Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan. “Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea. Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan. "Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan. Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu. Lea membuka langkah dan berhenti di sisi meja. “Aku tidak butuh makan. Jawab saja pertanyaanku. Mengapa kamu melakukan ini?” Kayden kembali tersenyum sambil menata peralatan makan untuk Lea. “Bukankah seharusnya kamu menanyakan hal itu pada Noah? Kenapa dia bercinta dengan wanita lain hari ini … dan pada malam pernikahan?” Kata-kata itu menusuk jantung Lea seperti sembilu yang sangat tajam. Rahangnya mengeras dan ia berusaha menahan emosi yang menyeruak. Jadi, alasan Noah tidak pulang di malam pernikahan adalah karena dia bersama wanita lain? Lea merasa marah, tapi lebih kepada dirinya sendiri. Jika saja Noah kembali bersamanya malam itu, ia tidak akan terjerumus dalam situasi seperti ini. Ia tidak akan menjadi tawanan Kayden dan terjerat dalam ancaman pria itu. “Aku … aku ….” Lea tidak tahu harus menjawab apa. Kayden bangkit berdiri, lalu menarik tangan Lea dan memaksanya duduk. Salah satu tangannya menyerahkan peralatan makan kepada wanita itu. “Makanlah. Kamu butuh energi,” katanya tanpa basa-basi. Lea memilih diam, menundukkan kepala, lalu menuruti permintaan Kayden. Wanita itu hanya fokus dengan makanannya hingga tidak ada makanan lagi tersisa di atas piringnya. “Aku membawamu ke sini untuk bersenang-senang,” kata Kayden tiba-tiba. Lea mengangkat kepalanya dan menatap Kayden dengan tak bersemangat. “Tapi aku sedang tidak ingin bersenang-senang,” sahutnya tanpa ragu. Kayden tertawa kecil. “Aku tidak sedang meminta persetujuanmu,” balasnya santai. “Kamu terlihat sedih setelah melihat Noah. Kenapa? Bukankah kamu juga tidak menginginkan pernikahan ini sama sepertinya?” Lea menggigit bibirnya demi menahan rasa marah yang membuncah di dalam dirinya, namun ia tidak ingin memberikan Kayden rasa puas dengan membalas ucapannya. Ia segera berdiri dan berniat meninggalkan ruangan. Namun pergerakan Kayden lebih cepat dari dugaan Lea. Dengan langkah panjang, pria itu meraih tubuh Lea lalu menggendongnya ke lantai satu. Lea memberontak sekuat tenaga, tapi kekuatan pria itu terlalu besar untuk dilawan. Kayden menurunkan Lea dan mendapati wanita itu menangis. “Mengapa menangis?” tanyanya dengan nada suara yang sulit diartikan. Lea mencoba menahan isak tangisnya. “Tolong biarkan aku sendiri,” pintanya lirih. Kayden tidak menjawab dan keheningan sempat membalut mereka beberapa saat. “Masuklah ke kamar ….” Lea tidak menjawab dan langsung masuk ke kamar yang berada tak jauh dari mereka. Ia mengunci pintu lalu menjatuhkan diri di sofa. Air mata tidak berhenti mengalir dari ekor matanya, perasaannya benar-benar seperti roller coaster. “Mengapa semuanya begitu kacau?” gumam Lea pelan. Ketika malam hampir tiba, Lea keluar dari kamar dengan mata sembap. Ia mencari keberadaan Kayden, memanggil namanya beberapa kali, namun tak ada jawaban. Saat hendak menuju pintu utama, pintu itu tiba-tiba terbuka karena seseorang mendorongnya dan membuat Lea sedikit terkejut. Sosok Kayden yang tinggi menjulang berdiri di sana, dengan rambut berantakan dan tatapan yang sulit diartikan. “Uhm, sekarang sudah hampir malam. Aku harus kembali ke villa sebelum Noah,” kata Lea. Kayden menatapnya sejenak. “Tidak ada yang melarangmu pergi dari tempat ini,” katanya. Dengan cepat, Lea berjalan keluar dari villa sebelum Kayden berubah pikiran. Sepanjang perjalanan, perasaan Lea terasa begitu aneh. Hal-hal yang menimpanya beberapa hari terakhir sungguh membuat Lea kewalahan. Setibanya di villa Noah, Lea segera menuju kamar dan masuk ke kamar mandi. Suara air yang mengalir deras dari pancuran membuatnya merasa seolah bisa membilas semua rasa lelah dan ketegangan yang menggelayuti dirinya. Namun saat tubuhnya terhanyut dalam keheningan itu, tiba-tiba suara Noah terdengar berteriak memanggil namanya. "Mengapa suaranya terdengar begitu marah?” gumam Lea bingung sambil mengenakan jubah mandi dengan tangan gemetar. Lea bergegas keluar dari kamar mandi, kemudian membuka pintu kamar dengan hati berdebar. Tanpa ia duga, begitu pintu terbuka, tubuh Noah langsung menerjangnya. Sebelum Lea sempat berkata apa-apa, pukulan pertama sudah mendarat di pipinya. "Dasar gadis sialan!" teriak Noah dengan suara penuh kebencian. "Gara-gara dirimu, hubunganku dengan Sophia jadi berantakan! Aku sangat mencintainya, tapi sekarang dia bahkan tidak peduli padaku! Semua ini karena kamu tidak membatalkan pernikahan kita!” Lea terhuyung, tapi dia berusaha keras untuk tetap berdiri. Pipinya terasa panas, wajahnya berdenyut-denyut akibat tamparan Noah. Darah mulai terasa hangat mengalir di dalam mulutnya, namun rasa sakit itu seolah tak ada artinya dibandingkan dengan kehancuran di matanya. "Maafkan aku. Aku sama sekali tidak berniat untuk merusak semuanya.” Noah mendengus, tidak peduli dengan permohonan Lea. “Diam! Apa pun yang kamu lakukan sekarang, semuanya sudah terlambat! Sophia tidak akan pernah kembali padaku! Semua ini salahmu, dan kamu harus membayar harga itu!” teriaknya lantang. Dengan amarah yang semakin membara, Noah memberikan tamparan kedua yang lebih keras. Kali ini, rasa sakit di wajah Lea memuncak, seolah-olah seluruh dunia runtuh dalam sekejap. Tangannya bergetar saat dia mencoba untuk menahan tubuhnya yang semakin limbung. Setiap pukulan Noah terasa seperti mematahkan semangatnya satu per satu. Bahkan permohonan Lea yang tulus seakan tak berarti sama sekali bagi pria itu. Ingin rasanya Lea melawan, berteriak, atau lari, tetapi tubuhnya terasa seperti terikat. "Aku mohon, berhentilah memukulku ….”Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
Malam harinya, Noah berpesta dengan teman-temannya di villa. Suara tawa dan sorakan yang begitu riuh memenuhi seisi ruangan, sementara Lea terjebak di tengah kegelapan pesta yang sedang berlangsung. Sialnya, ia bukan hanya tidak bisa beristirahat—Noah juga memaksanya menjadi pelayan malam itu, memerintahkannya melayani setiap tamu yang datang.Berpesta seperti ini jelas bukanlah kehidupan yang pernah Lea kenal. Selain bersekolah, masa mudanya lebih banyak dihabiskan di dapur atau melayani kakak tirinya. Kini tubuhnya terasa semakin lelah dan kedua matanya terasa berat, namun Noah tidak memberinya kesempatan untuk berhenti.Sejenak, Lea merenung. Sebuah pikiran bahwa Noah jauh lebih kejam daripada Kayden tiba-tiba menyelusup di kepalanya."Astaga, apa yang aku pikirkan? Mengapa aku malah membandingkan Noah dengan Kayden?" gumamnya pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.Dengan cepat Lea menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir pemikiran yang tak seharusnya ada
Untuk mengobati perasaannya yang telah hancur, Lea memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai dekat villa. Di bawah sinar bulan dan hamparan bintang-bintang, Lea berjalan di atas pasir putih ditemani suara desiran ombak. Rasa sakit yang terus mengalir seakan menghantam dinding-dinding hatinya, membuat Lea sama sekali tak merasa takut meski hanya seorang diri di tengah kegelapan.Lea mendongak, menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Cahaya bulan yang lembut seolah menyorot dirinya yang rapuh. “Mengapa meninggalkanku sendirian di sini, Bu?” gumamnya pelan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan ibunya yang kini mungkin telah menjadi bagian dari bintang-bintang di atas sana.Kedua kaki Lea terus melangkah tanpa tujuan pasti, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan—ketenangan, jawaban, atau mungkin sekadar kehadiran seseorang yang bisa menghapus kesendiriannya.Langkah Lea terhenti saat matanya tak sengaja menangkap sebuah cahaya dari kejauhan. "Api unggun?" gumamn
Kayden akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Lea ketika wanita itu dengan gugup mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Senyum tipisnya tidak memudar, seakan menikmati kecanggungan yang dirasakan Lea saat ini.Lea menundukkan kepala, rasa malu bercampur dengan rasa lapar kini mulai menguasai pikirannya. Suara perutnya yang berbunyi kembali memecah kesunyian di antara mereka, membuat wajahnya semakin memerah.“Kalau begitu,” Lea meneguk saliva dengan sedikit payah sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “bolehkah aku mencicipi ini semua? Aku … belum makan sejak siang.”Kayden menyipitkan matanya, memperhatikan Lea yang tampak pucat dan lemah. Ia mengulurkan tangan ke meja, mengambil sebuah piring dengan sepotong daging panggang di atasnya, lalu mengangkatnya ke arah Lea.“Silakan,” katanya dengan nada yang samar-samar terdengar seperti tantangan. “Tapi ingat, setiap gigitan ada harganya.”Lea menatap piring itu dengan mata bergetar. Aroma daging panggang yang
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali
Jantung Lea mencelos sesaat setelah mendengar kalimat itu. Jadi, semua ini tentang Sophia? Noah rela menyakitinya sejauh ini hanya demi kekasih gelapnya itu.Demi Tuhan! Lea merasa sangat marah, tapi ia tak tahu kepada siapa ia seharusnya marah. Pada Noah yang menyakitinya, atau pada dirinya sendiri yang selalu merasa tak berdaya?Lea ingin melawan. Namun keinginan itu hanya berakhir sebagai angan-angan kosong. Meski semangat untuk melawan sempat menyala, rasa takut akan ancaman yang terus menghantui membuatnya kehilangan keberanian.“Berhenti menangis! Sekarang, cepat obati tanganmu sebelum suamiku melihatnya!” ucap Kaelyn tanpa sedikit pun rasa simpati.Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada dingin, Kaelyn segera beranjak. “Sial! Selera makanku jadi hilang karena ini,” gumamnya, suaranya masih terdengar jelas meski langkahnya sudah mulai menjauh dari ruang makan.Setelah Kaelyn benar-benar pergi, seorang pelayan segera menghampiri Lea dan membantunya berdiri.“Terima kasih,” uca
Setelah kejadian itu, Sophia langsung merasa bahwa ia perlu bertindak. Ia mengeluarkan ponselnya dengan tak sabar dan mengetik pesan cepat kepada Noah. Sophia meminta pria itu untuk segera bertemu, dan mereka sepakat untuk bertemu di apartemennya tiga puluh menit lagi.Saat Sophia tiba, Noah sudah menunggunya di ruang tamu. Ekspresinya suram, penuh dengan ketegangan yang tak biasa. Matanya tajam dan ada kilatan amarah di sana—bukan hanya kemarahan biasa, tetapi kemarahan yang jelas sedang ia tahan dengan susah payah.Begitu duduk di sofa, Sophia segera memasang ekspresi terguncang, seolah ia benar-benar teraniaya.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya dengan suara bergetar. “Lea ... dia benar-benar sudah gila! Dia menamparku, Sayang! Dia mempermalukanku di depan banyak orang!”Noah yang awalnya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri langsung mengangkat wajah, menatap Sophia dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu? Lea menamparmu?”Nada ketidakpercayaan dalam suaranya begitu jela