Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.
“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.
Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”
Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”
Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras tampan dan teduh Nic sedekat ini. Ia juga tidak ingin terburu-buru melepas pelukan Nic.
“Janji,” sahut Nic membuat mereka tertawa kecil dengan tautan jari.
“Omong-omong, aku melihatmu pergi tidak memakai pakaian ini. Kamu membeli pakaian baru?” tanya Amarise menelisik pakaian Nic setelah pelukan mereka terurai.
“Aku memiliki beberapa pakaian ganti saat tidak sempat pulang ke mansion,” jelas Nic, lalu mengerling penuh arti.
Punggung lebar Nic sedikit menunduk, mensejajarkan wajah keduanya yang membuat Amarise salah tingkah. “Kenapa?” cicitnya hampir saja ingin membuang pandangan, jika Nic tidak segera menahan dagu Amarise.
“Apa kehadiranku sangat berpengaruh di pikiranmu, Rishi? Kamu sangat ingat apa yang aku pakai dan apa yang kujanjikan. Apa mungkin pesonaku sangat kuat bagi perempuan muda sepertimu?”
Amarise gelagapan. Ia menggeleng ragu seraya menurunkan jepitan jemari Nic. “Aku melakukan tugasku sebagai keponakan, tidak lebih,” balasnya menekan tiap kata.
“Benarkah? Tapi melihatmu sudah menyambutku di depan pintu, aku merasa seperti disambut seorang istri. Dia berusia cukup muda dan bisa membuatku hampir kehilangan kendali karena malam ini memakai camisole,” jelas Nic membuat Amarise hampir bersemu, saking malu dengan pernyataan Nic.
Tapi pikiran Amarise tidak sepenuhnya mencerna jika ia memang terburu-buru menuruni anak tangga, mendapati Nic pulang. Ia justru dengan cepat menuruni pandangan, lalu sepersekian detik terbelalak melihat penampilannya sendiri.
Kedua tangan itu langsung menyilang di depan dada, memelototi dirinya memakai gaun satin seksi.
“Kamu sangat cantik dan memesona. Lekuk tubuhmu hampir membuat tanganku hampir ramah menjamah,” bisik Nic di telinga Amarise, tidak lupa dengan tawa jahil yang terus berkembang.
“Nic!” pekik Amarise menatap tajam sekaligus menutupi rasa malunya.
“Ada apa, Sayang?”
Tubuh Amarise menggigil merasakan getaran manis itu. Dibandingkan ia terus berdiam, perempuan itu memilih berlari memasuki ruangan luas tersebut. Ia mengumpati diri setelah berada di kamar. “Sial! Ini karena kamu terlalu bersemangat menyambut Nic pulang, Amarise!”
Nic tersenyum manis melihat sikap lucu Amarise. Kaki panjang itu segera menaiki anak tangga, berjalan menuju kamarnya dengan mengembalikan atmosfer berdebar.
Pria itu sudah mengganti pakaian terlebih dahulu sebelum sampai di mansion. Ada dua kemungkinan yang terus berkecamuk jika ia pulang. Sang Mama dan Amarise akan mencurigainya. Itu sebabnya, Nic mengganti dengan kaus santai agar semua rahasianya berjalan rapi.
“Rishi? Kamu sudah tidur?”
Nic berinisiatif mengetuk pintu kamar Amarise setelah membersihkan wajah dan mengganti dengan setelan piama panjang. Ia tahu suaranya tidak akan didengar oleh ruangan kedap suara, tapi ketukan itu bisa saja diterima Amarise.
Sebelah alis Nic terangkat melihat Amarise keluar menggunakan piama, menutupi lekuk tubuh dan dada sintal beberapa menit lalu.
“Ada apa?” tanyanya dengan wajah tertekuk. Jelas saja, ia masih malu dan menutupi hal tersebut dengan bertanya malas.
Nic mendengkus geli seraya melipat kedua tangan di dada. “Apa tidak bisa kamu menggunakan camisole lagi? Aku menyukai bentuk tubuhmu dan ya, bagian di sana,” jahil Nic menyorot tubuh depan Amarise.
Kedua tangan Amarise menyilang depan dada, lalu memberikan tatapan sinis. “Jangan berpikiran mesum! Aku bisa mengadukanmu pada Bibi Gabriela!” tukasnya tajam, membawa Nyonya Isaac dalam obrolan mereka.
“Aku hampir saja lupa, jika Mamaku sudah berada di pihakmu sekarang. Dia terlihat bahagia saat aku membawamu ke hadapannya. Kamu sangat beruntung dari sekian banyak perempuan yang dekat denganku, lalu mencoba mengambil perhatian Mama dan semuanya tidak ada yang berhasil.”
Bulu mata lentik Amarise mengerjap. Dengan lampu temaram di dalam mansion, cukup menyamarkan rona merah di kedua pipi Amarise. Ia berdebar dan merasa bisa berbangga diri. “Aku tahu kamu pria yang sangat tampan dan memesona. Tapi tidak perlu membicarakannya di depanku.”
Seringai Nic terulas sempurna. “Cemburu?”
