“Kamu sangat cantik sekali, Nak. Perpaduan darah Ayahmu yang berasal dari Indonesia lebih mendominasi. Senyummu juga sangat manis.”
Amarise tersipu. Ia tidak sanggup jika terlalu lama dipuji terus menerus oleh Nyonya Isaac. Kunjungan mereka hadir di hari ketiga Amarise menjalani kehidupan barunya di mansion Nic.
“Bagaimana jika kamu menjadi calon menantuku?” Nyonya Isaac mengerling penuh binaran.
Kepala wanita itu teralihkan pada putranya yang duduk di seberang meja makan sendiri. Sedangkan kursi utama diisi sang suami, sesekali memerhatikan interaksi sang istri yang nyaris tidak lepas membahas tentang Amarise.
“Nic, Amarise lebih pantas menjadi calon istri dibandingkan keponakanmu, Sayang,” tambah wanita itu menyeringai bahagia, mengabaikan tatapan kaku Amarise.
Ia dibuat tidak berkutik oleh pertanyaan berujung permintaan tersebut.
Nic tertawa kecil seraya menggeleng lemah. “Aku sudah berjanji menjadi wali asuh baru untuk Rishi, Ma,” jelasnya menarik atensi Nyonya Isaac.
“Rishi? Bukankah namanya Amarise Damaswara?” Ia mengonfirmasi ulang perkenalan lima belas menit lalu sebelum mereka makan siang bersama.
“Panggilan khusus untuk keponakan manisku,” ungkap Nic memandang lurus Amarise dengan senyum memesona.
Amarise tertunduk cepat. Ia meremat kedua jemari tangan di atas pangkuan. Selalu saja ia sulit mengendalikan diri dari tiap perhatian Nic.
Nyonya Isaac menoleh dengan senyum penuh arti pada sang suami. “Suamiku. Belum genap satu bulan Amarise berada di dekat putra kita. Dia sudah mendapatkan panggilan yang menggemaskan. Seharusnya kita memaksa Nic untuk segera menikah karena usianya yang tidak lagi muda.”
Kontan manik coklat Nic semakin mengecil. “Ma, aku belum terlalu setua itu sampai dikatakan tidak lagi muda,” balasnya menekan pada bagian kalimat ujung.
“Benarkah?” tatapan itu penuh senyum meremehkan dan dibalas dengkusan pelan Nic.
Amarise memerhatikan saksama sekaligus mencari informasi lain dari Nic yang tidak diberitahu pria itu secara langsung padanya.
“Kakakmu sudah lama menikah dan memberikan kami dua cucu kembar. Jadi, mungkin Mamamu ingin menimang bayi, menghabiskan masa tua bersama anakmu kelak,” ucap Tuan Isaac sedari tadi menikmati makan sambil mengikuti topik pembicaraan.
Punggung Nic bersandar nyaman di kursi, lalu melipat kedua tangan di dada lalu berucap, “Kenapa tidak Mama dan Papa saja yang memberikanku adik?”
Amarise nyaris tidak berkedip. Pun, orangtua Nic melongo saat pria itu tertawa renyah. Ia menegakkan tubuh dan memandang mereka lebih sopan. “Maafkan aku, Ma, Pa. Tapi aku masih ingin menikmati pekerjaanku dan terpenting, ada Rishi bersamaku. Dia masih sangat muda untuk aku lepas begitu saja,” jelas Nic tampak mendesah berat.
Sekilas Amarise tertegun dengan sorot letih dan perhatian dari Nic. “Amarise harus kehilangan kedua orangtuanya. Kehidupannya setelah ditinggal mati orang yang disayang, jungkir balik. Seluruh aset perkebunan harus dijual dan menyisakan sedikit uang dengan peninggalan satu rumah. Itu terdengar sangat buruk ketika usia Rishi seharusnya diisi banyak hal membahagiakan.”
“Dia belum terlalu dewasa untuk berjalan sendirian. Jadi, aku memutuskan bertanggung jawab sampai setidaknya, dia berusia dua puluh lima tahun.”
Penjelasan Nic membuat satu lubang kecil yang terasa perih di relung hati Amarise.
“Menikahinya terdengar lebih baik, kan?” desakan ulang dengan kerlingan nakal Nyonya Isaac membuat Nic menggeleng tegas.
“Aku tidak ingin membahas mengenai pernikahan lagi,” tekannya.
Hening sesaat. Amarise memerhatikan raut kecewa dari orangtua Nic. Perlahan, Amarise melihat jika ada hal lain yang disimpan Nic. “Nic ... buka matamu, Nak. Tata lagi hidupmu bersama perempuan baru.”
Seketika hati Amarise mencelos. Pernyataan lirih Nyonya Isaac membuat perasaan Amarise terluka.
Nic menunduk, menolak bersitatap dengan sorot penuh kesedihan Nyonya Isaac. “Aku sudah menata hidupku, Ma,” lirih Nic tanpa sadar.
“Tanpa seorang perempuan?”
“Saat ini biarkan mengalir seperti biasa saja,” balasnya membuat keadaan ruang makan berubah lebih dingin.
Amarise membiarkan ruang makan diisi dentingan sendok beradu dengan garpu dalam lima menit kedepan. Ia biarkan wanita itu pamit, mengajak sang suami ke lantai atas, meninggalkan Nic dan Amarise.
Lidah Amarise kelu sekadar menanyakan apakah pria itu sudah selesai makan atau masih ingin termenung di kursi makannya.
Panggilan telepon itu menginterupsi pemikiran Amarise. Ia bisa melihat gerakan malas Nic meraih ponsel, berubah semringah saat menatap bagian layar.
“Hai! Kabarku baik!” bibir Amarise terbungkam rapat.
Sorot berbinar dan suara yang jauh berkali lipat manis juga lepas, membuat Amarise dibuat terkejut sisi Nic yang lebih dalam. “Sungguh?! Baiklah. Aku akan menjemputmu sekarang.”
“Kita akan bertemu di apartemen seperti biasa.”
Nyeri di hati Amarise terasa kuat, meskipun ia tidak tahu siapa yang diajak bicara oleh Nic. Raut dan sensasi menggebu penuh kebahagiaan sangat kentara.
“Amarise. Tolong jaga Mama dan Papaku sampai nanti malam, ya? Mereka akan melakukan penerbangan malam hari dan aku akan pulang sekitar dua jam sebelum mereka berangkat.”
Perempuan itu berdiri tergesa dan mengikuti pergerakan Nic. “Kamu ingin pergi ke mana?”
Sesaat Nic terpaku melihat air muka Amarise dan pertanyaan cepat itu. Namun, pria itu mengulas senyum kecil, mendekati Amarise dan memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri perempuan muda itu. “Anak kecil tidak boleh mengetahui urusan orang dewasa,” bisiknya jahil mencubit ujung hidung mancung Amarise.
“Aku boleh ikut?”
Nic melirik pergelangan tangannya yang digenggam Amarise. “Aku harus bertemu rekan bisnisku, Rishi,” selanya tersenyum kecil melepas perlahan tangan Amarise.
“Pria atau perempuan?” tanyanya sekali lagi dan kali ini membuat Nic menatapnya lurus.
Ia memiringkan sedikit kepala memerhatikan Amarise yang berubah gugup. “Jangan katakan kamu takut kehilanganku?” senyum itu terlihat manis.
“Aku takut perhatianmu terbagi saat aku tahu kamu memiliki perempuan spesial,” jawabnya tanpa ragu.
Nic terdiam sesaat. Kemudian, pria itu tergelak dan mengacak gemas puncak kepala Amarise. “Tenanglah, Rishi. Aku tidak akan pernah melupakan tanggungjawabku terhadapmu. Kamu menjadi prioritasku mulai saat perkenalan kita di ruang kerjaku.”
“Benar?” tanya Amarise memastikan.
“Ya,” balas pria itu yakin, lalu meraih kepala belakang Amarise untuk mempermudah Nic menjatuhkan kecupan hangat di kening perempuan muda itu.
Amarise menutup perlahan kelopak mata, menikmati sebanyak mungkin sentuhan dan belaian hangat Nic di kepala belakangnya. “Jadilah keponakan manisku mulai detik ini.”
“Apa yang akan kamu berikan jika aku menjadi penurut?” Ia mengerling dengan gerakan mendekat.
Entah kenapa melihat raut berbinar Nic tadi sangat menganggu perasaan Amarise. Ia merapatkan tubuh dengan merangkul lengan Nic. “Bisakah kamu menjadi pria dewasa yang mengajakku kencan besok malam?”
“Tentu.”
Balasan itu sangat cepat dan membuat Amarise bahagia. Ia berjinjit dan mengecup pipi Nic, membuat pria itu terpaku sesaat. “Kamu sudah sangat berani rupanya,” cetus pria itu.
Amarise bersemu, tapi tidak membuatnya mundur setelah mengecup sisi lainnya. “Kamu yang mengajariku untuk bersikap manis,” bisiknya sensual dengan gerakan mengusap tengkuk Nic.
