Lea berdecak pelan, merasa frustasi saat Kayden berhasil menangkapnya sebelum ia sempat melarikan diri. Langkahnya terhenti begitu saja, seakan ada pemberat tak kasat mata yang mencengkeram kedua kakinya dan memaksa tubuhnya untuk tetap diam di tempat.Lea berbalik dengan perlahan. Wajahnya tampak tegang, seperti seseorang yang baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Matanya bertemu dengan sosok Kayden di ujung lorong.Kayden berdiri di sana dengan tatapan tajam yang tak lepas dari Lea. Matanya mengatakan lebih banyak daripada kata-katanya, menyiratkan sesuatu yang sulit diterka. Setiap detik sorot matanya membuat Lea merasa semakin kecil di hadapannya.“Apa yang kamu coba lakukan, huh?” Suara Kayden akhirnya pecah memenuhi seisi lorong.Pertanyaan itu terdengar sederhana. Namun di telinga Lea, entah mengapa pertanyaan itu justru terasa berat seperti sebuah peringatan. Tanpa sadar membuat bulu kuduknya meremang.Langkah Kayden semakin mendekat hingga akhirnya berdir
Lea menatap Kayden dengan wajah merah karena kemarahan yang membuncah dari dalam. Kendati demikian, wanita itu memilih diam. Lea enggan mengungkapkan secara langsung apa yang dirasakannya sekarang. “Jika kamu sangat ingin aku makan siang, baiklah. Tapi kamu harus berjanji, kamu akan melepaskanku setelah aku selesai makan,” ucap Lea berusaha agar suaranya terdengar tenang. Kayden hanya menatap wanita itu tanpa memberi jawaban, matanya tetap mengawasi gerak-gerik Lea saat wanita itu mulai menyuap makanan ke mulutnya. Karena keinginannya untuk segera pergi dari tempat ini begitu besar, membuat Lea menghabiskan semua makanan di piringnya dengan begitu cepat. Begitu selesai, Lea segera berdiri dan siap melangkah keluar dari ruangan tersebut. Namun, rencananya kembali digagalkan oleh Kayden. Dengan gerakan yang cepat, Kayden menangkap lengan Lea yang hendak pergi. “Aku tidak bilang kamu bisa pergi setelah makan siang,” katanya dengan nada datar. “Lagi pula, Noah tidak akan mencarimu. Dia
Lea duduk santai di sebuah gazebo di halaman belakang. Angin sepoi-sepoi berembus lembut dan sesekali menerbangkan beberapa helai rambutnya yang tergerai. Wajahnya tampak masam, sementara matanya tak lepas memandangi sosok Kayden yang tengah berenang di kolam renang di depannya.Sudah sepuluh menit pria itu menyelam dan berenang bolak-balik. Lea tak habis pikir, ternyata alasan Kayden menyuruhnya duduk di sini hanya untuk menyaksikan semua itu. Apakah ini semacam hiburan yang menurutnya menarik? Atau ada maksud tersembunyi lain di balik sikapnya itu?“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Kakak Ipar?” Suara Lea memecah kesunyian. Kayden berhenti berenang dan bergerak ke tepi kolam renang. Tangannya yang kokoh menumpu di bibir kolam. Kayden sedikit mencondongkan dagunya ke depan, memberi isyarat agar Lea melanjutkan.Lea menelan saliva dengan sedikit payah, wanita itu tampak ragu. “Uhm, seperti yang sudah kamu ketahui, aku menguping pembicaraanmu dengan Jonas. Apa maksud kalian tentang v
