Kayden akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Lea ketika wanita itu dengan gugup mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Senyum tipisnya tidak memudar, seolah menikmati kecanggungan yang dirasakan Lea saat ini.Lea menundukkan kepala, rasa malu bercampur dengan rasa lapar kini mulai menguasai pikirannya. Suara perutnya yang berbunyi kembali memecah kesunyian di antara mereka, membuat wajahnya semakin memerah.“Kalau begitu,” Lea meneguk saliva dengan sedikit payah sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “bolehkah aku mencicipi ini semua? Aku … belum makan sejak siang.”Kayden menyipitkan matanya, memperhatikan Lea yang tampak pucat dan lemah. Ia mengulurkan tangan ke meja, mengambil sebuah piring dengan sepotong daging panggang di atasnya, lalu mengangkatnya ke arah Lea.“Silakan,” katanya dengan nada yang samar-samar terdengar seperti tantangan. “Tapi ingat, setiap gigitan ada harganya.”Lea menatap piring itu dengan mata bergetar. Aroma daging panggang yang
Kayden meraih botol air mineral yang ada di dekatnya. “Apa kamu sengaja mencari masalah, huh? Jalan-jalan saat tengah malam tanpa persiapan apa pun, lalu sekarang begini!” ucapnya terdengar frustasi.Lea hanya bisa menunduk, matanya setengah terpejam karena tubuhnya terasa semakin lemah. Napasnya mulai berat dan rasa panas di dalam tubuhnya semakin kontras dengan dinginnya udara malam.Namun jauh di dalam pikirannya, Lea tahu bahwa ini bukan hanya akibat dari hujan deras atau angin malam. Sebelum ini, suaminya telah menceburkannya ke dalam kolam renang tanpa peduli dengan kondisinya yang kelelahan karena kurang istirahat. Dengan semua itu, tentu saja Lea akhirnya tumbang seperti sekarang.Kayden mendesah keras sambil berlutut di hadapan Lea dengan tatapan tajam yang bercampur rasa frustrasi. “Dengar,” katanya dengan nada lebih pelan namun tetap tegas, “kamu harus tetap terjaga. Jangan sampai pingsan di sini.” Ia membuka botol air, menuangkan sedikit ke telapak tangannya, lalu menyeka
Lea terbangun dan pandangannya kabur saat melihat langit-langit kamar yang luas. Kepalanya terasa pusing sementara tubuhnya begitu lemah. Saat kesadarannya benar-benar terkumpul, Lea segera menyadari bahwa dirinya berada di sebuah kamar tidur.Lea tersentak dan bangkit dengan buru-buru, tetapi rasa pusing itu membuatnya hampir terjatuh. Ia menatap tangan kirinya dan menemukan sebuah infus yang masih setengah terisi terpasang di sana. Lalu kedua matanya berkeliling menyapu ruangan tersebut—Ini jelas bukan kamarnya.“Bukankah tadi malam aku berada di tenda bersama Kayden? Lalu, di mana aku sekarang?” gumamnya kebingungan.Pintu kamar mandi di sampingnya tiba-tiba terbuka saat seseorang mendorongnya. “Di mana lagi memangnya? Tentu saja ini kamarku.”Kedua mata Lea melebar saat mendapati sosok Kayden yang melangkah keluar dengan rambut yang masih basah. Butiran air menetes dari ujung rambutnya dan membasahi bahunya yang tak tertutup oleh apa-apa.Lea terkejut dan tubuhnya refleks menegak
Di sebuah kamar ganti di ballroom hotel berbintang, Lea Rose berdiri mematung tepat di depan cermin sambil memandangi pantulan dirinya sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya—lebih tepatnya pernikahan yang tidak dia inginkan. Demi menyelamatkan keluarganya dari ambang kebangkrutan, ayahnya tega menjadikan dirinya sebagai sandera untuk keluarga Easton.“Berhentilah berdrama, Lea! Jika kamu ingin menyelamatkan keluarga Thompson dari neraka kehancuran, maka terima saja pernikahan ini dengan lapang dada!”Suara ibu tirinya yang sedari tadi mengawasinya di belakang, seolah peluru yang menembus jantung Lea. Membuat air matanya tak sengaja menetes dari ujung mata dan mengalir di pipi. Bagaimana bisa ia merasa lapang dada?“Tapi, Bu—”“Kita sudah menyepakati hal ini, Lea. Dan kamu sudah setuju untuk menggantikan kakakmu menikah dengan putra kedua keluarga Easton! Sekarang hapus air matamu yang tidak berguna dan keluarlah!” ucap wanita itu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.Lea se
Keesokan paginya, Lea terbangun setelah tak sengaja mendengar suara berisik dari alarm. Dengan mata berat, ia membuka mata dan sebuah pemandangan tak biasa mengejutkan wanita itu. Bagaimana bisa Kayden Easton tidur tepat di sampingnya?!Lea terkejut dan langsung melompat dari tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seolah tercekat begitu saja. Lea berniat membangunkannya, namun pria itu tiba-tiba membuka matanya.“Apa yang terjadi? Mengapa kamu tidur di ranjangku dan Noah?” tanya Lea panik.Kayden tersenyum miring. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kamarku?”Lea kembali terkejut. “A-apa? A-aku pikir ini kamar pengantin,” jawabnya dengan suara tergagap.Kayden tertawa pelan. “Jangan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Aku tahu kamu memang sengaja ingin naik ke atas ranjangku, Lea Rose!”Seluruh wajah Lea memerah karena merasa malu sekaligus marah. “Apa maksudmu? Aku sungguh tidak sengaja masuk ke kamar ini!” elaknya.Usai men
“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.“Berhent
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Lea terbangun dan pandangannya kabur saat melihat langit-langit kamar yang luas. Kepalanya terasa pusing sementara tubuhnya begitu lemah. Saat kesadarannya benar-benar terkumpul, Lea segera menyadari bahwa dirinya berada di sebuah kamar tidur.Lea tersentak dan bangkit dengan buru-buru, tetapi rasa pusing itu membuatnya hampir terjatuh. Ia menatap tangan kirinya dan menemukan sebuah infus yang masih setengah terisi terpasang di sana. Lalu kedua matanya berkeliling menyapu ruangan tersebut—Ini jelas bukan kamarnya.“Bukankah tadi malam aku berada di tenda bersama Kayden? Lalu, di mana aku sekarang?” gumamnya kebingungan.Pintu kamar mandi di sampingnya tiba-tiba terbuka saat seseorang mendorongnya. “Di mana lagi memangnya? Tentu saja ini kamarku.”Kedua mata Lea melebar saat mendapati sosok Kayden yang melangkah keluar dengan rambut yang masih basah. Butiran air menetes dari ujung rambutnya dan membasahi bahunya yang tak tertutup oleh apa-apa.Lea terkejut dan tubuhnya refleks menegak
Kayden meraih botol air mineral yang ada di dekatnya. “Apa kamu sengaja mencari masalah, huh? Jalan-jalan saat tengah malam tanpa persiapan apa pun, lalu sekarang begini!” ucapnya terdengar frustasi.Lea hanya bisa menunduk, matanya setengah terpejam karena tubuhnya terasa semakin lemah. Napasnya mulai berat dan rasa panas di dalam tubuhnya semakin kontras dengan dinginnya udara malam.Namun jauh di dalam pikirannya, Lea tahu bahwa ini bukan hanya akibat dari hujan deras atau angin malam. Sebelum ini, suaminya telah menceburkannya ke dalam kolam renang tanpa peduli dengan kondisinya yang kelelahan karena kurang istirahat. Dengan semua itu, tentu saja Lea akhirnya tumbang seperti sekarang.Kayden mendesah keras sambil berlutut di hadapan Lea dengan tatapan tajam yang bercampur rasa frustrasi. “Dengar,” katanya dengan nada lebih pelan namun tetap tegas, “kamu harus tetap terjaga. Jangan sampai pingsan di sini.” Ia membuka botol air, menuangkan sedikit ke telapak tangannya, lalu menyeka
Kayden akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Lea ketika wanita itu dengan gugup mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Senyum tipisnya tidak memudar, seolah menikmati kecanggungan yang dirasakan Lea saat ini.Lea menundukkan kepala, rasa malu bercampur dengan rasa lapar kini mulai menguasai pikirannya. Suara perutnya yang berbunyi kembali memecah kesunyian di antara mereka, membuat wajahnya semakin memerah.“Kalau begitu,” Lea meneguk saliva dengan sedikit payah sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “bolehkah aku mencicipi ini semua? Aku … belum makan sejak siang.”Kayden menyipitkan matanya, memperhatikan Lea yang tampak pucat dan lemah. Ia mengulurkan tangan ke meja, mengambil sebuah piring dengan sepotong daging panggang di atasnya, lalu mengangkatnya ke arah Lea.“Silakan,” katanya dengan nada yang samar-samar terdengar seperti tantangan. “Tapi ingat, setiap gigitan ada harganya.”Lea menatap piring itu dengan mata bergetar. Aroma daging panggang yang
Untuk mengobati perasaannya yang telah hancur, Lea memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai dekat villa. Di bawah sinar bulan dan hamparan bintang-bintang, Lea berjalan di atas pasir putih ditemani suara desiran ombak. Rasa sakit yang terus mengalir seakan menghantam dinding-dinding hatinya, membuat Lea sama sekali tak merasa takut meski hanya seorang diri di tengah kegelapan.Lea mendongak, menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Cahaya bulan yang lembut seolah menyorot dirinya yang rapuh. “Mengapa meninggalkanku sendirian di sini, Bu?” gumamnya pelan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan ibunya yang kini mungkin telah menjadi bagian dari bintang-bintang di atas sana.Kedua kaki Lea terus melangkah tanpa tujuan pasti, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan—ketenangan, jawaban, atau mungkin sekadar kehadiran seseorang yang bisa menghapus kesendiriannya.Langkah Lea terhenti saat matanya tak sengaja menangkap sebuah cahaya dari kejauhan. "Api unggun?" gumam
Malam harinya, Noah berpesta dengan teman-temannya di villa. Suara tawa dan sorakan yang begitu riuh memenuhi seisi ruangan, sementara Lea terjebak di tengah kegelapan pesta yang sedang berlangsung. Sialnya, ia bukan hanya tidak bisa beristirahat—Noah juga memaksanya menjadi pelayan malam itu, memerintahkannya melayani setiap tamu yang datang.Berpesta seperti ini jelas bukanlah kehidupan yang pernah Lea kenal. Selain bersekolah, masa mudanya lebih banyak dihabiskan di dapur atau melayani kakak tirinya. Kini tubuhnya terasa semakin lelah dan kedua matanya terasa berat, namun Noah tidak memberinya kesempatan untuk berhenti.Sejenak, Lea merenung. Sebuah pikiran bahwa Noah jauh lebih kejam daripada Kayden tiba-tiba menyelusup di kepalanya."Astaga, apa yang aku pikirkan? Mengapa aku malah membandingkan Noah dengan Kayden?" gumamnya pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.Dengan cepat Lea menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir pemikiran yang tak seharusnya ada
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t