“Dua penjahat itu tidak akan bebas sedikitpun jika terjadi sesuatu pada menantu perempuanku dan calon cucuku!”Tuan Isaac bersidekap, membiarkan sang istri melampiaskan amarah lewat kalimat menggebu. Ia diam memerhatikan Nic duduk berseberangan dengan tatapan kosong.Lelaki itu baru tiba setelah kemarin Nic memberitahu seluruh masalah dan fakta yang diungkap anak lelakinya sangat terlambat. Menurut mereka, apa yang dilakukan Nic terlalu berisiko disimpan sendirian tanpa membagi hal ini pada orangtuanya. “Apa yang akan kamu lakukan setelah ini, Nic?”“Nyawa harus dibalas dengan nyawa, Ivander!” sentak Nyonya Isaac menimpali cepat.“Mereka sudah membunuh orang tidak bersalah! Dua nyawa telah dilenyapkan, menghilangkan peran orangtua di hidup Amarise. Nic harus melakukan hal serupa sebagai hukuman yang tidak akan pernah setimpal!” sambung wanita itu menggebu.Nic menggeleng pelan. “Aku tidak akan melakukannya, sekalipun aku sangat menginginkannya, Ma.”“Apa yang kamu ucapkan?! Amarise is
Tubuh berisi Amarise masih dibalut gaun cantik yang beberapa waktu lalu dipakai untuk Maternity Shoot terakhir. Kehamilannya sudah memasuki usia ke sembilan bulan dan menjadi penutup terakhir Amarise mengabadikan perut besarnya. “Aku tidak sabar menanti kehadiranmu, Sayang,” cetus Amarise menaikkan ujung gaun, lalu telapak tangannya dengan lembut mengusap perut tanpa penghalang apa pun. Senyum manis itu terus mengiringi gerakan kecil Amarise berbalik tiap sisi untuk memerhatikan ukuran menggemaskan calon anak dalam perutnya. “Ibumu sudah sangat menantikanmu. Semoga kita bisa sama-sama berjuang, ya.” “Ah, iya. Tapi aku mulai sadar karena tidak memerhatikan hal ini.” Perempuan itu meringis kecil. “Apa Nic masih bernapsu dengan perutku yang sudah semakin besar ini?” memikirkan tubuh Amarise telanjang tanpa satu helai, membuat pikiran buruk perempuan itu berkelana terlalu jauh. Ia memerhatikan diri dari pantulan cermin rias, lalu merasa tidak puas hingga menanggalkan gaun cantiknya.
“Hari ini aku ikut ke perusahaan bersamamu, ya?” Nic meraih pinggang Amarise dari samping, lalu menyematkan kecupan singkat di sisi kepala istrinya. “Siang ini aku akan pulang. Jangan pergi ke manapun karena tidak lama lagi kamu akan segera melahirkan.” “Nicholas, ini masih cukup lama dari perkiraan dokter. Lagipula tidak ada masalahnya aku pergi ke luar mansion. Tubuh dan otot kakiku jangan dibuat kaku mendekati hari persalinan. Aku juga pergi bersamamu karena keinginan anak kita tidak ingin berjauhan.” Pria itu tidak membalas kekesalan Amarise. Ia hanya membubuhkan ciuman di bibir, sedikit menekan dan berucap lembut, “Aku akan kembali saat makan siang,” putusnya berlalu membawa tungkai panjangnya menaiki anak tangga. Amarise yang ingin memanggil, memelas untuk diajak berubah bungkam saat pelayan datang tergopoh-gopoh membawa buket mawar cukup besar. “Maaf, Nyonya. Ada kiriman untuk Anda.” Mata Amarise berbinar melihat kelopak mawar merah itu terlihat indah bagi Amarise. Ia mera
Mobil sedan hitam sudah menunggu di depan Nic ditemani sekretaris dan satu anak buah menuruni tangga dari belakang. Senyum manis pria itu terulas melihat nama sang istri tertera di layar. Panggilan Amarise bertepatan dengan pendaratan jet pribadi keluarga Nic di kota ini. Selama dua hari Nic berjauhan dengan sang istri dan sekarang rindu itu ingin ia salurkan lewat balasan panggilan. “Ya, Sayang?” tanya Nic dipersilakan masuk ke mobil. Namun, senyum itu perlahan memudar seiring isak tangis kecil istrinya. Nic merasakan gemuruh dan tatapannya berubah gusar. “Rishi? Apa yang terjadi padamu, Sayang?” “Kamu masih bisa bertanya dengan tenang dan seolah tidak melakukan kesalahan, Nic?” napas pria itu tercekat. Tenggorokan Nic terasa kering bersamaan pikirannya sedang mencerna untuk hal yang terjadi malam ini. Kali terakhir sekitar sepuluh jam lalu, Amarise masih memilah kalimat manis dan mendebarkan bagi hubungan mereka. “Kemudikan mobil lebih cepat,” titah Nic yang segera dilaksanakan
