Lea memandangi Kayden dengan tatapan serius. “Kalau begitu, kenapa kamu ada di sini, Kakak Ipar?” tanyanya dengan nada suara yang terdengar seperti sebuah tantangan.Kayden menahan tawa kecil, hanya sudut bibirnya yang terangkat sedikit. Matanya menyipit tajam, memancarkan campuran kepercayaan diri dan sesuatu yang lebih sulit ditebak. Kayden perlahan mendekat hingga cukup untuk membuat Lea sadar bahwa ruang di antara mereka hampir hilang.“Aku ada di sini karena aku ingin di sini. Itu sudah lebih dari cukup untukmu, bukan?” jawabnya dengan suara rendah. “Jadi, nikmati saja waktumu sebelum semuanya berubah.”Kening Lea mengernyit bingung saat memandangi punggung Kayden yang menghilang di balik pintu. Berubah? Apa maksud pria itu? Kayden membiarkan kata-katanya menggantung di udara, seperti teka-teki yang tak memiliki jawaban pasti.Lea menghela napas panjang, berusaha mengenyahkan kebingungan yang mengganggunya. Namun alih-alih mereda, pikirannya semakin dipenuhi oleh ucapan Kayden ya
Lea menghampiri Kayden yang baru saja kembali dengan raut cemas yang masih menghiasi wajahnya. “Jadi, siapa yang datang?” tanyanya tak sabar untuk mendengar jawaban.Kayden hanya membungkam mulutnya, lalu berjalan melewati Lea dengan langkah tenang. Di belakangnya, seorang chef wanita yang mengenakan pakaian serba putih dengan rambut terikat rapi mengikuti dengan langkah cepat. Bersamaan dengan itu, Jonas menyusul dengan wajah cerah, pria itu menyapa Lea dengan senyuman hangat.Lea menatap mereka semua dengan bingung dan sedikit terkejut. “Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya pelan.Chef wanita itu berhenti tak jauh dari Kayden, lalu menatap Lea sekilas dan tersenyum kecil. Suasana yang tiba-tiba terasa aneh ini sontak membuat Lea semakin curiga. Pandangannya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya dan ia merasakan kebingungan yang semakin menebal di benaknya.Lea melangkah mendatangi Kayden. “Apa yang terjadi? Mengapa mereka berdua ada di sini, Kakak Ipar?” bisiknya begitu berdiri
Sore harinya, Lea memutuskan untuk kembali ke villa Noah karena ia berpikir mungkin situasi di sana sudah kondusif. Namun saat kedua kakinya menginjak teras villa, pintu utama tiba-tiba terbuka dan sosok Sophia yang begitu cantik berdiri di baliknya. Untuk sesaat, Lea terpaku memandangi wanita itu—ada getaran aneh seketika menjalar di sekujur tubuhnya saat mereka saling bertatapan satu sama lain.“Sayang, tinggallah sebentar lagi. Aku sangat merindukan kamu.” Suara Noah menggema dari dalam.Tepat di belakang Sophia, Noah tiba-tiba muncul. Pria itu berdiri dengan santai, bahkan tampak mesra bergelayut manja pada wanita bernama Sophia itu. Pemandangan tersebut hanya bisa membuat Lea mematung dengan tubuh yang menegang.Lea menggenggam tangannya sambil menatap kedua orang itu dengan mata yang mulai terasa panas. “Kenapa … Sophia ada di sini?” tanyanya berusaha untuk terdengar tenang.Sophia memandangnya dengan tatapan yang meremehkan, lalu berkata dengan nada sinis. “Kenapa memangnya?”Le
Setelah menyerahkan pancake buatannya pada Sophia dan Noah kemarin, Lea tak lagi melihat batang hidung kedua orang itu hari ini. Noah tidak ada di setiap sudut ruangan, begitu pun dengan kekasih gelapnya. Villa yang besar itu terasa kosong, hanya menyisakan Lea dan kesunyian yang memeluknya erat.Lea akhirnya memutuskan untuk duduk di balkon kamar. Angin laut yang lembut menyapu wajahnya, tetapi tak mampu mengusir perasaan sesak di dadanya. “Ini bulan maduku dengan Noah. Tapi, sepertinya yang justru menikmati momen ini adalah Sophia,” gumamnya pelan.Entah mengapa, sebuah keyakinan bahwa saat ini suaminya tengah menghabiskan waktu bersama Sophia menyelinap begitu saja ke benak Lea. Dia merasakannya begitu saja, seperti perasaan tak enak yang mengusik hatinya."Sekarang aku mengerti maksud kata-kata Noah saat hari pertama tiba di sini. Jika begini, untuk apa dia mengajakku bulan madu?" gumam Lea dengan suara getir.Yang tidak Lea tahu, alasan Noah mengajaknya berbulan madu sebenarnya
Lea mengerjap beberapa kali ketika Kayden tiba-tiba menariknya masuk ke villa. Pria itu tampak begitu tenang, seolah tak terganggu oleh pemikiran yang baru saja Lea utarakan.“Kenapa kamu malah membawaku masuk? Sudah kubilang aku tidak ingin—” Ucapan Lea terhenti ketika pandangannya kembali tertuju pada wanita yang sempat ia lihat sebelumnya. Suaranya mengecil, berubah menjadi sebuah bisikan. “...membuat teman wanitamu salah paham,” katanya melanjutkan.Kayden mengikuti arah tatapan Lea. Seulas senyum miring muncul di wajahnya sebelum ia kembali menatap wanita itu. “Maksudmu wanita yang berdiri di sana?” tanyanya santai.Lea mengangguk ragu sambil menatap Kayden dengan cemas. “Aku—”“Dia adalah tamu Jonas,” potong Kayden cepat.Kedua mata Lea sontak melebar. “Apa? Jadi ... wanita itu ....” Ucapannya terhenti dan ia segera menutup mata ketika menyadari kesalahpahamannya.Seluruh wajah Lea tampak memerah seketika. Demi Tuhan! Ia merasa malu luar biasa karena sudah salah paham dan memper
Meski sebelumnya sempat membuat Lea merasa dipermainkan dengan perkataannya, Kayden tetap mengabulkan permintaan Lea dan mengajak wanita itu bersenang-senang. Seolah sudah direncanakan sebelumnya, semuanya dipersiapkan dengan matang. Hari ini mereka akan melakukan tur di salah satu hutan tropis di Mahe.Di depan mereka, Jonas berdiri dengan tegap sambil menjelaskan beberapa hal—termasuk rute yang akan mereka lalui. Pria itu tampak berpengalaman, seolah ia begitu mengenal seluk-beluk hutan tersebut.“Apa kita tidak memerlukan pemandu?” tanya Lea sedikit ragu. Meskipun Jonas tampak berpengalaman, entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya merasa kurang yakin.Kayden hanya tersenyum miring, seolah pertanyaan itu tidak layak untuk dijawab. Tanpa berkata banyak, ia langsung memberi perintah kepada semua orang untuk masuk ke mobil.Lea menyemburkan napas pelan, matanya menatap punggung Kayden yang melangkah ke mobil. ‘Dasar pria menyebalkan!’ umpatnya dalam hati.Pada akhirnya, Lea ikut masu
“Setidaknya kamu bisa berjalan lagi. Ayo! Kita tidak punya waktu untuk berhenti lama,” ucap Kayden sambil menarik Lea berdiri. Suara tawanya terdengar ringan, tapi mengandung nada mengejek yang membuat darah Lea terasa mendidih.Lea mendengus keras sambil menahan rasa sakit di lututnya. Dengan sedikit pincang, ia mengikuti Kayden yang melangkah tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.‘Pria ini benar-benar tidak punya empati!’ Lea mengumpat dalam hati.Langkah mereka diiringi suara burung tropis dan gemerisik dedaunan. Namun tak lama kemudian, Kayden tiba-tiba berhenti di depan, membuat Lea hampir menabrak punggungnya.“Berhenti,” ucapnya singkat.Lea memandang pria itu dengan bingung. “Ada apa sekarang?” tanyanya.Kayden tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih pergelangan tangan Lea dengan gerakan yang membuat wanita itu terkejut, lalu menariknya ke sisi jalur di mana pohon besar membentuk celah alami. Dari sana, pemandangan pantai berkilauan terlihat jelas.Mata Lea sontak melebar
