Keesokan paginya, Lea terbangun setelah tak sengaja mendengar suara berisik dari alarm. Dengan mata berat, ia membuka mata dan sebuah pemandangan tak biasa mengejutkan wanita itu. Bagaimana bisa Kayden Easton tidur tepat di sampingnya?!
Lea terkejut dan langsung melompat dari tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seolah tercekat begitu saja. Lea berniat membangunkannya, namun pria itu tiba-tiba membuka matanya.
“Apa yang terjadi? Mengapa kamu tidur di ranjangku dan Noah?” tanya Lea panik.
Kayden tersenyum miring. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kamarku?”
Lea kembali terkejut. “A-apa? A-aku pikir ini kamar pengantin,” jawabnya dengan suara tergagap.
Kayden tertawa pelan. “Jangan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Aku tahu kamu memang sengaja ingin naik ke atas ranjangku, Lea Rose!”
Seluruh wajah Lea memerah karena merasa malu sekaligus marah. “Apa maksudmu? Aku sungguh tidak sengaja masuk ke kamar ini!” elaknya.
Usai mengatakan hal tersebut, Lea segera berlari menuju pintu. Ketika ia berada tepat di ambang pintu kamar, sebuah suara bariton tiba-tiba mengudara.
“Kau sudah masuk ke dalam sarangku, jangan harap kau bisa lepas begitu saja dariku.”
Lea segera berlari keluar dari kamar Kayden dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. Dengan wajah panik, ia berlari menuju kamar yang terletak tak jauh dari sana. Kali ini Lea yakin tidak salah lagi, kamar yang ada di hadapannya benar-benar kamar pengantin.
Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Lea mendorong pintu dan mendapati kamar itu kosong. Tidak ada tanda-tanda Noah di dalamnya. Sejujurnya Lea merasa sedikit lega, setidaknya ia tak perlu memberikan penjelasan apa pun pada suaminya itu.
Dengan tubuh yang masih bergetar, Lea melangkah masuk ke dalam kamar. Kedua matanya berkeliling menatap kamar yang tampak bersih dan rapi. Semuanya terlihat seperti belum tersentuh.
“Apa Noah belum pulang?” gumamnya pelan.
Lea menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, lalu membuang napas panjang melalui mulut. Bayangan tentang kejadian tadi terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa salah masuk kamar dan tidur di ranjang Kayden?
Lea mendesah frustasi. Jika saja seseorang mengetahui kejadian tersebut, apa yang akan mereka pikirkan? Seorang pengantin wanita yang baru saja menikah, malah tertidur di kamar kakak iparnya pada malam pertama. Bukankah itu terdengar sangat konyol?
“Mengapa aku bisa salah masuk kamar? Lea, kamu benar-benar wanita bodoh!” Lea merutuk sambil mengacak rambutnya sendiri.
Di tengah rasa frustasi, suara ketukan pada pintu menginterupsi Lea. Ia bangkit berdiri, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Kedua mata Lea membelalak saat wajah tampan Kayden Easton menyambutnya.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tampak santai tetapi sukses membuat Lea merasa tertekan. “Kamu meninggalkan ini di kamarku,” ucap Kayden sambil menyerahkan sepasang sepatu Lea yang tertinggal.
Lea mengambil sepatu itu dengan cepat. “Terima kasih,” ucapnya kemudian mencoba menutup pintu, tetapi Kayden menahan pintu menggunakan tangannya.
“Kita perlu bicara,” ujar Kayden dengan tatapan serius.
Lea meneguk saliva dengan sedikit payah, kemudian mendongak untuk menatap Kayden. “B-bicara soal apa?” tanyanya gugup.
Kayden tidak menjawab. Pria itu lantas mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar dan masuk tanpa seizin Lea. Tubuhnya yang tinggi dan tegap membuat Lea refleks melangkah mundur.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Kakak Ipar?” tanya Lea semakin gugup.
Kayden tiba-tiba tersenyum. “Apa kamu tidak ingat yang terjadi tadi malam?” ucapnya kembali mengungkit kejadian tadi malam.
“Itu kecelakaan! Aku benar-benar tidak sengaja masuk ke kamarmu karena aku pikir itu adalah kamar pengantin,” jawab Lea buru-buru.
Kayden mengangguk, tetapi matanya semakin dalam menatap Lea. “Mungkin begitu. Tapi orang lain tidak akan berpikir seperti itu, bukan? Terlebih lagi, kita berdua sudah berciuman,” katanya dengan nada yang terdengar menekan.
Lea merasa jantungnya berhenti sejenak. “A-apa? Kita berciuman?” tanyanya tergagap.
Kayden mendekat, membuat Lea semakin mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, hingga jarak di antara mereka semakin tipis. “Ya, tadi malam kamu seperti gadis liar,” bisiknya dengan nada suara yang berubah menjadi lebih lembut, tetapi ada ancaman terselubung di baliknya. “Aku bisa saja memberi tahu Noah atau siapa pun tentang apa yang terjadi di antara kita. Tapi, aku tidak akan melakukannya … selama kamu tahu posisimu.”
Mata Lea membelalak lebih lebar. “P-posisi? Apa maksud kamu?”
Kayden mengulurkan tangannya, menyentuh ujung rambut Lea yang tergerai. Sentuhan itu membuat Lea tidak nyaman dan semakin merasa tertekan. “Kamu milikku, Lea Rose. Aku tidak peduli apa statusmu sekarang. Apa pun yang terjadi, kamu tidak akan bisa lepas dariku.”
Lea refleks mendorong dada Kayden dengan cukup kuat, namun tindakannya tersebut justru membuat Kayden menariknya semakin mendekat.
“Kamu pasti sudah gila! Aku istri Noah, adikmu sendiri. Jangan coba-coba bermain denganku!” ucap Lea merasa marah.
Kayden hanya tertawa kecil. “Itu hanya status di atas kertas, Lea. Pada akhirnya, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan sekarang, itu kamu,” jawabnya dengan suara rendah dan terdengar begitu percaya diri.
Lea merasakan kemarahan sekaligus ketakutan membakar dirinya dari dalam. Ia hendak membalas ucapan Kayden, namun suara langkah kaki yang baru saja tiba membuat mereka berdua menoleh.
“Noah,” gumam Lea dengan wajah pucat.
Kayden tersenyum santai, lalu mundur beberapa langkah. “Pertunjukan dimulai,” bisiknya kemudian berbalik dan hendak melangkah keluar melalui Noah.
“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.“Berhent
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan."Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.Lea membuka langk
Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng