Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.
“Kamu mau ke mana?”
Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.
Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.
Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.
Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden tiba-tiba menarik lengannya. Sentuhan itu tidak keras, tetapi cukup untuk menghentikan langkahnya.
Lea menatap Kayden dengan tatapan penuh tanya. “Ada apa?”
Kayden diam beberapa saat, hingga akhirnya menjawab, “Tidak ada. Jika suamimu itu memukulmu lagi, jangan ragu untuk datang kepadaku.”
Kepala Lea secara impulsif mengangguk dengan pelan. Setelah Kayden melepaskan genggaman tangannya, ia pun melangkah menuju pintu utama. Sebenarnya, Lea sempat berpikir Kayden mungkin akan menahannya, tetapi pria itu membiarkannya pergi begitu saja.
“Mengapa dia mengatakan itu? ‘Jangan ragu datang kepadaku jika Noah menyakitimu lagi’. Bukankah dia juga tidak lebih baik?” gumam Lea saat di tengah perjalanan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan perkataan Kayden saat di villa.
Setelah hampir saatnya tiba di villa Noah, mendadak langkah Lea terasa begitu berat. Ada ketakutan sekaligus keraguan menyergap dirinya. Rasanya, Lea tidak siap bertemu Noah kembali.
Namun tanpa ia sadari, langkah kakinya sudah memasuki area villa suaminya itu. Dengan keberanian yang sedikit terkumpul di sepanjang perjalanan, Lea memasuki villa tersebut dengan perasaan waspada.
Hening, tidak ada siapa pun di sana. Lea melangkah di lorong villa hendak menuju kamarnya. Namun ketika kakinya akan menginjak anak tangga, suara Noah tiba-tiba mengudara.
“Dari mana saja kamu?” tanya pria itu. Matanya menatap dingin, seolah kehangatan tidak diperuntukkan untuk Lea.
Sekujur tubuh Lea seketika membeku. Seolah udara di dunia ini mendadak habis, ia kesulitan untuk bernapas. Dengan sedikit gemetar, Lea pun berbalik.
“Aku … aku ….” Wanita itu tergagap.
Lea melangkah mundur ketika Noah berjalan mendekatinya. Dilihat dari bagaimana reaksinya sekarang, jelas sekali Lea merasa takut pada suaminya itu. Lea takut Noah akan kembali menghajarnya seperti tadi malam.
“Kita akan pergi ke suatu tempat yang bagus. Jadi, pastikan kamu terlihat seperti istri yang bisa kubanggakan,” ujar Noah dengan suara datar. “Aku tidak butuh istri yang cantik. Aku butuh istri yang tidak memalukan.”
Lea mengangguk pelan, seperti boneka yang hanya tahu mengikuti perintah tanpa bisa bertanya. Begitu Noah pergi, Lea langsung mengembuskan napas lega. Ia segera bergegas menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Sesampainya di dalam kamar dan mengunci pintu, Lea bersandar di balik pintu sambil memejamkan mata untuk menenangkan pikirannya. “Ke mana dia akan membawaku pergi?” gumamnya pelan.
Tak ingin membuang waktu, Lea melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meskipun pagi itu udara terasa menusuk kulit, tubuh Lea justru terasa panas seperti terbakar api. Air dingin yang mengalir dari pancuran menjadi pelarian sesaatnya.
Selesai mandi, Lea keluar dengan rambut yang masih setengah basah dan handuk melilit tubuhnya. Ia berdiri di depan lemari, mencari pakaian yang sesuai seperti perintah Noah. Sebuah gaun sederhana berwarna biru laut dengan potongan elegan namun tidak terlalu mencolok menjadi pilihan Lea.
Selesai berpakaian, Lea segera duduk di depan meja rias untuk merias wajahnya. Begitu selesai, Lea menatap pantulan dirinya tanpa ada rasa semangat. Meski penampilannya tampak sempurna, ada rasa hampa menyelimuti dirinya.
“Baiklah, Lea. Dia tidak perlu istri yang cantik, tapi dia perlu istri yang tidak memalukan. Kamu pasti bisa melakukannya,” katanya sebelum melangkah keluar dari kamar.
Lea pun turun ke lantai satu dan langsung menuju ruang tengah. Di sana sudah ada Noah yang menunggunya. Ketika mendengar langkah kaki Lea, pria itu berbalik dengan perlahan.
“Bagus,” kata Noah setelah mengamati Lea dengan seksama. Tatapannya tidak menunjukkan pujian, lebih seperti penilaian yang seolah memastikan bahwa penampilan Lea cukup pantas untuk mendampinginya.
Lea mengikuti Noah keluar tanpa sepatah kata. Ketika mereka berdiri di ujung teras, Noah tiba-tiba mendekati Lea dan melingkarkan lengannya di pinggang wanita itu. Dan dengan gerakan cepat, Noah melakukan gerakan seperti ingin mencium istrinya itu.
Lea merasa sangat terkejut, tetapi saat ia berpikir Noah akan menciumnya, pria itu tidak benar-benar melakukannya. Tepat sebelum bibir mereka bertemu, Noah berhenti dan membisikkan sesuatu.
“Kita harus berakting sekarang.”
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
Malam harinya, Noah berpesta dengan teman-temannya di villa. Suara tawa dan sorakan yang begitu riuh memenuhi seisi ruangan, sementara Lea terjebak di tengah kegelapan pesta yang sedang berlangsung. Sialnya, ia bukan hanya tidak bisa beristirahat—Noah juga memaksanya menjadi pelayan malam itu, memerintahkannya melayani setiap tamu yang datang.Berpesta seperti ini jelas bukanlah kehidupan yang pernah Lea kenal. Selain bersekolah, masa mudanya lebih banyak dihabiskan di dapur atau melayani kakak tirinya. Kini tubuhnya terasa semakin lelah dan kedua matanya terasa berat, namun Noah tidak memberinya kesempatan untuk berhenti.Sejenak, Lea merenung. Sebuah pikiran bahwa Noah jauh lebih kejam daripada Kayden tiba-tiba menyelusup di kepalanya."Astaga, apa yang aku pikirkan? Mengapa aku malah membandingkan Noah dengan Kayden?" gumamnya pelan, hampir tidak percaya dengan apa yang ia pikirkan barusan.Dengan cepat Lea menggoyangkan kepalanya, mencoba mengusir pemikiran yang tak seharusnya ada
Untuk mengobati perasaannya yang telah hancur, Lea memutuskan untuk berjalan-jalan di tepi pantai dekat villa. Di bawah sinar bulan dan hamparan bintang-bintang, Lea berjalan di atas pasir putih ditemani suara desiran ombak. Rasa sakit yang terus mengalir seakan menghantam dinding-dinding hatinya, membuat Lea sama sekali tak merasa takut meski hanya seorang diri di tengah kegelapan.Lea mendongak, menatap langit malam yang dipenuhi taburan bintang. Cahaya bulan yang lembut seolah menyorot dirinya yang rapuh. “Mengapa meninggalkanku sendirian di sini, Bu?” gumamnya pelan, seolah-olah ia sedang berbicara dengan ibunya yang kini mungkin telah menjadi bagian dari bintang-bintang di atas sana.Kedua kaki Lea terus melangkah tanpa tujuan pasti, seakan mencari sesuatu yang tak bisa ia temukan—ketenangan, jawaban, atau mungkin sekadar kehadiran seseorang yang bisa menghapus kesendiriannya.Langkah Lea terhenti saat matanya tak sengaja menangkap sebuah cahaya dari kejauhan. "Api unggun?" gumamn
Kayden akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Lea ketika wanita itu dengan gugup mendorong dadanya menggunakan kedua tangan. Senyum tipisnya tidak memudar, seakan menikmati kecanggungan yang dirasakan Lea saat ini.Lea menundukkan kepala, rasa malu bercampur dengan rasa lapar kini mulai menguasai pikirannya. Suara perutnya yang berbunyi kembali memecah kesunyian di antara mereka, membuat wajahnya semakin memerah.“Kalau begitu,” Lea meneguk saliva dengan sedikit payah sambil berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. “bolehkah aku mencicipi ini semua? Aku … belum makan sejak siang.”Kayden menyipitkan matanya, memperhatikan Lea yang tampak pucat dan lemah. Ia mengulurkan tangan ke meja, mengambil sebuah piring dengan sepotong daging panggang di atasnya, lalu mengangkatnya ke arah Lea.“Silakan,” katanya dengan nada yang samar-samar terdengar seperti tantangan. “Tapi ingat, setiap gigitan ada harganya.”Lea menatap piring itu dengan mata bergetar. Aroma daging panggang yang
Kayden meraih botol air mineral yang ada di dekatnya. “Apa kamu sengaja mencari masalah, huh? Jalan-jalan saat tengah malam tanpa persiapan apa pun, lalu sekarang begini!” ucapnya terdengar frustasi.Lea hanya bisa menunduk, matanya setengah terpejam karena tubuhnya terasa semakin lemah. Napasnya mulai berat dan rasa panas di dalam tubuhnya semakin kontras dengan dinginnya udara malam.Namun jauh di dalam pikirannya, Lea tahu bahwa ini bukan hanya akibat dari hujan deras atau angin malam. Sebelum ini, suaminya telah menceburkannya ke dalam kolam renang tanpa peduli dengan kondisinya yang kelelahan karena kurang istirahat. Dengan semua itu, tentu saja Lea akhirnya tumbang seperti sekarang.Kayden mendesah keras sambil berlutut di hadapan Lea dengan tatapan tajam yang bercampur rasa frustrasi. “Dengar,” katanya dengan nada lebih pelan namun tetap tegas, “kamu harus tetap terjaga. Jangan sampai pingsan di sini.” Ia membuka botol air, menuangkan sedikit ke telapak tangannya, lalu menyeka w
Lea terbangun dan pandangannya kabur saat melihat langit-langit kamar yang luas. Kepalanya terasa pusing sementara tubuhnya begitu lemah. Saat kesadarannya benar-benar terkumpul, Lea segera menyadari bahwa dirinya berada di sebuah kamar tidur.Lea tersentak dan bangkit dengan buru-buru, tetapi rasa pusing itu membuatnya hampir terjatuh. Ia menatap tangan kirinya dan menemukan sebuah infus yang masih setengah terisi terpasang di sana. Lalu kedua matanya berkeliling menyapu ruangan tersebut—Ini jelas bukan kamarnya.“Bukankah tadi malam aku berada di tenda bersama Kayden? Lalu, di mana aku sekarang?” gumamnya kebingungan.Pintu kamar mandi di sampingnya tiba-tiba terbuka saat seseorang mendorongnya. “Di mana lagi memangnya? Tentu saja ini kamarku.”Kedua mata Lea melebar saat mendapati sosok Kayden yang melangkah keluar dengan rambut yang masih basah. Butiran air menetes dari ujung rambutnya dan membasahi bahunya yang tak tertutup oleh apa-apa.Lea terkejut dan tubuhnya refleks menegak
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali
Jantung Lea mencelos sesaat setelah mendengar kalimat itu. Jadi, semua ini tentang Sophia? Noah rela menyakitinya sejauh ini hanya demi kekasih gelapnya itu.Demi Tuhan! Lea merasa sangat marah, tapi ia tak tahu kepada siapa ia seharusnya marah. Pada Noah yang menyakitinya, atau pada dirinya sendiri yang selalu merasa tak berdaya?Lea ingin melawan. Namun keinginan itu hanya berakhir sebagai angan-angan kosong. Meski semangat untuk melawan sempat menyala, rasa takut akan ancaman yang terus menghantui membuatnya kehilangan keberanian.“Berhenti menangis! Sekarang, cepat obati tanganmu sebelum suamiku melihatnya!” ucap Kaelyn tanpa sedikit pun rasa simpati.Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada dingin, Kaelyn segera beranjak. “Sial! Selera makanku jadi hilang karena ini,” gumamnya, suaranya masih terdengar jelas meski langkahnya sudah mulai menjauh dari ruang makan.Setelah Kaelyn benar-benar pergi, seorang pelayan segera menghampiri Lea dan membantunya berdiri.“Terima kasih,” uca
Setelah kejadian itu, Sophia langsung merasa bahwa ia perlu bertindak. Ia mengeluarkan ponselnya dengan tak sabar dan mengetik pesan cepat kepada Noah. Sophia meminta pria itu untuk segera bertemu, dan mereka sepakat untuk bertemu di apartemennya tiga puluh menit lagi.Saat Sophia tiba, Noah sudah menunggunya di ruang tamu. Ekspresinya suram, penuh dengan ketegangan yang tak biasa. Matanya tajam dan ada kilatan amarah di sana—bukan hanya kemarahan biasa, tetapi kemarahan yang jelas sedang ia tahan dengan susah payah.Begitu duduk di sofa, Sophia segera memasang ekspresi terguncang, seolah ia benar-benar teraniaya.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya dengan suara bergetar. “Lea ... dia benar-benar sudah gila! Dia menamparku, Sayang! Dia mempermalukanku di depan banyak orang!”Noah yang awalnya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri langsung mengangkat wajah, menatap Sophia dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu? Lea menamparmu?”Nada ketidakpercayaan dalam suaranya begitu jela