Lea memandangi Kayden dengan tatapan serius. “Kalau begitu, kenapa kamu ada di sini, Kakak Ipar?” tanyanya dengan nada suara yang terdengar seperti sebuah tantangan.Kayden menahan tawa kecil, hanya sudut bibirnya yang terangkat sedikit. Matanya menyipit tajam, memancarkan campuran kepercayaan diri dan sesuatu yang lebih sulit ditebak. Kayden perlahan mendekat hingga cukup untuk membuat Lea sadar bahwa ruang di antara mereka hampir hilang.“Aku ada di sini karena aku ingin di sini. Itu sudah lebih dari cukup untukmu, bukan?” jawabnya dengan suara rendah. “Jadi, nikmati saja waktumu sebelum semuanya berubah.”Kening Lea mengernyit bingung saat memandangi punggung Kayden yang menghilang di balik pintu. Berubah? Apa maksud pria itu? Kayden membiarkan kata-katanya menggantung di udara, seperti teka-teki yang tak memiliki jawaban pasti.Lea menghela napas panjang, berusaha mengenyahkan kebingungan yang mengganggunya. Namun alih-alih mereda, pikirannya semakin dipenuhi oleh ucapan Kayden ya
Lea menghampiri Kayden yang baru saja kembali dengan raut cemas yang masih menghiasi wajahnya. “Jadi, siapa yang datang?” tanyanya tak sabar untuk mendengar jawaban.Kayden hanya membungkam mulutnya, lalu berjalan melewati Lea dengan langkah tenang. Di belakangnya, seorang chef wanita yang mengenakan pakaian serba putih dengan rambut terikat rapi mengikuti dengan langkah cepat. Bersamaan dengan itu, Jonas menyusul dengan wajah cerah, pria itu menyapa Lea dengan senyuman hangat.Lea menatap mereka semua dengan bingung dan sedikit terkejut. “Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya pelan.Chef wanita itu berhenti tak jauh dari Kayden, lalu menatap Lea sekilas dan tersenyum kecil. Suasana yang tiba-tiba terasa aneh ini sontak membuat Lea semakin curiga. Pandangannya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya dan ia merasakan kebingungan yang semakin menebal di benaknya.Lea melangkah mendatangi Kayden. “Apa yang terjadi? Mengapa mereka berdua ada di sini, Kakak Ipar?” bisiknya begitu berdiri
Sore harinya, Lea memutuskan untuk kembali ke villa Noah karena ia berpikir mungkin situasi di sana sudah kondusif. Namun saat kedua kakinya menginjak teras villa, pintu utama tiba-tiba terbuka dan sosok Sophia yang begitu cantik berdiri di baliknya. Untuk sesaat, Lea terpaku memandangi wanita itu—ada getaran aneh seketika menjalar di sekujur tubuhnya saat mereka saling bertatapan satu sama lain.“Sayang, tinggallah sebentar lagi. Aku sangat merindukan kamu.” Suara Noah menggema dari dalam.Tepat di belakang Sophia, Noah tiba-tiba muncul. Pria itu berdiri dengan santai, bahkan tampak mesra bergelayut manja pada wanita bernama Sophia itu. Pemandangan tersebut hanya bisa membuat Lea mematung dengan tubuh yang menegang.Lea menggenggam tangannya sambil menatap kedua orang itu dengan mata yang mulai terasa panas. “Kenapa … Sophia ada di sini?” tanyanya berusaha untuk terdengar tenang.Sophia memandangnya dengan tatapan yang meremehkan, lalu berkata dengan nada sinis. “Kenapa memangnya?”Le
Setelah menyerahkan pancake buatannya pada Sophia dan Noah kemarin, Lea tak lagi melihat batang hidung kedua orang itu hari ini. Noah tidak ada di setiap sudut ruangan, begitu pun dengan kekasih gelapnya. Villa yang besar itu terasa kosong, hanya menyisakan Lea dan kesunyian yang memeluknya erat.Lea akhirnya memutuskan untuk duduk di balkon kamar. Angin laut yang lembut menyapu wajahnya, tetapi tak mampu mengusir perasaan sesak di dadanya. “Ini bulan maduku dengan Noah. Tapi, sepertinya yang justru menikmati momen ini adalah Sophia,” gumamnya pelan.Entah mengapa, sebuah keyakinan bahwa saat ini suaminya tengah menghabiskan waktu bersama Sophia menyelinap begitu saja ke benak Lea. Dia merasakannya begitu saja, seperti perasaan tak enak yang mengusik hatinya."Sekarang aku mengerti maksud kata-kata Noah saat hari pertama tiba di sini. Jika begini, untuk apa dia mengajakku bulan madu?" gumam Lea dengan suara getir.Yang tidak Lea tahu, alasan Noah mengajaknya berbulan madu sebenarnya
