Malam harinya, Noah berpesta dengan teman-temannya di villa. Suara tawa dan sorakan yang begitu riuh memenuhi seisi ruangan, sementara Lea terjebak di tengah kegelapan pesta yang sedang berlangsung. Sialnya, ia bukan hanya tidak bisa beristirahat—Noah juga memaksanya menjadi pelayan malam itu, memerintahkannya melayani setiap tamu yang datang.Berpesta seperti ini jelas bukanlah kehidupan yang pernah Lea kenal. Selain bersekolah, masa mudanya lebih banyak dihabiskan di dapur atau melayani kakak tirinya. Kini tubuhnya terasa semakin lelah dan kedua matanya terasa berat, namun Noah tidak memberinya kesempatan untuk berhenti.Sejenak, Lea merenung. Sebuah pikiran bahwa Noah jauh lebih kejam daripada Kayden tiba-tiba menyelusup di kepalanya."Astaga, apa yang aku pikirkan? Mengapa aku malah membandingkan Noah dengan Kayden?" gumamnya pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.Dengan cepat Lea menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir pemikiran yang tak seharusnya ada
Untuk mengobati perasaannya yang telah hancur, Lea memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai dekat villa. Di bawah sinar bulan dan hamparan bintang-bintang, Lea berjalan di atas pasir putih ditemani suara desiran ombak. Rasa sakit yang terus mengalir seakan menghantam dinding-dinding hatinya, membuat Lea sama sekali tak merasa takut meski hanya seorang diri di tengah kegelapan.Lea mendongak, menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Cahaya bulan yang lembut seolah menyorot dirinya yang rapuh. “Mengapa meninggalkanku sendirian di sini, Bu?” gumamnya pelan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan ibunya yang kini mungkin telah menjadi bagian dari bintang-bintang di atas sana.Kedua kaki Lea terus melangkah tanpa tujuan pasti, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan—ketenangan, jawaban, atau mungkin sekadar kehadiran seseorang yang bisa menghapus kesendiriannya.Langkah Lea terhenti saat matanya tak sengaja menangkap sebuah cahaya dari kejauhan. "Api unggun?" gumamn
Kayden akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Lea ketika wanita itu dengan gugup mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Senyum tipisnya tidak memudar, seakan menikmati kecanggungan yang dirasakan Lea saat ini.Lea menundukkan kepala, rasa malu bercampur dengan rasa lapar kini mulai menguasai pikirannya. Suara perutnya yang berbunyi kembali memecah kesunyian di antara mereka, membuat wajahnya semakin memerah.“Kalau begitu,” Lea meneguk saliva dengan sedikit payah sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “bolehkah aku mencicipi ini semua? Aku … belum makan sejak siang.”Kayden menyipitkan matanya, memperhatikan Lea yang tampak pucat dan lemah. Ia mengulurkan tangan ke meja, mengambil sebuah piring dengan sepotong daging panggang di atasnya, lalu mengangkatnya ke arah Lea.“Silakan,” katanya dengan nada yang samar-samar terdengar seperti tantangan. “Tapi ingat, setiap gigitan ada harganya.”Lea menatap piring itu dengan mata bergetar. Aroma daging panggang yang
Kayden meraih botol air mineral yang ada di dekatnya. “Apa kamu sengaja mencari masalah, huh? Jalan-jalan saat tengah malam tanpa persiapan apa pun, lalu sekarang begini!” ucapnya terdengar frustasi.Lea hanya bisa menunduk, matanya setengah terpejam karena tubuhnya terasa semakin lemah. Napasnya mulai berat dan rasa panas di dalam tubuhnya semakin kontras dengan dinginnya udara malam.Namun jauh di dalam pikirannya, Lea tahu bahwa ini bukan hanya akibat dari hujan deras atau angin malam. Sebelum ini, suaminya telah menceburkannya ke dalam kolam renang tanpa peduli dengan kondisinya yang kelelahan karena kurang istirahat. Dengan semua itu, tentu saja Lea akhirnya tumbang seperti sekarang.Kayden mendesah keras sambil berlutut di hadapan Lea dengan tatapan tajam yang bercampur rasa frustrasi. “Dengar,” katanya dengan nada lebih pelan namun tetap tegas, “kamu harus tetap terjaga. Jangan sampai pingsan di sini.” Ia membuka botol air, menuangkan sedikit ke telapak tangannya, lalu menyeka w
Lea terbangun dan pandangannya kabur saat melihat langit-langit kamar yang luas. Kepalanya terasa pusing sementara tubuhnya begitu lemah. Saat kesadarannya benar-benar terkumpul, Lea segera menyadari bahwa dirinya berada di sebuah kamar tidur.Lea tersentak dan bangkit dengan buru-buru, tetapi rasa pusing itu membuatnya hampir terjatuh. Ia menatap tangan kirinya dan menemukan sebuah infus yang masih setengah terisi terpasang di sana. Lalu kedua matanya berkeliling menyapu ruangan tersebut—Ini jelas bukan kamarnya.“Bukankah tadi malam aku berada di tenda bersama Kayden? Lalu, di mana aku sekarang?” gumamnya kebingungan.Pintu kamar mandi di sampingnya tiba-tiba terbuka saat seseorang mendorongnya. “Di mana lagi memangnya? Tentu saja ini kamarku.”Kedua mata Lea melebar saat mendapati sosok Kayden yang melangkah keluar dengan rambut yang masih basah. Butiran air menetes dari ujung rambutnya dan membasahi bahunya yang tak tertutup oleh apa-apa.Lea terkejut dan tubuhnya refleks menegak
Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu, membuyarkan lamunan Lea yang sedari tadi memandang ke luar jendela. Ia mengangkat kepala sedikit, lalu menoleh ke arah pintu kayu yang tertutup rapat. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapa yang datang? Kalau itu Kayden, pria itu pasti sudah masuk tanpa mengetuk."Masuk," ucap Lea akhirnya, suaranya terdengar lemah namun cukup jelas.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang dokter dan seorang perawat muda melangkah masuk dengan tenang. Dokter itu membawa clipboard di tangannya, sementara perawat membawa nampan kecil berisi alat medis. Senyum ramah menghiasi wajah sang dokter saat ia mendekat ke ranjang."Selamat siang, Nyonya. Bagaimana rasanya sekarang? Apakah masih pusing atau sudah lebih baik?" tanya sang dokter lembut.Lea menatap dokter sejenak, lalu tersenyum tipis. "Sedikit lebih baik, Dok," sahutnya dengan suara lemah namun tulus.Dokter itu mengangguk kecil, lalu berjalan ke sisi ranjang untuk memeriksa grafik pada botol infus yang
Lea berdecak pelan, merasa frustasi saat Kayden berhasil menangkapnya sebelum ia sempat melarikan diri. Langkahnya terhenti begitu saja, seakan ada pemberat tak kasat mata yang mencengkeram kedua kakinya dan memaksa tubuhnya untuk tetap diam di tempat.Lea berbalik dengan perlahan. Wajahnya tampak tegang, seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Matanya bertemu dengan sosok Kayden di ujung lorong.Kayden berdiri di sana dengan tatapan tajam yang tak lepas dari Lea. Matanya seolah berbicara lebih banyak daripada kata-kata, memancarkan kombinasi misterius yang sulit dijabarkan. Setiap detik sorot matanya membuat Lea semakin kecil, seakan dirinya sedang dinilai, dianalisis, dan dikendalikan."Apa yang kamu coba lakukan, huh?" Suara Kayden akhirnya pecah memenuhi seisi lorong.Pertanyaan itu terdengar sederhana. Namun di telinga Lea, entah mengapa pertanyaan itu justru terasa berat seperti sebuah peringatan. Membuat Lea bergidik mendengarnya.Lang
Lea menatap Kayden dengan wajah merah karena kemarahan yang membuncah dari dalam. Kendati demikian, wanita itu memilih diam. Lea enggan mengungkapkan secara langsung apa yang dirasakannya sekarang. “Jika kamu sangat ingin aku makan siang, baiklah. Tapi kamu harus berjanji, kamu akan melepaskanku setelah aku selesai makan,” ucap Lea berusaha agar suaranya terdengar tenang. Kayden hanya menatap wanita itu tanpa memberi jawaban, matanya tetap mengawasi gerak-gerik Lea saat wanita itu mulai menyuap makanan ke mulutnya. Karena keinginannya untuk segera pergi dari tempat ini begitu besar, membuat Lea menghabiskan semua makanan di piringnya dengan begitu cepat. Begitu selesai, Lea segera berdiri dan siap melangkah keluar dari ruangan tersebut. Namun, rencananya kembali digagalkan oleh Kayden. Dengan gerakan yang cepat, Kayden menangkap lengan Lea yang hendak pergi. “Aku tidak bilang kamu bisa pergi setelah makan siang,” katanya dengan nada datar. “Lagi pula, Noah tidak akan mencarimu. Dia
Seluruh wajah Lea basah akan keringat saat mobil berhenti di sebuah tempat sepi yang bahkan tidak dikenalnya. Gelap, sunyi, dan jauh dari keramaian. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang saat sopir itu menoleh ke arahnya dengan seringai licik.“Turun,” perintahnya dengan nada dingin sembari mengacungkan pisaunya di dekat leher Lea.Lea mengangguk pelan, berpura-pura menurut. Sementara di bawah sana, tangannya merogoh tas dengan gemetar dan berhasil menemukan botol parfum kaca yang tersembunyi di dalamnya. Saat pria itu bergerak lebih dekat, Lea segera mengayunkan botol itu sekuat tenaga hingga mengenai wajahnya dengan keras!“ARGH!” Sopir itu menjerit.Tanpa membuang waktu, Lea mendorong pintu mobil dengan keras dan langsung berlari keluar.Kakinya hampir terpeleset di atas salju, tapi ia tidak peduli. Ia hanya bisa fokus untuk berlari, menjauh sejauh mungkin dari pria itu.Dalam ketakutan dan kepanikan, Lea melihat sebuah mobil melaju ke arahnya. Tanpa berpikir pan
Entah mengapa, Lea tiba-tiba panik, seperti ia baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Niatnya untuk berbalik arah langsung buyar saat sebuah suara mengudara di belakangnya. Lea terdiam di tempat.“Nyonya Lea Rose.”Suara itu berasal dari sopir pribadi Kaelyn. Lea menelan ludah dengan susah payah sebelum akhirnya berbalik perlahan. Senyum masam terbit di bibir ranumnya saat ia berusaha menyembunyikan kegelisahan yang merayapi dadanya.“Uhm ... Halo, Tuan Simmons. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya dengan suara getir.Tuan Simmons melangkah mendekat, dahinya sedikit berkerut saat memperhatikan Lea yang tampak gelisah. Namun sebelum sempat mengutarakan pikirannya, dering ponsel dari dalam sakunya mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat, ia merogoh saku celananya dan melihat nama yang tertera di layar.Kaelyn.Ekspresi Tuan Simmons berubah serius saat ia mengangkat panggilan itu. “Ya, Nyonya,” jawabnya dengan nada hormat.Lea berdiri kaku di tempatn
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu.
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali