“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.
Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.
“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.
Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”
Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”
Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.
Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.
“Berhentilah menatapku, bodoh!” ucap Noah seakan tahu bahwa sedari tadi Lea menatapnya.
Lea tidak menjawab. Ia segera kabur menuju kamar mandi. Semua yang terjadi padanya terasa tidak masuk akal.
Lea berdiri di depan cermin, lalu mengamati wajahnya yang tampak begitu pucat. Demi Tuhan! Lea sangat ketakutan sekarang.
“Sial!” erangnya sambil meninju wastafel dengan pelan.
Lea berusaha menenangkan diri dengan menarik napas dalam. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap dapat meredakan ketegangan yang menghimpitnya. Namun ancaman yang diberikan Kayden terus mengusiknya, Lea kesal setengah mati.
Lea melangkah menuju shower dan membiarkan air hangat membasahi seluruh tubuhnya. Dengan gerakan lembut, Lea menyabuni tubuhnya. Berharap kecemasan yang ia rasakan luntur terbawa buih sabun yang mengalir ke bawah dan menghilang bersamaan dengan air.
“Ini benar-benar konyol! Semua ini tidak ada gunanya.” Lea kembali frustasi.
Nyatanya, Lea tidak bisa tenang sama sekali. Kata-kata ancaman yang keluar dari mulut Kayden terus terngiang di kepalanya. Hal itu semakin menambah ketakutan dan kecemasan di dalam diri Lea.
Lea menatap pantulan dirinya di depan cermin yang berembun. Ia merelakan dirinya menikah dengan Noah Easton demi menyelamatkan keluarganya. Namun, terjebak dengan pria kejam seperti Kayden Easton benar-benar di luar dugaannya.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk, Lea pun bergegas keluar. Mandi air hangat di pagi yang dingin terasa sangat menyegarkan. Lea merasa sedikit lebih baik dari sebelumnya.
“Siang ini kita akan terbang ke Seychelles untuk bulan madu.” Noah mengumumkan.
Lea sedikit terkejut sebab ia tidak tahu apa-apa tentang bulan madu. “Apa? Tapi aku belum—”
Noah bangkit dari atas ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi. “Semuanya sudah siap. Aku juga sudah memberi tahu Kayden dan dia setuju.”
Lea mengerjap seperti orang bodoh. “Tapi, bagaimana dengan—”
“Jangan terlalu banyak bertanya! Barang-barangmu sudah dikemas. Kamu hanya perlu berangkat dengan patuh,” kata Noah sebelum menutup pintu kamar mandi dengan keras.
Lea segera berpakaian dan turun ke lantai satu. Aroma kopi dan bau pancake yang baru saja matang menyambut hidungnya. Rasa lapar seketika menggelitik perut Lea dan ia tidak sabar untuk mencicipi makanan itu.
“Selamat pagi, Nyonya Muda,” sapa seorang pelayan yang baru selesai menata meja.
Lea tersenyum hangat, lalu membalas sapaan pelayan itu. “Apa ayah dan ibu mertuaku sudah sarapan?” tanyanya.
Pelayan itu mengangguk sopan. “Mereka sudah sarapan dan sekarang Tuan Besar sudah pergi bekerja,” sahutnya kemudian pamit undur diri.
Lea duduk di meja makan dan siap untuk menikmati sarapan. Tapi, ia tidak melihat daun mint kesukaannya terletak di atas pancake. Ia pun bangkit berdiri dan melangkah menuju kulkas.
Ketika ia hendak menutup kulkas setelah mengambil daun mint, dua buah tangan tiba-tiba menyergap pinggangnya dari arah belakang. Lea sangat terkejut dan berusaha melepaskan tangan tersebut dari pinggangnya, tapi usahanya sia-sia.
“Tubuhmu sangat wangi.” Suara berat Kayden masuk ke telinganya dengan sopan.
Lea berusaha memberontak. “Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku sekarang!”
Kayden sama sekali tak berniat melepaskan tangannya dari pinggang Lea. Pria itu malah mengunci tubuh Lea dengan dekapan yang semakin erat.
Lea menggertakkan gigi. “Lepaskan aku atau aku akan berteriak!” ancamnya sungguh-sungguh.
Kayden tertawa pelan, bibirnya mendekat ke telinga wanita itu. “Teriak saja sekuat yang kamu bisa,” bisiknya. “Lalu aku akan memastikan semua orang tahu tentang apa yang terjadi tadi malam.”
Lea membeku. Kata-kata itu seperti jebakan yang tidak bisa ia hindari.
Kayden akhirnya melepaskan Lea, tetapi sebelum pergi, ia menunduk memandang wanita itu. “Ingat, Lea. Kamu bisa mencoba melawan, tapi aku akan selalu menang. Kamu milikku, entah kamu suka atau tidak,” bisiknya pelan.
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan."Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.Lea membuka langk
Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
Lea memegangi ponselnya dengan tangan yang gemetar hebat. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar. Dengan hati-hati, ia melangkah mundur kemudian menjauh dari tempat itu.Lututnya terasa sangat lemas. Lea menggigit bibirnya kuat-kuat sambil berjuang mempertahankan keseimbangan. Kata-kata Noah tadi terus bergema di kepalanya, seperti racun yang menyusup ke setiap sel tubuhnya.Noah tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Lea tahu itu. Tapi tidak sedikit pun ia membayangkan bahwa pria itu berpikir untuk menyingkirkan dirinya—bukan hanya dari hidupnya, tapi dari dunia ini juga.“Pantas saja dia memukuliku seperti ingin membunuhku. Ternyata dia ….” Lea kembali menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan luapan rasa sakit yang menusuk jantungnya.Air mata perlahan memenuhi pelupuk mata Lea. Hanya perlu satu kedipan, atau satu gerakan kecil, air mata itu akan jatuh bersama rasa sakit dan ketakutan di dalam dirinya.Lea terhuyung, ham
Begitu mendengar jawaban tersebut, ekspresi Sophia berubah drastis. Tanpa sepatah kata, ia segera berbalik dan melangkah pergi dengan wajah yang penuh ketidakpuasan. Sikap lembutnya yang tadi terlihat saat menolong Lea kini menghilang, digantikan oleh sikap dingin yang mencuat melalui sebuah tubrukan kecil di bahu wanita bermata hazel itu.Tubrukan itu mungkin terlihat sepele, tetapi cukup untuk membuat Lea terpaku di tempat. Entah mengapa Lea merasakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik tindakan wanita itu—sesuatu yang menusuk seperti tatapan tajam Sophia yang sempat singgah sesaat sebelum berlalu.“Sophia! Sayang!” teriak Noah panik.Ia melangkah maju hendak menyusul Sophia, tetapi tiba-tiba berhenti. Langkahnya tertahan di depan Lea yang berdiri mematung dengan wajah pucat.Noah menatap istrinya itu dengan tajam, sorot matanya menusuk seperti belati yang diarahkan langsung ke hati Lea. “Aku tidak akan memaafkanmu jika hubunganku dengan Sophia semakin memburuk,” desisnya dengan n
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali
Jantung Lea mencelos sesaat setelah mendengar kalimat itu. Jadi, semua ini tentang Sophia? Noah rela menyakitinya sejauh ini hanya demi kekasih gelapnya itu.Demi Tuhan! Lea merasa sangat marah, tapi ia tak tahu kepada siapa ia seharusnya marah. Pada Noah yang menyakitinya, atau pada dirinya sendiri yang selalu merasa tak berdaya?Lea ingin melawan. Namun keinginan itu hanya berakhir sebagai angan-angan kosong. Meski semangat untuk melawan sempat menyala, rasa takut akan ancaman yang terus menghantui membuatnya kehilangan keberanian.“Berhenti menangis! Sekarang, cepat obati tanganmu sebelum suamiku melihatnya!” ucap Kaelyn tanpa sedikit pun rasa simpati.Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada dingin, Kaelyn segera beranjak. “Sial! Selera makanku jadi hilang karena ini,” gumamnya, suaranya masih terdengar jelas meski langkahnya sudah mulai menjauh dari ruang makan.Setelah Kaelyn benar-benar pergi, seorang pelayan segera menghampiri Lea dan membantunya berdiri.“Terima kasih,” uca
Setelah kejadian itu, Sophia langsung merasa bahwa ia perlu bertindak. Ia mengeluarkan ponselnya dengan tak sabar dan mengetik pesan cepat kepada Noah. Sophia meminta pria itu untuk segera bertemu, dan mereka sepakat untuk bertemu di apartemennya tiga puluh menit lagi.Saat Sophia tiba, Noah sudah menunggunya di ruang tamu. Ekspresinya suram, penuh dengan ketegangan yang tak biasa. Matanya tajam dan ada kilatan amarah di sana—bukan hanya kemarahan biasa, tetapi kemarahan yang jelas sedang ia tahan dengan susah payah.Begitu duduk di sofa, Sophia segera memasang ekspresi terguncang, seolah ia benar-benar teraniaya.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya dengan suara bergetar. “Lea ... dia benar-benar sudah gila! Dia menamparku, Sayang! Dia mempermalukanku di depan banyak orang!”Noah yang awalnya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri langsung mengangkat wajah, menatap Sophia dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu? Lea menamparmu?”Nada ketidakpercayaan dalam suaranya begitu jela