“Tidak,” sanggahnya angkuh dibalas kekehan Nic.
“Sepertinya kamu tidak sedang mengantuk. Bisakah kita bicara di dalam?”
Belum sempat Amarise menjawab, Nic begitu santai melangkahkan kaki panjangnya memasuki kamar Amarise. Perempuan itu menganga sempurna sekaligus mulai merasakan desiran—gairah hanya melihat punggung lebar Nic.
Aku satu kamar dengan Nic? Berdua saja?!
Hampir saja Amarise menahan napas dengan segala pikiran liar, jika Nic tidak segera berbalik dan memberikan tatapan penuh tanya. “Bagaimana dengan pecundang itu? Apa dia masih menghubungimu sebagai kekasih?”
Amarise mengangguk pelan dan mendapati tatapan tegas dari Nic. “Kamu meninggalkan nomor baru padanya?”
“Tidak. Aku sudah membuang nomor lamaku dan dia tidak mengetahui nomor baruku di Amerika.” Amarise membiarkan Nic mengambil duduk di pinggir ranjang.
Amarise mengutak atik ponsel dan mendekati Nic, lalu mengulurkannya dan memperlihatkan deretan pesan dari akun media sosial Amarise. “Baru saja aku melihat pesan yang ditinggalkan pria berengsek itu.”
Manik coklat Nic membaca saksama pesan dari ‘Dion Arjuna’, mengatakan ponsel Amarise tidak aktif juga menyampaikan kerinduannya.
Ia tersenyum sinis. “Dia sangat tidak tahu diri,” sindir Nic menggulir banyaknya pesan dan berharap dibalas Amarise. Sayangnya, perempuan itu hanya membaca tanpa membalas satupun pesan.
“Bahkan, seleramu sangat tidak bagus, Rishi. Aku jauh lebih tampan dibandingkan dia.”
Bibir Amarise mengerucut. Itu sudah sangat telak dan merupakan fakta yang tidak dapat diganggu gugat. Paras pria yang duduk di depannya ini sangat memesona, dewasa, mapan dan apa pun yang diidamkan banyak kaum hawa, Nicholas Isaac memilikinya.
Apalagi pria ini tidak kaku dan mampu meluluhkan perasaan juga tubuh Amarise dengan pelukan dan senyum teramat manis.
“Jadi, apa kamu ingin pulang ke Indonesia?” tanya Nic mendongak, menatap lekat Amarise sesuai permintaan Dion tertera di sana.
Perempuan itu mengambil napas sejenak dan mengembuskan perlahan. “Aku akan tetap pulang, tapi bukan karena permintaannya. Bagaimanapun aku besar di sana dan beberapa aset tersisa yang harus tetap aku perhatikan. Tidak banyak, tapi itu kenangan terbaik dari orangtuaku,” jelas Amarise.
Nic mengangguk paham. “Kemarilah,” titah Nic menepuk sisi ranjang.
“Kamu tidak akan pernah meninggalkanku, kan?”
Tiba-tiba saja pertanyaan itu tercetus dan berasal dari lubuk hati Amarise. Ia mengatakan dengan suara nyaris bergetar dan menyorot penuh harap, jika Nic tidak akan meninggalkan Amarise.
Ia sudah sangat terluka dan dijatuhkan sedalam lautan, mengetahui perselingkuhan sahabat dan kekasih. Kesedihan itu berkali lipat karena momen yang menyakitkan saat harus ditinggal mati orangtua Amarise.
Pelupuk mata Amarise berair saat manik mereka bersitatap. “Aku sangat mengharapkanmu, Nic. Tolong, jangan tinggalkan aku,” lirih Amarise.
“Perhatianmu, kebaikanmu dan orangtuamu sangat membuatku nyaman,” tambah perempuan itu dan merasakan pelukan hangat Nic.
Ia memeluk erat pria dewasa yang mengusap puncak kepala, lalu membubuhkan satu kecupan di kening. “Aku tidak akan meninggalkanmu, Rishi.”
... karena kehadiranmu sangat membantuku menjalin cinta dengan kekasih hatiku. Jadi, aku tidak akan pernah dicurigai lagi oleh orangtuaku yang tetap memertahankan mantan istri dari sepupuku sendiri.
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage
Nic menumpukan kedua lutut di lantai seraya menatap hangat anak lelaki berusia empat tahun, tidak sama sekali merespons baik paper bag dan ekspresi Nic. “Apa kamu tidak berpikir mengenai Mamaku yang mengurusku sendirian selama di rumah sakit Singapura?” “Di mana peranmu sebagai Papa kandungku? Aku sedang jatuh sakit dan tidak sekalipun kamu bertanya kabarku,” lanjut anak lelaki yang mewarisi manik coklat dari sang Ibu. Setidaknya Nic cukup bersyukur saat mata itu tidak berwarna biru dan bisa membuat anak lelaki cerdas ini mengetahui kekurangan dari keluarga kecilnya. Hanya saja, Nic tidak bisa mengubah ciptaan Tuhan saat wajah dan sifat anak di hadapannya menurun sangat banyak dari Ayah kandungnya. Ia mendengkus dalam hati, membenci pria yang merupakan kakak sepupunya sendiri. “Sayang ... Aku sudah menceritakan tentang Papamu. Seharusnya kamu mengerti keadaannya yang benar-benar sedang sibuk. Jaga sikapmu pada Papa Nicholas!” tegas perempuan cantik datang dari arah dapur, memerhati
Hasrat Amarise bergejolak bersama desahan frustrasi. Jemari tangannya meremat rambut coklat Nic, lalu menekan dan membiarkan isapan pria itu di dadanya yang membusung, kian menggila. “Nic ....” Logika Amarise hilang di antara gairah yang sudah meledak. Ia tidak pernah menyangka seluruh pakaiannya tertanggal di bawah ranjang dan ia begitu gesit membuka pakaian pria di atasnya. Selama ini Nic baik pada Amarise. Perempuan itu memilih membiarkan tubuhnya dijamah dan merespons tiap sentuhan Nic tidak kalah panas, sekalipun ia bisa menyesali malam panas ini di kemudian hari. “Kamu milikku malam ini, Sayang.” Amarise menjerit sakit. Tubuhnya bergejolak dengan sensasi sakit kali pertama yang dirasakannya. Ia menangis saat Nic terus melesakkan miliknya tanpa ampun, tidak memberikan pemanasan sama sekali di awal mereka bercinta. Nic mengerang nikmat dengan mata terpejam sambil terus meraih sensasi yang telah lama tidak dirinya teguk. “Aku sangat menyukai milikmu yang sangat sempit ini, Noli
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa memaafkanku?” Amarise membuang pandangan melihat Nic berjalan ke pinggir kolam renang. “Aku mengakui kesalahanku dan bisakah aku mendapatkan maaf darimu, Rishi?”Kedua tangan Amarise terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia menatap tajam pantulan tipis dirinya dalam remang area kolam. “Kamu sudah menghinaku.”“Ucapanku memang sangat salah, tapi aku tidak bermaksud menghina perempuan yang aku sayangi,” sahut Nic menekan dari tiap ucapannya.Ia tidak bermaksud berucap seperti itu. Nic hanya takut Amarise disakiti pria lain karena dengan mudah masuk dalam bujuk rayu. Sekalipun Nic memanfaatkan Amarise, tapi ia tidak memanfaatkan tubuh untuk melecehkannya atau yang bisa membuat Nic merendahkan seorang perempuan.Pria itu masih sangat logis memikirkan banyak hal termasuk menghargai orang terdekatnya. “Bisa memberiku waktu untuk bicara sebentar?” tanya Nic mengendalikan napas yang terasa sesak. “Kamu baru ingin keluar malam ini setelah melewatkan b
“Aku tidak akan memaafkanmu jika sampai kamu sengaja menjahiliku, Nic,” ancam Amarise, tapi tetap membiarkan kedua tangannya dituntun pria dewasa di sampingnya. Kedua kelopak mata Amarise tertutup saat keluar dari kamar. Ia menuruti permintaan Nic, menuntun entah ke mana. Sebenarnya jika ditelisik dari suasana area, maka seharusnya sekarang mereka berada di halaman belakang. Rerumputan itu terasa padat di injakan sandal Amarise. “Apa yang ingin kamu tunjukan padaku?” Ia sudah tidak sabaran. Nic mengulum senyum dengan meminta anak buahnya mendekat, menyerahkan satu hewan menggemaskan pindah di pelukannya. “Sekarang buka matamu,” titah Nic. Perlahan Amarise membuka kelopak mata, menyipit karena cahaya yang masuk terlalu terang. Benar, kan, posisi mereka berada di halaman luas mansion. Merasa Nic tetap berdiri di sampingnya, Amarise menoleh hingga manik coklat itu membulat lebar. Bibir Amarise terbuka, mendapati Poodle putih, kecil dan menggemaskan mulai aktif di pelukan Nic. “Nic!
Langkah beberapa pasang sepatu beradu lantai terkesan terburu, membuat Amarise meraih cepat Putih yang ikut merasakan ketakutan. Detik selanjutnya, bunyi pecahan disusul pekikan seorang perempuan menyentak Amarise. Dada Amarise bergemuruh, menatap pintu kamar yang sedari tadi memang setengah terbuka. Memungkinkan beberapa suara masuk. “Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang menyadarinya?!” “Nic?” Amarise turun dari ranjang seraya menggendong Putih. Ia takut dan gemetar untuk kali pertama mendengar bentakan penuh amarah Nic yang luar biasa. Entah kenapa, seperti ada masalah serius yang sedang dialami pria itu. Tubuh Amarise mematung di pembatas lantai dua. Ia terbelalak melihat guci mahal itu hancur, sedangkan di depan Nic sudah terkapar dua anak buah kepercayaan pria itu. Salah satunya pria yang sempat Amarise minta tutup mulutnya. “Tolong maafkan kami, Tuan.” Mia menunduk takut karena tatapan tajam Nic sudah terarah padanya. “Dan kamu, Mia. Aku tidak akan pernah memertahank