Semua orang mengikuti arah jari Lea. Di antara air yang mengalir deras dari tebing, terlihat sebuah benda gelap yang tersangkut di sela-sela bebatuan. Kayden segera bergerak maju tanpa merasa ragu, sementara yang lain tetap di tempat dengan perasaan cemas.Saat Kayden mencapai air terjun, ia memperhatikan benda itu lebih dekat. Perlahan, ia meraih batu besar untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik benda itu keluar dari aliran air.“Sebuah tas …?” gumamnya pelan.Kayden memeriksa tas itu dengan ekspresi datar. Namun saat ia membuka ritsletingnya, sesuatu di dalam tas itu membuat alisnya sedikit berkerut. Ia menoleh ke arah Lea dan Jonas yang masih berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.“Apa itu, Sir?” tanya Jonas hati-hati.Kayden menarik keluar isi tas. Sebuah buku catatan yang sudah usang, beberapa foto yang warnanya memudar, dan sebuah pisau kecil yang terlihat tajam meski sudah berkarat. Kayden memegang buku catatan itu sejenak, lalu menatap
Seluruh wajah Lea basah akan keringat saat mobil berhenti di sebuah tempat sepi yang bahkan tidak dikenalnya. Gelap, sunyi, dan jauh dari keramaian. Ia bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup kencang saat sopir itu menoleh ke arahnya dengan seringai licik.“Turun,” perintahnya dengan nada dingin sembari mengacungkan pisaunya di dekat leher Lea.Lea mengangguk pelan, berpura-pura menurut. Sementara di bawah sana, tangannya merogoh tas dengan gemetar dan berhasil menemukan botol parfum kaca yang tersembunyi di dalamnya. Saat pria itu bergerak lebih dekat, Lea segera mengayunkan botol itu sekuat tenaga hingga mengenai wajahnya dengan keras!“ARGH!” Sopir itu menjerit.Tanpa membuang waktu, Lea mendorong pintu mobil dengan keras dan langsung berlari keluar.Kakinya hampir terpeleset di atas salju, tapi ia tidak peduli. Ia hanya bisa fokus untuk berlari, menjauh sejauh mungkin dari pria itu.Dalam ketakutan dan kepanikan, Lea melihat sebuah mobil melaju ke arahnya. Tanpa berpikir pan
Entah mengapa, Lea tiba-tiba panik, seperti ia baru saja tertangkap basah melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Niatnya untuk berbalik arah langsung buyar saat sebuah suara mengudara di belakangnya. Lea terdiam di tempat.“Nyonya Lea Rose.”Suara itu berasal dari sopir pribadi Kaelyn. Lea menelan ludah dengan susah payah sebelum akhirnya berbalik perlahan. Senyum masam terbit di bibir ranumnya saat ia berusaha menyembunyikan kegelisahan yang merayapi dadanya.“Uhm ... Halo, Tuan Simmons. Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” ujarnya dengan suara getir.Tuan Simmons melangkah mendekat, dahinya sedikit berkerut saat memperhatikan Lea yang tampak gelisah. Namun sebelum sempat mengutarakan pikirannya, dering ponsel dari dalam sakunya mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat, ia merogoh saku celananya dan melihat nama yang tertera di layar.Kaelyn.Ekspresi Tuan Simmons berubah serius saat ia mengangkat panggilan itu. “Ya, Nyonya,” jawabnya dengan nada hormat.Lea berdiri kaku di tempatn
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu.
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali