Lea menghampiri Kayden yang baru saja kembali dengan raut cemas yang masih menghiasi wajahnya. “Jadi, siapa yang datang?” tanyanya tak sabar untuk mendengar jawaban.Kayden hanya membungkam mulutnya, lalu berjalan melewati Lea dengan langkah tenang. Di belakangnya, seorang chef wanita yang mengenakan pakaian serba putih dengan rambut terikat rapi mengikuti dengan langkah cepat. Bersamaan dengan itu, Jonas menyusul dengan wajah cerah, pria itu menyapa Lea dengan senyuman hangat.Lea menatap mereka semua dengan bingung dan sedikit terkejut. “Apa yang baru saja terjadi?” gumamnya pelan.Chef wanita itu berhenti tak jauh dari Kayden, lalu menatap Lea sekilas dan tersenyum kecil. Suasana yang tiba-tiba terasa aneh ini sontak membuat Lea semakin curiga. Pandangannya beralih dari satu wajah ke wajah lainnya dan ia merasakan kebingungan yang semakin menebal di benaknya.Lea melangkah mendatangi Kayden. “Apa yang terjadi? Mengapa mereka berdua ada di sini, Kakak Ipar?” bisiknya begitu berdiri
Sore harinya, Lea memutuskan untuk kembali ke villa Noah karena ia berpikir mungkin situasi di sana sudah kondusif. Namun saat kedua kakinya menginjak teras villa, pintu utama tiba-tiba terbuka dan sosok Sophia yang begitu cantik berdiri di baliknya. Untuk sesaat, Lea terpaku memandangi wanita itu—ada getaran aneh seketika menjalar di sekujur tubuhnya saat mereka saling bertatapan satu sama lain.“Sayang, tinggallah sebentar lagi. Aku sangat merindukan kamu.” Suara Noah menggema dari dalam.Tepat di belakang Sophia, Noah tiba-tiba muncul. Pria itu berdiri dengan santai, bahkan tampak mesra bergelayut manja pada wanita bernama Sophia itu. Pemandangan tersebut hanya bisa membuat Lea mematung dengan tubuh yang menegang.Lea menggenggam tangannya sambil menatap kedua orang itu dengan mata yang mulai terasa panas. “Kenapa … Sophia ada di sini?” tanyanya berusaha untuk terdengar tenang.Sophia memandangnya dengan tatapan yang meremehkan, lalu berkata dengan nada sinis. “Kenapa memangnya?”Le
Setelah menyerahkan pancake buatannya pada Sophia dan Noah kemarin, Lea tak lagi melihat batang hidung kedua orang itu hari ini. Noah tidak ada di setiap sudut ruangan, begitu pun dengan kekasih gelapnya. Villa yang besar itu terasa kosong, hanya menyisakan Lea dan kesunyian yang memeluknya erat.Lea akhirnya memutuskan untuk duduk di balkon kamar. Angin laut yang lembut menyapu wajahnya, tetapi tak mampu mengusir perasaan sesak di dadanya. “Ini bulan maduku dengan Noah. Tapi, sepertinya yang justru menikmati momen ini adalah Sophia,” gumamnya pelan.Entah mengapa, sebuah keyakinan bahwa saat ini suaminya tengah menghabiskan waktu bersama Sophia menyelinap begitu saja ke benak Lea. Dia merasakannya begitu saja, seperti perasaan tak enak yang mengusik hatinya."Sekarang aku mengerti maksud kata-kata Noah saat hari pertama tiba di sini. Jika begini, untuk apa dia mengajakku bulan madu?" gumam Lea dengan suara getir.Yang tidak Lea tahu, alasan Noah mengajaknya berbulan madu sebenarnya
Lea mengerjap beberapa kali ketika Kayden tiba-tiba menariknya masuk ke villa. Pria itu tampak begitu tenang, seolah tak terganggu oleh pemikiran yang baru saja Lea utarakan.“Kenapa kamu malah membawaku masuk? Sudah kubilang aku tidak ingin—” Ucapan Lea terhenti ketika pandangannya kembali tertuju pada wanita yang sempat ia lihat sebelumnya. Suaranya mengecil, berubah menjadi sebuah bisikan. “...membuat teman wanitamu salah paham,” katanya melanjutkan.Kayden mengikuti arah tatapan Lea. Seulas senyum miring muncul di wajahnya sebelum ia kembali menatap wanita itu. “Maksudmu wanita yang berdiri di sana?” tanyanya santai.Lea mengangguk ragu sambil menatap Kayden dengan cemas. “Aku—”“Dia adalah tamu Jonas,” potong Kayden cepat.Kedua mata Lea sontak melebar. “Apa? Jadi ... wanita itu ....” Ucapannya terhenti dan ia segera menutup mata ketika menyadari kesalahpahamannya.Seluruh wajah Lea tampak memerah seketika. Demi Tuhan! Ia merasa malu luar biasa karena sudah salah paham dan memper
Meski sebelumnya sempat membuat Lea merasa dipermainkan dengan perkataannya, Kayden tetap mengabulkan permintaan Lea dan mengajak wanita itu bersenang-senang. Seolah sudah direncanakan sebelumnya, semuanya dipersiapkan dengan matang. Hari ini mereka akan melakukan tur di salah satu hutan tropis di Mahe.Di depan mereka, Jonas berdiri dengan tegap sambil menjelaskan beberapa hal—termasuk rute yang akan mereka lalui. Pria itu tampak berpengalaman, seolah ia begitu mengenal seluk-beluk hutan tersebut.“Apa kita tidak memerlukan pemandu?” tanya Lea sedikit ragu. Meskipun Jonas tampak berpengalaman, entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya merasa kurang yakin.Kayden hanya tersenyum miring, seolah pertanyaan itu tidak layak untuk dijawab. Tanpa berkata banyak, ia langsung memberi perintah kepada semua orang untuk masuk ke mobil.Lea menyemburkan napas pelan, matanya menatap punggung Kayden yang melangkah ke mobil. ‘Dasar pria menyebalkan!’ umpatnya dalam hati.Pada akhirnya, Lea ikut masu
“Setidaknya kamu bisa berjalan lagi. Ayo! Kita tidak punya waktu untuk berhenti lama,” ucap Kayden sambil menarik Lea berdiri. Suara tawanya terdengar ringan, tapi mengandung nada mengejek yang membuat darah Lea terasa mendidih.Lea mendengus keras sambil menahan rasa sakit di lututnya. Dengan sedikit pincang, ia mengikuti Kayden yang melangkah tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.‘Pria ini benar-benar tidak punya empati!’ Lea mengumpat dalam hati.Langkah mereka diiringi suara burung tropis dan gemerisik dedaunan. Namun tak lama kemudian, Kayden tiba-tiba berhenti di depan, membuat Lea hampir menabrak punggungnya.“Berhenti,” ucapnya singkat.Lea memandang pria itu dengan bingung. “Ada apa sekarang?” tanyanya.Kayden tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia meraih pergelangan tangan Lea dengan gerakan yang membuat wanita itu terkejut, lalu menariknya ke sisi jalur di mana pohon besar membentuk celah alami. Dari sana, pemandangan pantai berkilauan terlihat jelas.Mata Lea sontak melebar
Semua orang mengikuti arah jari Lea. Di antara air yang mengalir deras dari tebing, terlihat sebuah benda gelap yang tersangkut di sela-sela bebatuan. Kayden segera bergerak maju tanpa merasa ragu, sementara yang lain tetap di tempat dengan perasaan cemas.Saat Kayden mencapai air terjun, ia memperhatikan benda itu lebih dekat. Perlahan, ia meraih batu besar untuk mendapatkan posisi yang lebih baik. Dengan satu gerakan cepat, ia menarik benda itu keluar dari aliran air.“Sebuah tas …?” gumamnya pelan.Kayden memeriksa tas itu dengan ekspresi datar. Namun saat ia membuka ritsletingnya, sesuatu di dalam tas itu membuat alisnya sedikit berkerut. Ia menoleh ke arah Lea dan Jonas yang masih berdiri dengan wajah penuh tanda tanya.“Apa itu, Sir?” tanya Jonas hati-hati.Kayden menarik keluar isi tas. Sebuah buku catatan yang sudah usang, beberapa foto yang warnanya memudar, dan sebuah pisau kecil yang terlihat tajam meski sudah berkarat. Kayden memegang buku catatan itu sejenak, lalu menatap
Kayden menyunggingkan senyum kecil, lalu mendorong tubuh Lea yang masih memeluknya dengan gerakan lembut. “Aku tidak menggodamu, Lea Rose,” ucapnya. “Tapi kalau aku benar-benar melakukannya, kamu pasti akan tahu bedanya.”Lea sontak mendongak, matanya membelalak dan wajahnya memerah seketika. Entah rasa marah, malu, atau gabungan keduanya, hal itu membanjiri pikirannya.“Kamu …,” gumamnya tertahan, kemudian memutuskan untuk menjauh sedikit.Kayden mengamati perubahan ekspresi Lea dengan intens. “Kamu terlalu mudah takut, Lea Rose. Kalau terus begini, bagaimana kamu akan bertahan di dunia yang jauh lebih keras daripada perjalanan kecil seperti ini?” katanya. Nada suaranya kini terdengar serius, hampir seperti teguran.Lea menggigit bibir bawahnya dengan ragu. “Aku bisa bertahan. Dan aku tidak butuh ceramah darimu tentang cara melakukannya,” balasnya berusaha terlihat tegas.“Benarkah?” Kayden memiringkan kepala, disusul dengan seulas senyum miring tersungging di bibirnya. “Karena sejau
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng