River sangat antusias dimandikan Nic yang tidak henti-hentinya menjalin komunikasi hangat bersama putra semata wayangnya. Kepala bayi itu kadang mengangguk, menyeringai lebar dan mengedipkan mata lucu dengan memainkan kedua tangan mungilnya. “Ayo, Nak. Sekarang keringkan tubuhmu dan Papamu akan memakainkan pakaian untukmu!” seru Nic mengambil bathrobe River, lalu menggendong anaknya dan membawa keluar kamar mandi ruang tamu. Nic sesekali memakai ruangan yang dulu dipakainya bercinta dengan Amarise karena tidak ingin menganggu tidur pulas istrinya. Karena pria itu selalu tidak ingin kehilangan satu momen untuk berinteraksi dengan sang anak. “Wangi sekali anak Papa,” cetus pria itu terkekeh kecil mengusap perut anak laki-lakinya. River menggeliat lucu dengan senyum menggemaskannya. “Kamu sangat mirip denganku saat masih bayi.” kedua pipi River menjadi sasaran kecupan dari bibir Nic. “Mamamu sering mengatakan, jika tidak ada satupun dari diri Mamamu yang menurun padamu, Sayang,” lanj
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia