“Dia cantik sekali. Anak perempuan ini adalah dirimu dalam versi kecil. Ah, tapi matanya tidak sama sepertimu, Nolia.”Senyum manis Nolia terulas di paras cantiknya melihat calon ibu muda itu meneliti dan mengajak bicara pada anak perempuan Nolia dan Jason. Tangan Amarise memainkan jemari mungil dan lucu itu, sangat gemas dan terus memuji kecantikan anak kedua Nolia dan Jason.“Kami berbagi cukup adil.” Nolia dan Amarise tertawa geli memikirkan hal tersebut.Sorot mata Amarise agak sendu memandang boks bayi di depannya. “Sayang sekali aku agak sulit menggendong bayi cantikmu, Nolia. Semoga saja pasca aku melahirkan, aku bisa menggendongnya.”Di sisi lain Amarise masih belum paham bagaimana menggendong bayi. Kemudian, ia juga agak sulit dengan perut besarnya. Jiwa takut dan bingung menjadi satu dan ia hanya mampu duduk di samping tempat tidur anak perempuan Nolia.“Apa yang kamu pikirkan, dulu juga terjadi padaku,” cetus Nolia.“Dengan usiamu yang masih muda dan sedang hamil, aku jauh
“Bagaimana menurutmu, setelah melihat suamimu dan cinta pertamanya ada dalam jarak dekat?” Amarise tersentak mendapati suara berat itu membuyarkan lamunan. Ia terlalu senang melihat kebahagiaan Nyonya dan Tuan Isaac dikelilingi anak-anak kecil menggemaskan. Bahkan, kehadiran anak lelaki dan perempuan Nolia tidak terlihat dibedakan. Mereka berdua adalah orangtua yang sangat merangkul keluarga terdekat. Tidak ada kesenjangan dan pembeda kasih sayang, kecuali untuk hal tulus. Susah payah Amarise menelan saliva. Kali pertama ia berhadapan langsung secara berdua bersebelahan dengan pria yang sekilas memberi Amarise tatapan dingin. “Namaku Jason Harcourt,” cetus pria itu mengulurkan tangan. Atmosfer di sekitar Amarise terasa canggung dan menakutkan. Padahal, mereka semua berada dalam ruangan luas yang sama tanpa sekat. Tapi interaksi masing-masing mengabaikan Jason dan Amarise berdiri bersisian. “A-amarise,” cicitnya agak gugup. Bukankah mereka sudah tahu nama satu sama lain? Lantas,
“Aku mencintaimu, Rishi.”“Terimakasih sudah melahirkan anak kita, Sayang. Aku sangat mencintaimu dan anak laki-laki kita.”Lengkungan bibir Amarise terus terulas, merasakan debaran kuat di dalam dada hingga ribuan kupu-kupu terus terasa di perut Amarise. Kalimat itu seperti magis di antara hidup dan mati yang setelah Amarise upayakan untuk memberikan kehidupan baru pada anak laki-lakinya.Tangis bayi seiring napas lega Amarise berucap syukur, tidak terduga mendapatkan berkali lipat kebahagiaan lewat pernyataan cinta yang selama ini Amarise dambakan.Nic mengucapkan kalimat manis serta rasa harunya tepat di sisi Amarise. Pria itu menemani persalinan yang dilakukan Amarise hingga mengeluarkan atmosfer begitu manis—pernyataan cinta.Nicholas Isaac mencintai Amarise Damaswara.“Hai, River! Papamu sudah pulang!”Kelopak mata Amarise terbuka perlahan, lalu menjatuhkan pandangan ke arah Nic yang baru datang dengan jas di lengan. Pria itu mendekati putra kecilnya berusia enam bulan digendong
Nic terkekeh geli melihat Amarise sibuk menutupi dada terbukanya dengan selimut diapit di ketiak. Ia sebisa mungkin tidak membuat istrinya tersinggung dan marah. Karena berbahaya bagi suasana panas yang berangsur manis ini. Lagipula, ia terlalu menyukai sikap manja Amarise bersandar di dadanya dengan posisi pria itu memeluknya dari samping.“Bagaimana dengan pelayananku hari ini?” jemari lentik Amarise mengusap dada bidang Nic.Ia berusaha tidak mengambil duduk di atas pangkuan Nic. Amarise takut membangkitkan hasrat Nic lagi dengan tubuh mereka yang masih polos di balik selimut.Perempuan itu hanya tidak ingin ada sesuatu yang menginterupsi terlalu cepat dan membuat Amarise harus bersusah payah mengendalikan diri. Ia tidak ingin membuat orang di mansion ini meliriknya berbeda karena terlalu lelah melayani gairah Nic.Mungkin, jika waktu sudah cukup malam—Amarise bisa melayani suaminya tanpa gusar.Nic menangkap dan menarik lembut tangan kiri Amarise. Ia mengecup bergantian jemari tan