**
“Nic?”Buncahan rindu Nic tidak terelakkan lagi bersitatap dengan manik coklat yang memandangnya terkesiap. Sebelum rentetan pertanyaan menginterupsi kerinduannya. Nic memagut lebih dulu bibir yang sudah menjadi candunya.Perlahan, bibir yang terasa kaku dalam pagutan Nic, berangsur membalas. Mereka meluapkan hasrat yang seolah tertunda sejak dua minggu lalu.“Aku sangat merindukanmu, Nolia,” bisik Nic meraih tubuh ramping itu semakin tidak berjarak.Ia tutup asal pintu apartemen, lalu membawa perempuan cantik itu semakin masuk ke ruang tengah tanpa melepaskan ciuman berhasrat di antara mereka.Kedua tangan Nic terlepas dari tengkuk dan menangkup sisi paras memesona itu. Ia ganti taruh salah satu tangan di pinggang, lalu tangan satu lagi menyusup di bawah tungkai. Nic membopong perempuan itu tanpa menjaga jarak ciuman sekadar satu senti.“Apa ini?” bisik manis terdengar menggelitik di telinga Nic.Ia baru saja menaruh tubuh Nolia di atas pangkuan bersama ciuman yang mulai kehabisan ok
Kedua tangan Amarise terlipat di dada dengan sorot tajam ke arah pria yang baru turun dari SUV hitam miliknya. “Kamu menipuku? Ini hampir larut malam dari perjanjian terakhir yang kita sepakati di pesan tadi. Apalagi aku merasa kesal karena ponselmu tidak aktif. Kamu benar-benar membuatku marah sekaligus khawatir,” ucap Amarise bersitatap dengan Nic di pintu utama yang menjulang tinggi.“Kamu sangat mencemaskanku, hm?” bibir Nic mengulas senyum jahil.Ia dengan mesra menarik pinggang Amarise, lalu membubuhkan satu kecupan singkat di kening. “Maafkan aku. Daya ponselku habis dan aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”Amarise berusaha mengendalikan dirinya mendapati suara lembut dari permintaan maaf Nic. Bahkan, pelukan dan ciuman mesra itu harus ia artikan sebagai bentuk rasa saya pada keponakan. “Janji tidak akan mengulanginya?”Jari kelingking Amarise terulur dengan menampilkan sorot penuh harap dibalik bibir yang mencebik menahan kesal. Sisi hatinya sangat luruh melihat paras ta
“Jika Papamu tidak memiliki urusan pekerjaan yang mendesak. Aku akan terus membuatmu beralih menikahi Rishi-mu, Nic,” cetus Nyonya Isaac mengerling jahil.Nic mengambil napas perlahan sebelum mengembuskannya dengan memberikan senyum kecil. “Mama hanya membuang waktu. Rishi keponakan manisku dan itu tidak akan pernah berubah,” balas Nic.Amarise tersenyum kikuk, membiarkan Nic merangkul pinggangnya setelah melontarkan kalimat sederhana. Sayangnya, gejolak patah hati sedang dirasakan secara perlahan.“Amarise cantik, berusia dua puluh satu tahun dan tampak bisa mengimbangimu. Kamu benar-benar menolak perempuan seperti Amarise, Nic.”Nyonya Isaac mengerucutkan bibirnya, selalu mendapati penolakan yang sama dari Nic. Apa pun yang sudah ia sugesti, tetap nihil. Hasilnya tidak akan pernah memuaskan wanita itu.“Ma, kita harus berangkat sekarang. Sebentar lagi pesawat tujuan kita akan lepas landas.”Wanita itu mengangguk pasrah mendengar sahutan sang suami, membuat Nic langsung tersenyum bah
“Maaf, Nona. Tapi Anda tidak bisa masuk karena Tuan Isaac sedang mengobrol dengan tamunya.”Senyum Amarise memudar setelah terfokus pada kotak makan siang. Ia melemparkan tatapan memicing, curiga. Sebenarnya tidak ada yang salah dari sekretaris Nic. Mengingat penampilan formal teramat sopan dan segera berstatus istri pria lain. “Kenapa? Apa sepenting itu hingga aku dilarang masuk?”“Dua anak buah Nic yang kutemui di lobi, mereka mengatakan Nic baru saja menyelesaikan rapat dan aku memiliki hak istimewa atas permintaan Tuan-mu,” lanjut Amarise tidak sadar sudah berucap sinis.Ia tidak menyukai ada orang lain, memiliki jabatan rendah daripada Nic yang mengatur dirinya sesuka hati. Karena sedari awal Nic membebaskan Amarise melakukan apa pun sejak hampir satu bulan ini.Raut tegas dan kaku itu sedikit mengendur dengan tawa kecil, lalu membungkuk sejenak. “Maafkan sikapku yang terkesan lancang, Nona. Hanya saja, aku takut Anda lebih salah paham.”Tubuh Amarise mendadak gusar mendengar pe
“Kamu ingin pergi ke mana lagi? Kenapa sering kali meninggalkan aku sendirian? Bisakah aku ikut denganmu juga, Nic?”Belum selesai perasaan cemburu Amarise mereda sejak tadi siang. Malam ini pria itu tampak membereskan beberapa pakaian ke dalam koper. Jika Amarise tidak datang tepat waktu melihat anak buah Nic membawa kabar jadwal penerbangan paling pagi besok, mungkin Amarise tidak akan tahu apa saja yang dilakukan pria itu sekarang.“Ini perjalanan bisnis, Rishi. Aku sudah berjanji akan membawa kamu berkeliling beberapa negara, tapi jika kamu meminta sekarang, maka ini bukanlah waktu yang tepat,” jelas Nic mengulum senyum.Ia mendekati Amarise, lalu meraih pinggang ramping dan menjatuhkan satu kecupan di pipi kanan. “Jangan menunjukkan kesedihanmu. Aku akan ikut sedih.”Tangan Amarise sedikit meremas pergelangan tangan Nic yang masih bertengger di pinggangnya. Tatapan perempuan itu lekat memandang Nic. “Kamu tidak sedang berbohong, kan? Aku takut kamu pergi untuk menemui Nyonya Cage
Nic menumpukan kedua lutut di lantai seraya menatap hangat anak lelaki berusia empat tahun, tidak sama sekali merespons baik paper bag dan ekspresi Nic. “Apa kamu tidak berpikir mengenai Mamaku yang mengurusku sendirian selama di rumah sakit Singapura?” “Di mana peranmu sebagai Papa kandungku? Aku sedang jatuh sakit dan tidak sekalipun kamu bertanya kabarku,” lanjut anak lelaki yang mewarisi manik coklat dari sang Ibu. Setidaknya Nic cukup bersyukur saat mata itu tidak berwarna biru dan bisa membuat anak lelaki cerdas ini mengetahui kekurangan dari keluarga kecilnya. Hanya saja, Nic tidak bisa mengubah ciptaan Tuhan saat wajah dan sifat anak di hadapannya menurun sangat banyak dari Ayah kandungnya. Ia mendengkus dalam hati, membenci pria yang merupakan kakak sepupunya sendiri. “Sayang ... Aku sudah menceritakan tentang Papamu. Seharusnya kamu mengerti keadaannya yang benar-benar sedang sibuk. Jaga sikapmu pada Papa Nicholas!” tegas perempuan cantik datang dari arah dapur, memerhati
Hasrat Amarise bergejolak bersama desahan frustrasi. Jemari tangannya meremat rambut coklat Nic, lalu menekan dan membiarkan isapan pria itu di dadanya yang membusung, kian menggila. “Nic ....” Logika Amarise hilang di antara gairah yang sudah meledak. Ia tidak pernah menyangka seluruh pakaiannya tertanggal di bawah ranjang dan ia begitu gesit membuka pakaian pria di atasnya. Selama ini Nic baik pada Amarise. Perempuan itu memilih membiarkan tubuhnya dijamah dan merespons tiap sentuhan Nic tidak kalah panas, sekalipun ia bisa menyesali malam panas ini di kemudian hari. “Kamu milikku malam ini, Sayang.” Amarise menjerit sakit. Tubuhnya bergejolak dengan sensasi sakit kali pertama yang dirasakannya. Ia menangis saat Nic terus melesakkan miliknya tanpa ampun, tidak memberikan pemanasan sama sekali di awal mereka bercinta. Nic mengerang nikmat dengan mata terpejam sambil terus meraih sensasi yang telah lama tidak dirinya teguk. “Aku sangat menyukai milikmu yang sangat sempit ini, Noli
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk bisa memaafkanku?” Amarise membuang pandangan melihat Nic berjalan ke pinggir kolam renang. “Aku mengakui kesalahanku dan bisakah aku mendapatkan maaf darimu, Rishi?”Kedua tangan Amarise terkepal kuat di sisi tubuhnya. Ia menatap tajam pantulan tipis dirinya dalam remang area kolam. “Kamu sudah menghinaku.”“Ucapanku memang sangat salah, tapi aku tidak bermaksud menghina perempuan yang aku sayangi,” sahut Nic menekan dari tiap ucapannya.Ia tidak bermaksud berucap seperti itu. Nic hanya takut Amarise disakiti pria lain karena dengan mudah masuk dalam bujuk rayu. Sekalipun Nic memanfaatkan Amarise, tapi ia tidak memanfaatkan tubuh untuk melecehkannya atau yang bisa membuat Nic merendahkan seorang perempuan.Pria itu masih sangat logis memikirkan banyak hal termasuk menghargai orang terdekatnya. “Bisa memberiku waktu untuk bicara sebentar?” tanya Nic mengendalikan napas yang terasa sesak. “Kamu baru ingin keluar malam ini setelah melewatkan b