Lea mengerjap beberapa kali ketika Kayden tiba-tiba menariknya masuk ke villa. Pria itu tampak begitu tenang, seolah tak terganggu oleh pemikiran yang baru saja Lea utarakan.“Kenapa kamu malah membawaku masuk? Sudah kubilang aku tidak ingin—” Ucapan Lea terhenti ketika pandangannya kembali tertuju pada wanita yang sempat ia lihat sebelumnya. Suaranya mengecil, berubah menjadi sebuah bisikan. “...membuat teman wanitamu salah paham,” katanya melanjutkan.Kayden mengikuti arah tatapan Lea. Seulas senyum miring muncul di wajahnya sebelum ia kembali menatap wanita itu. “Maksudmu wanita yang berdiri di sana?” tanyanya santai.Lea mengangguk ragu sambil menatap Kayden dengan cemas. “Aku—”“Dia adalah tamu Jonas,” potong Kayden cepat.Kedua mata Lea sontak melebar. “Apa? Jadi ... wanita itu ....” Ucapannya terhenti dan ia segera menutup mata ketika menyadari kesalahpahamannya.Seluruh wajah Lea tampak memerah seketika. Demi Tuhan! Ia merasa malu luar biasa karena sudah salah paham dan memper
Salju tipis masih turun saat Lea melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara kecil itu. Ia merapatkan mantel dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan gumpalan emosi yang menyesakkan dadanya. Kota ini terasa asing, jauh dari hiruk-pikuk yang biasa ia hadapi.Seorang pramugari yang baru saja turun dari pesawat yang sama memberinya senyum singkat. “Hati-hati di luar, Nona. Cuacanya sedang tidak bersahabat.”Lea hanya mengangguk kecil. “Terima kasih.”Ia melangkah ke area pengambilan bagasi, menunggu koper kecilnya muncul di conveyor belt. Sambil menunggu, ia mengeluarkan ponsel dari saku mantel dan segera menghubungi Astrid.“Aku sudah sampai,” ucapnya begitu panggilan tersambung.“Bagus,” suara Astrid terdengar lega. “Mobilnya ada di tempat parkir khusus dekat pintu keluar. Kuncinya bisa kamu ambil dari penjaga parkir.”Lea menatap sekitar, memperhatikan suasana bandara yang jauh lebih sepi dibandingkan dengan bandara besar di kota sebelumnya. Tak banyak orang yang berlal
Setelah melalui keseruan permainan truth or dare, Kayden tiba-tiba mengajak Lea untuk pulang. Sejak tadi, ia bukannya tidak menyadari gelagat Jonas yang tampak gelisah. Untuk itu, ia mengajak wanitanya pulang lebih awal dan memberikan waktu bagi Jonas untuk berduaan dengan Annika. “Hati-hati di jalan, Lea,” ucap Annika setelah bercipika-cipiki. “Terima kasih, Sir,” lanjutnya, menatap Kayden dengan sopan. Lea mengangguk seraya tersenyum manis. “Terima kasih, Anni,” sahutnya, sementara Kayden hanya bergumam sebagai jawaban. Kayden melingkarkan tangannya di pinggang Lea ketika mereka berjalan menuju lift. Begitu memasuki ruang sempit itu, Lea berkata, “Padahal sedang seru-serunya, tapi kamu malah mengajakku pulang dan bilang ada sesuatu yang mendesak. Memangnya hal apa?” Kayden tersenyum tipis. “Tidakkah kamu melihat gelagat Jonas yang terlihat gelisah, Little Rose?” Lea mengangguk, ia pun menyadari hal itu. “Lalu, apa hubungannya dengan urusan mendesak yang kamu bilang?” tanyanya b