“Ma, Kak. Apa saja yang biasa dilakukan orang berkencan? Aku ingin menerapkannya pada Rishi.”“UHUK!”Tuan Isaac nyaris tersedak minuman hangatnya, sedangkan kakak ipar laki-laki Nic berekspresi sama seperti Ibu mertua dan istrinya. Mereka sukses menganga dengan keterdiaman masing-masing.Nic masih menampilkan sorot serius duduk di hadapan mereka. “Kenapa?” tanyanya polos memerhatikan Tuan Isaac dibantu istrinya menenggak air putih.“Apa ada yang salah dengan pertanyaanku?” tanya Nic sekali lagi.Kakak perempuan Nic menelan saliva susah payah. “Kamu ... datang ke mari hanya untuk bertanya hal ini?”“Ya, kenapa memangnya?”“Oh Tuhan,” sahut Nyonya Isaac mengerjap berulang kali.Wanita itu terperangah yang membuatnya di detik selanjutnya tertawa bahagia. “Lihat putramu, Papa. Dia seperti pria yang baru saja jatuh cinta. Padahal, dia sudah memiliki anak dan istri.”“Apalagi yang disebut kencan seperti layaknya pasangan kekasih, Nak?” wanita itu terkekeh geli.“Di usiamu sekarang fase itu
River sangat antusias dimandikan Nic yang tidak henti-hentinya menjalin komunikasi hangat bersama putra semata wayangnya. Kepala bayi itu kadang mengangguk, menyeringai lebar dan mengedipkan mata lucu dengan memainkan kedua tangan mungilnya. “Ayo, Nak. Sekarang keringkan tubuhmu dan Papamu akan memakainkan pakaian untukmu!” seru Nic mengambil bathrobe River, lalu menggendong anaknya dan membawa keluar kamar mandi ruang tamu. Nic sesekali memakai ruangan yang dulu dipakainya bercinta dengan Amarise karena tidak ingin menganggu tidur pulas istrinya. Karena pria itu selalu tidak ingin kehilangan satu momen untuk berinteraksi dengan sang anak. “Wangi sekali anak Papa,” cetus pria itu terkekeh kecil mengusap perut anak laki-lakinya. River menggeliat lucu dengan senyum menggemaskannya. “Kamu sangat mirip denganku saat masih bayi.” kedua pipi River menjadi sasaran kecupan dari bibir Nic. “Mamamu sering mengatakan, jika tidak ada satupun dari diri Mamamu yang menurun padamu, Sayang,” lanj
“Amarise. Hari ini River belum diberikan ASI.” “Stok ASI masih ada, kan, Ma? Biar pengasuh River yang menyiapkannya. Aku masih harus mencari keberadaan Nic,” balas Amarise tanpa menoleh ke arah Nyonya Isaac datang ke kamar sambil menggendong River yang masih tidur.Sebentar lagi jadwal anak lelaki itu untuk bangun dan menerima ASI dari Amarise. Tapi hampir tiga hari Amarise mengabaikan perannya, beralih mengonfirmasi pesawat yang diterbangi Nic dengan awak pesawat juga penumpang lain.Mata wanita itu berkaca-kaca melihat menantunya baru saja menelepon seseorang, kesekian kali hanya untuk memastikan mimpi buruk Amarise tidak nyata.“Amarise … Anak laki-lakiku sudah ….”“Tolong jangan katakan kalimat mengerikan itu lagi, Ma!” pekik Amarise tanpa sadar.Ia sendiri tersentak kaget. Tubuh Amarise gemetar, mengatupkan rapat bibir menahan desakan untuk menangis. “Maaf,” lirihnya tidak berani menatap Nyonya Isaac.“Aku tidak peduli tentang berita apa pun, Ma. Aku masih percaya Nic hanya memb
“Kita kencan naik motor?!” “Hmm ... ya, naik motor. Apa kamu tidak suka?” Nic mengusap tengkuknya salah tingkah. Pria itu merasa pandangan Amarise terlalu membuat Nic berpikiran buruk. Seharusnya pria itu bisa memberikan kesan kencan manis untuk kali pertama setelah jatuh cinta dengan menaiki mobil. “Jika memilih antara sepeda dan motor, aku lebih suka sepeda. Kesan manis dan penuh cumbuan hari itu di tepi danau lebih membekas. Masih mendebarkan hingga sekarang.” pipi putih dan mulus Amarise bersemu merah. Keraguan Nic perlahan memudar dengan menarik senyum, ikut tertawa geli saat Amarise mendekat. Perempuan itu memeluk manja Nic yang sudah berpenampilan tampan—lebih muda—saat memakai pakaian kasual. “Ini bukan kencan pertamamu bersama seorang perempuan,” cibir Amarise tanpa mengurai pelukan. Nic tertawa seraya mengecup ujung hidung mancung istrinya. “Tapi ini kali pertama aku merasakan cinta yang lebih besar pada perempuan. Dan ini kali pertama setelah lebih dari sepuluh tahun