“Dia cantik sekali. Anak perempuan ini adalah dirimu dalam versi kecil. Ah, tapi matanya tidak sama sepertimu, Nolia.”Senyum manis Nolia terulas di paras cantiknya melihat calon ibu muda itu meneliti dan mengajak bicara pada anak perempuan Nolia dan Jason. Tangan Amarise memainkan jemari mungil dan lucu itu, sangat gemas dan terus memuji kecantikan anak kedua Nolia dan Jason.“Kami berbagi cukup adil.” Nolia dan Amarise tertawa geli memikirkan hal tersebut.Sorot mata Amarise agak sendu memandang boks bayi di depannya. “Sayang sekali aku agak sulit menggendong bayi cantikmu, Nolia. Semoga saja pasca aku melahirkan, aku bisa menggendongnya.”Di sisi lain Amarise masih belum paham bagaimana menggendong bayi. Kemudian, ia juga agak sulit dengan perut besarnya. Jiwa takut dan bingung menjadi satu dan ia hanya mampu duduk di samping tempat tidur anak perempuan Nolia.“Apa yang kamu pikirkan, dulu juga terjadi padaku,” cetus Nolia.“Dengan usiamu yang masih muda dan sedang hamil, aku jauh
“Bagaimana menurutmu, setelah melihat suamimu dan cinta pertamanya ada dalam jarak dekat?” Amarise tersentak mendapati suara berat itu membuyarkan lamunan. Ia terlalu senang melihat kebahagiaan Nyonya dan Tuan Isaac dikelilingi anak-anak kecil menggemaskan. Bahkan, kehadiran anak lelaki dan perempuan Nolia tidak terlihat dibedakan. Mereka berdua adalah orangtua yang sangat merangkul keluarga terdekat. Tidak ada kesenjangan dan pembeda kasih sayang, kecuali untuk hal tulus. Susah payah Amarise menelan saliva. Kali pertama ia berhadapan langsung secara berdua bersebelahan dengan pria yang sekilas memberi Amarise tatapan dingin. “Namaku Jason Harcourt,” cetus pria itu mengulurkan tangan. Atmosfer di sekitar Amarise terasa canggung dan menakutkan. Padahal, mereka semua berada dalam ruangan luas yang sama tanpa sekat. Tapi interaksi masing-masing mengabaikan Jason dan Amarise berdiri bersisian. “A-amarise,” cicitnya agak gugup. Bukankah mereka sudah tahu nama satu sama lain? Lantas,
“Aku mencintaimu, Rishi.”“Terimakasih sudah melahirkan anak kita, Sayang. Aku sangat mencintaimu dan anak laki-laki kita.”Lengkungan bibir Amarise terus terulas, merasakan debaran kuat di dalam dada hingga ribuan kupu-kupu terus terasa di perut Amarise. Kalimat itu seperti magis di antara hidup dan mati yang setelah Amarise upayakan untuk memberikan kehidupan baru pada anak laki-lakinya.Tangis bayi seiring napas lega Amarise berucap syukur, tidak terduga mendapatkan berkali lipat kebahagiaan lewat pernyataan cinta yang selama ini Amarise dambakan.Nic mengucapkan kalimat manis serta rasa harunya tepat di sisi Amarise. Pria itu menemani persalinan yang dilakukan Amarise hingga mengeluarkan atmosfer begitu manis—pernyataan cinta.Nicholas Isaac mencintai Amarise Damaswara.“Hai, River! Papamu sudah pulang!”Kelopak mata Amarise terbuka perlahan, lalu menjatuhkan pandangan ke arah Nic yang baru datang dengan jas di lengan. Pria itu mendekati putra kecilnya berusia enam bulan digendong
Nic terkekeh geli melihat Amarise sibuk menutupi dada terbukanya dengan selimut diapit di ketiak. Ia sebisa mungkin tidak membuat istrinya tersinggung dan marah. Karena berbahaya bagi suasana panas yang berangsur manis ini. Lagipula, ia terlalu menyukai sikap manja Amarise bersandar di dadanya dengan posisi pria itu memeluknya dari samping.“Bagaimana dengan pelayananku hari ini?” jemari lentik Amarise mengusap dada bidang Nic.Ia berusaha tidak mengambil duduk di atas pangkuan Nic. Amarise takut membangkitkan hasrat Nic lagi dengan tubuh mereka yang masih polos di balik selimut.Perempuan itu hanya tidak ingin ada sesuatu yang menginterupsi terlalu cepat dan membuat Amarise harus bersusah payah mengendalikan diri. Ia tidak ingin membuat orang di mansion ini meliriknya berbeda karena terlalu lelah melayani gairah Nic.Mungkin, jika waktu sudah cukup malam—Amarise bisa melayani suaminya tanpa gusar.Nic menangkap dan menarik lembut tangan kiri Amarise. Ia mengecup bergantian jemari tan
“Yeay! Kakakku paling hebat!” kedua tangan Alona bertepuk semangat. Ia begitu berseri, bangga dan takjub dengan sosok pria tinggi bertubuh atletis dalam balutan jas formal baru saja menyampaikan pidato perdananya sebagai CEO baru, resmi menggantikan seorang Nicholas Isaac yang sudah pensiun. Lelaki itu berhasil membimbing putranya sedari masa remaja dan kuliah. Nic menempatkan putra semata wayangnya di posisi menengah, salah satu anak cabang perusahaan agar putra kandungnya bisa mulai mengemban pekerjaan. Dan hasilnya, sungguh luar biasa. River Isaac, mampu melakukan semuanya di usia matangnya, tiga puluh tahun. “Kakakmu semakin tampan saja. Bagaimana cara mendaftar menjadi kekasihnya? Atau jika perlu, beri aku tips ampuh agar bisa menjadi kakak iparmu, Lona.” Alona memutar bola mata dengan pandangan kesal. “Tidak! Sampai kapan pun kamu tetap menjadi sahabatku, bukan kakak ipar perempuanku!” ketusnya membuat Amarise yang mendengar percakapan tertawa kecil. Alona adalah perpaduan
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang terjadi selama ini di antara kamu bersama River?”“Bibi-mu ini tahu segalanya, Ivory,” desis wanita itu menyeringai layaknya iblis.“Sikap binalmu, hasrat yang menggebu-gebu kamu salurkan pada pria muda yang dulu lebih memilih mengisi pikirannya dengan banyak pelajaran. Dan sekarang? Kamu mengubah pria itu lebih berani bertindak.”Ruangan sempit itu bergema saat suara tawa mengejek sangat memekakan dan risih di telinga Ivory. Gadis cantik bertubuh semampai itu mengepalkan kedua tangan. Embusan napasnya terkesan memburu seraya mengetatkan rahang.Sekalipun ruangan cukup temaram. Ivory sudah lebih dari cukup untuk tidak menelisik wajah menjengkelkan Bibi kandungnya. Wanita jalang ini tidak lebih baik dari kelakuan nakal Ivory sejak kecil.“Dua bulan lalu adalah perayaan pesta ulang tahunmu ketujuh belas. Keluarga Isaac memberikan perayaan sederhana, kekeluargaan yang hangat. Tapi saat malam hari, mereka semua tidak tahu jika kamu sedang berbagi peluh
Alona Isaac. Siswi paling cantik menjadi incaran banyak siswa di sekolah menengah pertamanya. Hanya saja, gadis itu terlalu angkuh dan memiliki selera sendiri dalam memilih pria mana yang ingin ia balas perasaannya.Lebih tepatnya, sejauh mana mereka bisa membahagiakan masa muda Alona.“Lona. Apa kamu mendengar berita terbaru?”“Berita apa?” tanya Alona melepas headset dan melirik malas teman dekatnya.Gadis berambut sebahu itu mendekat dan berbisik dengan raut sedih, “Kita akan mulai kehilangan pria paling tampan dan populer di tahun terakhir sekolah ini.”Alona mendelik bingung. “Siapa?”“Astaga! Siapa lagi jika bukan pria yang selalu menjadi pusat perhatian di sekolah kita.”“Satu angkatan dan satu kelas,” desisnya hampir melotot karena respons Alona terkesan acuh tak acuh.Teman dekat Alona menggerakkan dagu, memberikan atensi pada satu pria yang duduk tenang dan berekspresi dingin di sudut depan kelas. Pria itu tidak sedang berniat mengisi jam istirahat ke kantin atau seperti bia
“Sudah tidak ada lagi sekretaris dan anak buahmu! Jadi tidak perlu bersikap manis padaku di depan mereka!” ketus Amarise menurunkan kasar lengan Nic di pinggang Amarise.Wanita itu sangat kesal mendapati sikap posesif Nic yang terlihat dibuat-buat. Hati Amarise merasa diremas, sakit dan sesak. Air mata Ibu dari tiga anak itu hampir saja tumpah, membuat Nic terpaku di depan lift.Baru saja lelaki itu ingin menuntun istrinya masuk terlebih dulu. “Rishi? Kenapa menangis?”“Dasar lelaki berengsek!” umpat Amarise sedikit menjauh.Tiba-tiba saja suasana hatinya memburuk. Nic sudah hampir satu minggu tidak bisa menjemput Amarise di lobi perusahaan. Awalnya ia merasa bingung dan takut. Karena Nic tidak pernah menolak permintaan manja Amarise.Bahkan, terkadang lelaki itu berinisiatif sendiri menjemputnya, memperlihatkan kemesraan lewat gandengan tangan atau pelukan di pinggang Amarise. Lelaki itu ingin sekali memperkenalkan Amarise berulang kali di depan para pegawai perusahaan.Tapi hari ini
“Menurutmu, bagaimana dengan Margareth? Dia cantik, cerdas dan terlihat dewasa dari segi pemikiran dan tata krama. Di masa depan dia sangat pantas bersanding dengan River.”Kalimat antusias dan tatapan penuh harap lewat binar-binar di mata Amarise, membuat tenggorokan Ivory serat. Ia menelan makanan susah payah, secara alamiah penasaran dan menoleh ke arah River.Pria yang duduk di sampingnya ikut menoleh. Alhasil, Ivory lebih dulu membuang pandangan.Ada perasaan tidak suka saat Amarise membanggakan gadis lain untuk River. Apalagi mempersiapkan pasangan hidup untuk pria tampan itu.“Margareth? Dia yang minggu lalu datang kan, Ma?” tanya Alona.“Iya, Sayang. Kamu bersama Margareth juga terlihat akrab,” lanjutnya merasa ada di situasi melihat sosok Elena di diri Margareth.Gadis satu angkatan dan satu kesal dengan River. Tidak sedikit teman di kelasnya berharap pasangan cerdas, sama-sama rupawan itu segera menjalin kasih.“Rishi. Jika kamu meminta sebuah perjodohan untuk anak-anak kita
“Papa ... Mama ....” “River tidak mau main bersama adik perempuannya!” “Oh, sial!” umpat Nic baru saja mengerang sebagai pembuka. Ia hampir saja menghentakkan tubuh setelah melesak masuk diimpit kenikmatan yang ditawarkan Amarise. “Hei, jangan mengumpati anak perempuanmu,” tegur Amarise tajam, meskipun berakhir dengan tawa bahagia. Ia bahagia melihat rasa frustrasi di wajah Nic dan milik pria itu yang membutuhkan tempat ternyamannya. Dengan gesit Amarise meraih kaus dan celana pendek Nic, berbanding terbalik dengan kemalasan Nic duduk menatap dirinya datar. “Kenapa? Kamu ingin melampiaskan kekesalanmu padaku?” “Tidak,” balasnya bergerak malas memakai kaus dan celana pendek. Amarise terkekeh melihat Nic jalah tertatih, merasa dunia panasnya hilang digantikan pusing yang mulai mendera. Pintu terbuka dan menampilkan wajah cantik nan mungil Amarise versi kecil. Darah Asia lebih kuat karena gen keluarga Amarise dari pihak Ayahnya memiliki duplikat indah. “Papa,” suara Alona dibuat s
Nic merasakan kehangatan di dadanya melihat Amarise membantu menyandarkan punggung Nic di kepala ranjang. Dengan perlahan kedua tungkai Nic di angkat, disejajarkan di atas ranjang, lalu menyelimuti sebatas pinggang. “Maaf atas kesalahanku.” “Kamu salah karena tidak percaya cintaku yang hadir untukmu,” sahut Amarise hampir ketus. Tapi melihat keadaan Nic tidak bisa diajak bercanda atau sekadar memukul gemas suaminya. Hanya embusan napas berat yang terdengar berat bagi Amarise. “Aku harus memberi pelajaran pada jalang itu,” tandas Amarise menggebu. Kilatan kebencian sangat terlihat jelas di manik coklat Amarise. “Nyawa dibalas nyawa, Nic.” “Aku dan River hampir kehilangan dirimu. Lalu, air mata Mama dan Papa sangat membuatku semakin terpuruk.” “Mungkin mereka bisa membuatku tegar dengan perkataan meyakinkan. Tapi di sisi lain, mereka hanya ingin membuatku tenang dan tidak berakhir semakin menyedihkan.” Jason memberitahu kecelakaan yang membuat mobil Nic hampir ringsek. Tubuh suamin
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb