“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.
Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.
“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.
Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”
Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”
Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.
Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.
“Berhentilah menatapku, bodoh!” ucap Noah seakan tahu bahwa sedari tadi Lea menatapnya.
Lea tidak menjawab. Ia segera kabur menuju kamar mandi. Semua yang terjadi padanya terasa tidak masuk akal.
Lea berdiri di depan cermin, lalu mengamati wajahnya yang tampak begitu pucat. Demi Tuhan! Lea sangat ketakutan sekarang.
“Sial!” erangnya sambil meninju wastafel dengan pelan.
Lea berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap dapat meredakan ketegangan yang menghimpitnya. Namun ancaman yang diberikan Kayden terus mengusiknya, Lea kesal setengah mati.
Lea melangkah menuju shower dan membiarkan air hangat membasahi seluruh tubuhnya. Dengan gerakan lembut, Lea menyabuni tubuhnya. Berharap kecemasan yang ia rasakan luntur terbawa buih sabun yang mengalir ke bawah dan menghilang bersamaan dengan air.
“Ini benar-benar konyol! Semua ini tidak ada gunanya.” Lea kembali frustasi.
Nyatanya, Lea tidak bisa tenang sama sekali. Kata-kata ancaman yang keluar dari mulut Kayden terus terngiang di kepalanya. Hal itu semakin menambah ketakutan dan kecemasan di dalam diri Lea.
Lea menatap pantulan dirinya di depan cermin yang berembun. Ia merelakan dirinya menikah dengan Noah Easton demi menyelamatkan keluarganya. Namun, terjebak dengan pria kejam seperti Kayden Easton benar-benar di luar dugaannya.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk, Lea pun bergegas keluar. Mandi air hangat di pagi yang dingin terasa sangat menyegarkan. Lea merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.
“Siang ini kita akan terbang ke Seychelles untuk bulan madu.” Noah mengumumkan.
Lea sedikit terkejut sebab ia tidak tahu apa-apa tentang bulan madu. “Apa? Tapi aku belum—”
Noah bangkit dari atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. “Semuanya sudah siap. Aku juga sudah memberi tahu Kayden dan dia setuju.”
Lea mengerjap seperti orang bodoh. “Tapi, bagaimana dengan—”
“Jangan terlalu banyak bertanya! Barang-barangmu sudah dikemas. Kamu hanya perlu berangkat dengan patuh,” kata Noah sebelum menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Lea segera berpakaian dan turun ke lantai satu. Aroma kopi dan bau pancake yang baru saja matang menyambut hidungnya. Rasa lapar seketika menggelitik perut Lea dan ia tidak sabar untuk mencicipi makanan itu.
“Selamat pagi, Nyonya Muda,” sapa seorang pelayan yang baru selesai menata meja.
Lea tersenyum hangat, lalu membalas sapaan pelayan itu. “Apa ayah dan ibu mertuaku sudah sarapan?” tanyanya.
Pelayan itu mengangguk sopan. “Mereka sudah sarapan dan sekarang Tuan Besar sudah pergi bekerja,” sahutnya kemudian pamit undur diri.
Lea duduk di meja makan dan siap untuk menikmati sarapan. Tapi, ia tidak melihat daun mint kesukaannya terletak di atas pancake. Ia pun bangkit berdiri dan melangkah menuju kulkas.
Ketika ia hendak menutup kulkas setelah mengambil daun mint, dua buah tangan tiba-tiba menyergap pinggangnya dari arah belakang. Lea sangat terkejut dan berusaha melepaskan tangan tersebut dari pinggangnya, tapi usahanya sia-sia.
“Tubuhmu sangat wangi.” Suara berat Kayden masuk ke telinganya dengan sopan.
Lea berusaha memberontak. “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku sekarang!”
Kayden sama sekali tak berniat melepaskan tangannya dari pinggang Lea. Pria itu malah mengunci tubuh Lea dengan dekapan yang semakin erat.
Lea menggertakkan gigi. “Lepaskan aku atau aku akan berteriak!” ancamnya sungguh-sungguh.
Kayden tertawa pelan, bibirnya mendekat ke telinga wanita itu. “Teriak saja sekuat yang kamu bisa,” bisiknya. “Lalu aku akan memastikan semua orang tahu tentang apa yang terjadi tadi malam.”
Lea membeku. Kata-kata itu seperti jebakan yang tidak bisa ia hindari.
Kayden akhirnya melepaskan Lea, tetapi sebelum pergi, ia menunduk memandang wanita itu. “Ingat, Lea. Kamu bisa mencoba melawan, tapi aku akan selalu menang. Kamu milikku, entah kamu suka atau tidak,” bisiknya pelan.
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan."Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.Lea membuka langk
Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan."Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.Lea membuka langk
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.“Berhent