Lea menegang. Pandangannya melesat ke arah Annika dan Jonas yang kini menatapnya dengan ekspresi berbeda—terkejut, penasaran, dan sedikit tidak percaya.Lea menggigit bibir bawahnya. Menolak berarti mempermalukan diri sendiri di depan semua orang. Namun, menerimanya? Itu sama saja dengan memberi Kayden kemenangan mutlak.Annika menahan napas. Di sampingnya, Jonas menggenggam gelas anggurnya lebih erat.Lea perlahan mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Dengan suara hampir bergetar, ia berkata, “Kamu yakin ingin aku melakukannya di depan mereka?”Senyum Kayden melebar. “Bukankah itu bagian dari permainannya?”Lea menelan ludah. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga membuatnya mual. Tapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya.Maka, dengan semua keberanian yang tersisa, ia mendekat dengan perlahan. Tangannya bertumpu pada meja untuk menstabilkan dirinya.Lea menghirup napas dalam, lalu dengan gerakan cepat, ia mengecup pipi Kayden. Hanya seki
Dua hari kemudian.Lea bersiap untuk pergi ke kediaman Annika guna memenuhi undangan wanita itu. Dengan pakaian rapi yang dilapisi mantel serta riasan sederhana, ia tampak cantik alami. Sebagai sentuhan akhir, Lea menyemprotkan parfum di beberapa titik tubuhnya.“Sempurna,” gumamnya seraya tersenyum puas. Sekali lagi, ia memandangi pantulan dirinya di depan cermin sebelum akhirnya beranjak pergi.Saat Lea melangkah keluar dan membuka pintu, Kayden sudah berdiri di sana dengan senyum hangat menyambutnya. Tanpa ragu, Lea langsung menghamburkan diri ke dalam pelukan Kayden, meresapi kehangatan pria itu sejenak sebelum mendorong tubuhnya perlahan. Tatapannya mengunci pada mata Kayden sementara tangannya masih melingkar erat di leher pria itu.“Kamu sangat tampan malam ini, Tuan Muda Easton,” gumamnya penuh kagum.Kayden tetap mempertahankan senyum tipis di bibirnya sebelum mengecup lembut bibir Lea. Ciumannya lalu turun perlahan ke leher, membuat Lea tersentak halus.“Kamu sangat wangi, Li
Lea berjalan cepat menuju kamar mandi, berusaha mengabaikan jantungnya yang masih berdetak kencang setelah semua godaan Kayden di meja makan. Ia hanya ingin menenangkan diri, membiarkan air hangat membasuh kepalanya yang penuh dengan suara pria itu.Namun, begitu ia menutup pintu dan berbalik, tubuhnya langsung membeku.Kayden berdiri di ambang pintu dengan satu tangan bertumpu santai di kusen.“K-Kayden?!” Lea hendak meraih gagang pintu, berniat mendorong pria itu keluar. “Keluar! Aku mau mandi!”Alih-alih menurut, Kayden justru melangkah masuk dengan santai lalu menutup pintu di belakangnya dengan bunyi klik halus yang membuat tubuh Lea mengeras seketika.“K-Kenapa kamu ikut masuk?!” Ia mundur selangkah, matanya membulat waspada.Kayden tidak menjawab, hanya melucuti kancing piyamanya dan melepaskannya dengan gerakan sengaja.Lea semakin panik. “Jangan bercanda! Aku benar-benar mau mandi, Kayden!”“Ya, aku tahu,” sahut pria itu ringan. “Aku hanya menemanimu.”Lea menatapnya tak perc
Lea ragu untuk memanggil pria itu seperti yang diinginkannya. Namun, Kayden jelas bersungguh-sungguh tidak akan melepaskannya sampai kata itu keluar dari bibirnya. Meyakinkan diri, Lea akhirnya melakukannya.“Sayang, lepaskan aku,” ucapnya dengan suara rendah.Kayden tersenyum penuh kemenangan sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dari pinggang Lea. Dengan santai, ia menarik kursi di sebelah wanita itu dan duduk.Lea buru-buru memosisikan diri di kursinya, namun pipinya terasa panas. Jantungnya masih berdegup cepat, dan detik berikutnya, ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.‘Rasanya ingin menghilang saja!’ teriaknya dalam hati.“Hey, ada apa? Apa kamu malu?” bisik Kayden dengan nada menggoda. Ia meraih pergelangan tangan Lea, menariknya perlahan agar wanita itu menurunkan tangannya.Lea menggigit bibirnya, perasaan gelisah dan malu berkecamuk dalam dirinya.‘Sumpah demi semesta! Aku tidak sanggup menatapnya setelah ini!’ batin Lea berteriak.Kayden terkekeh pelan melihat
Lea bahkan belum sempat bernapas lega ketika Kayden tiba-tiba menutup jarak di antara mereka.Lea membeku saat Kayden mendekat, napas pria itu menghangatkan kulitnya sebelum akhirnya bibirnya menyentuh miliknya. Lembut, namun penuh tuntutan. Seolah ingin menegaskan kepemilikannya dengan cara yang tak terbantahkan.Jari-jari Lea mencengkeram lengan Kayden, berniat mendorongnya, tetapi kekuatan dalam dirinya menguap begitu saja. Alih-alih melawan, tubuhnya justru melemas dalam dekapan pria itu.Kayden menarik wajahnya sedikit, lalu menatap Lea dengan hangat. “Masih meragukanku?” bisiknya.Lea menelan ludah, hatinya berdebar tak karuan. “Kayden, aku—”“Jangan katakan hal yang akan kamu sesali.” Kayden menempelkan dahinya ke dahi Lea, napasnya berhembus hangat di antara mereka. “Aku mencintaimu, Lea Rose. Sejak awal.”Mata Lea membesar. “Apa?” tanyanya terkejut.Kayden tersenyum samar, tetapi ada ketegasan dalam sorot matanya. “Sejak pertama kali melihatmu, aku tahu aku menginginkanmu. Ak
Malam harinya, saat Lea baru saja merebahkan tubuhnya di atas ranjang, suara dering pada ponselnya menarik perhatiannya. Dengan malas, ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya langsung berdebar saat melihat nama Annika terpampang di layar. Wanita itu pasti ingin meminta penjelasan soal kejadian di Home & Haven tadi siang. Dengan penuh pertimbangan, Lea akhirnya menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu.“Lea, ayo jelaskan apa yang terjadi antara kamu dengan CEO kita?” tanya Annika antusias, suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu.Lea menggigit bibirnya, sedikit ragu, tetapi pada akhirnya ia terpaksa mengakui hubungan spesialnya dengan Kayden. Di seberang telepon, Annika langsung berteriak histeris sebelum tertawa.“Ini gila! Aku sama sekali tidak menduga kalau kamu akan berpacaran dengan CEO kita! Kayden Easton itu … wow, Lea! Dia tampan, kharismatik, dan … ah, aku iri padamu!”Lea mengembuskan napas panjang. “Tapi, aku ingin kamu merahasiakan soal ini, An
“Tapi, aku kemari untuk menemani Annika memilih perabotan,” tolak Lea, berusaha menahan diri.Untuk apa lagi menghindar? Keadaannya sudah terlanjur seperti ini. Ia bisa menjelaskan semuanya nanti pada Annika.Kayden tidak bereaksi langsung, tetapi tatapannya semakin dalam menusuk. Tekanan yang ia berikan begitu kuat hingga Annika yang berdiri di samping Lea merasakan tubuhnya ikut menegang.Dengan senyum kecil yang terpaksa, Annika meraih tangan Lea dan berkata, “Aku baik-baik saja, Lea. Aku bisa memilih sendiri perabotannya.”Lalu dengan gerakan perlahan, ia mendekat dan berhenti tepat di belakang Lea.“Pergilah. Aku tidak ingin dimarahi kalau kamu menolak. Kamu bisa lihat sendiri bagaimana ekspresi CEO kita.” Suaranya merendah saat berbisik di telinga Lea. “Untuk masalah tadi, kamu bisa menjelaskannya padaku nanti.”Lea menghela napas. Lalu, ia akhirnya mengangguk pelan.Kayden menyeringai kecil, jelas puas dengan keputusan Lea. “Bagus,” gumamnya sebelum melangkah lebih dulu.Lea ha