebentar?” tanya Nic mengendalikan napas yang terasa sesak. “Kamu baru ingin keluar malam ini setelah melewatkan b
“Aku tidak akan memaafkanmu jika sampai kamu sengaja menjahiliku, Nic,” ancam Amarise, tapi tetap membiarkan kedua tangannya dituntun pria dewasa di sampingnya. Kedua kelopak mata Amarise tertutup saat keluar dari kamar. Ia menuruti permintaan Nic, menuntun entah ke mana. Sebenarnya jika ditelisik dari suasana area, maka seharusnya sekarang mereka berada di halaman belakang. Rerumputan itu terasa padat di injakan sandal Amarise. “Apa yang ingin kamu tunjukan padaku?” Ia sudah tidak sabaran. Nic mengulum senyum dengan meminta anak buahnya mendekat, menyerahkan satu hewan menggemaskan pindah di pelukannya. “Sekarang buka matamu,” titah Nic. Perlahan Amarise membuka kelopak mata, menyipit karena cahaya yang masuk terlalu terang. Benar, kan, posisi mereka berada di halaman luas mansion. Merasa Nic tetap berdiri di sampingnya, Amarise menoleh hingga manik coklat itu membulat lebar. Bibir Amarise terbuka, mendapati Poodle putih, kecil dan menggemaskan mulai aktif di pelukan Nic. “Nic!
Langkah beberapa pasang sepatu beradu lantai terkesan terburu, membuat Amarise meraih cepat Putih yang ikut merasakan ketakutan. Detik selanjutnya, bunyi pecahan disusul pekikan seorang perempuan menyentak Amarise. Dada Amarise bergemuruh, menatap pintu kamar yang sedari tadi memang setengah terbuka. Memungkinkan beberapa suara masuk. “Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang menyadarinya?!” “Nic?” Amarise turun dari ranjang seraya menggendong Putih. Ia takut dan gemetar untuk kali pertama mendengar bentakan penuh amarah Nic yang luar biasa. Entah kenapa, seperti ada masalah serius yang sedang dialami pria itu. Tubuh Amarise mematung di pembatas lantai dua. Ia terbelalak melihat guci mahal itu hancur, sedangkan di depan Nic sudah terkapar dua anak buah kepercayaan pria itu. Salah satunya pria yang sempat Amarise minta tutup mulutnya. “Tolong maafkan kami, Tuan.” Mia menunduk takut karena tatapan tajam Nic sudah terarah padanya. “Dan kamu, Mia. Aku tidak akan pernah memertahank
“Di mana Nic?! Apa dia tidak punya rasa tanggung jawab mendapati keponakannya jatuh sakit?!”Amarise meringis pelan seraya memaksakan tubuh untuk duduk. Ia bersandar lemah melihat Nyonya Isaac memarahi dua pelayan yang sedari semalam membantu Amarise menurunkan suhu tubuhnya yang panas. “Bibi. Nic tidak tahu sama sekali jika aku sakit. Aku sendiri yang meminta mereka tutup mulut.”“Ya Tuhan, Amarise ....” Nyonya Isaac mendekat ke arah ranjang, menyadari ia sudah meluapkan amarah di depan Amarise.Raut bersalah terlihat di wajah Amarise. “Tolong jangan marahi mereka, Bi,” lirih perempuan cantik itu tertutupi sedikit wajah pucat.“Maafkan aku,” sahut Nyonya Isaac menoleh ke ujung ranjang. “Aku hanya mengkhawatirkan anak perempuanku ini,” lanjutnya tulus, sedangkan perasaan Amarise menghangat.Ia sudah lama tidak mendengar kepemilikan dari seorang Ibu untuk anak perempuannya. Pelupuk mata Amarise berair dan tidak bisa membendung bulir air mata saat Nyonya Isaac mempersilakan dua pelayan
Amarise bersenandung kecil sambil menggoyangkan beberapa paper bag dengan merek ternama di tangan kanan dan kiri. Ia lumayan puas menghabiskan ratusan juta rupiah, melakukan penghitungan mandiri. Dirinya membeli tas baru, dompet dan sepasang heels.“Halo. Kamu sendirian? Di mana orangtuamu?”Senyum Amarise terulas hangat melihat seorang anak lelaki berkisar empat tahunan berdiri sendirian di depan salah satu toko brand ternama. Mata Amarise menyisir dan melihat sebagian orangtua masih menggandeng anak mereka. “Apa kamu tersesat?”“Apa perlu aku menjawab pertanyaanmu?”Lengkungan bibir Amarise memudar, berganti tatapan kikuk mendapati sorot mata anak lelaki di hadapannya datar. “Um, jika kamu tersesat, aku bisa membantumu melakukan laporan pada sekuriti di sini,” usul Amaris menepis sedikit kesal dalam hatinya.“Orangtuaku jauh lebih pintar dari sekadar bantuan laki-laki berprofesi sekuriti,” cetusnya menunjukkan pergelangan tangan.Jam tangan anak-anak yang memuat fitur GPS yang memud
“Ternyata kamu masih menganggap aku sebagai orangtuamu, ya?” sindir Nyonya Isaac dari seberang sana.Nic mengembuskan napas lelah dan menjawab seraya memastikan fokusnya tidak pecah ke arah jalan raya. “Maafkan aku, Ma.”“Sudahlah. Setidaknya aku cukup tenang kamu baik-baik saja. Begitupula Amarise yang memilih menghibur dirinya tanpa kehadiranmu.”Raut wajah Nic mengetat ketika membahas tentang Amarise. Ia mengenggam stir mobil kuat dan menekan pedal gas, membelah malam Los Angeles.Ia menghabiskan banyak waktu bersama keluarga kecil sebelum akhirnya kembali ke apartemen. Bukan tanpa alasan Nic sejak kemarin bermalam di apartemen. Ia hanya takut wanita di seberang sana menghubungi Nic lewat panggilan video.Tapi kali ini Nic memutuskan untuk menelepon sambil melaju ke apartemen. “Dia akan mengerti pekerjaanku.”“Dengan melupakannya tanpa memberikan kabar? Bahkan, bukan hanya aku yang tidak mendapatkan kabar. Perempuan satu-satunya sebagai anggota keluarga terdekat di mansionmu saja t
“Nona Amarise masih bertahan di unit apartemennya hingga hari ketiga pasca Anda memberi tugas padaku. Dia juga selalu memantau apa pun yang sudah Anda perkirakan, Tuan.”Nic menoleh ke samping tanpa menatap wajah anak buahnya yang saat itu bekerjasama dengan Amarise. “Apa kemarin dia melihatku berciuman di depan unit apartemen dan kolam renang?”“Ya, sesuai permintaan Anda. Kami membuat semuanya terkesan kebetulan di mata Nona Amarise,” jawabnya.“Bagaimana dengan anak buah dari Mamaku yang diminta memantau kegiatan Amarise selama di sini?”Salah satu anak buah Nic menimpali, “Mereka sudah kembali pulang, Tuan, sesuai permintaan Anda.”Nic mengangguk paham dan menggerakkan tangan sebagai kode meminta sendirian saja di unit apartemennya. Empat anak buah yang sudah beralih tugas menjaga Amarise, kini keluar teratur dan melanjutkan tugas dari Nic; memantau Amarise.“Kamu masih saja bersikukuh tinggal di apartemen ini hanya untuk melihatku bermesraan bersama kekasihku, Amarise.” napas Nic