Di sebuah kamar ganti di ballroom hotel berbintang, Lea Rose berdiri mematung tepat di depan cermin sambil memandangi pantulan dirinya sendiri. Hari ini adalah hari pernikahannya—lebih tepatnya pernikahan yang tidak dia inginkan. Demi menyelamatkan keluarganya dari ambang kebangkrutan, ayahnya tega menjadikan dirinya sebagai sandera untuk keluarga Easton.
“Berhentilah berdrama, Lea! Jika kamu ingin menyelamatkan keluarga Thompson dari neraka kehancuran, maka terima saja pernikahan ini dengan lapang dada!”
Suara ibu tirinya yang sedari tadi mengawasinya di belakang, seolah peluru yang menembus jantung Lea. Membuat air matanya tak sengaja menetes dari ujung mata dan mengalir di pipi. Bagaimana bisa ia merasa lapang dada?
“Tapi, Bu—”
“Kita sudah menyepakati hal ini, Lea. Dan kamu sudah setuju untuk menggantikan kakakmu menikah dengan putra kedua keluarga Easton! Sekarang hapus air matamu yang tidak berguna dan keluarlah!” ucap wanita itu sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
Lea segera menyapu air matanya dan bersiap untuk keluar seperti yang diperintahkan oleh ibu tirinya. Namun saat ia hendak membuka langkah, Noah Easton—pria yang akan menjadi pengantin laki-laki hari ini—datang menghampirinya. Tatapan pria itu jelas menunjukkan kemarahan yang tak terbendung, ia mendatangi Lea dengan sorot mengintimidasi.
“Seharusnya kamu tolak saja pernikahan sialan ini. Mengapa malah menerimanya, huh?!” bentak Noah penuh kemarahan.
Lea sedikit tersentak dan refleks menutup mata saat melihat Noah melayangkan tangannya. Namun sebuah gerakan lembut di puncak kepalanya membuat Lea membuka mata dengan perlahan. Lea pikir Noah akan memukulnya, tetapi pria itu malah mengusap kepalanya.
“Masih belum terlambat untuk membatalkan pernikahan ini, Lea. Keluarlah sekarang dan katakan pada orang tuamu kamu tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Atau … kamu bisa kabur saja seperti yang dilakukan pemeran utama wanita di novel.”
Lea meneguk saliva dengan berat. Di saat bibirnya hendak terbuka untuk menjawab, kedatangan seseorang membuatnya tertahan.
“Bagaimana hasilnya?” Kaelyn Brown—ibu Noah—masuk dengan tergesa-gesa. Suaranya tampak cemas saat melontarkan pertanyaan tersebut.
Noah segera berbalik, kemudian tersenyum menghampiri ibunya. “Aku sudah menyuruhnya untuk membatalkan pernikahan. Tenanglah, Bu. Pernikahan sialan ini tidak akan terjadi hari ini.”
Kaelyn menatap putranya dengan ragu, kemudian menghampiri Lea yang berdiri mematung. “Aku harap kamu mengerti situasi kita. Ketahui posisi keluarga Thompson, terlebih lagi posisimu sendiri. Aku tidak ingin putraku menjadi tumbal atas perjanjian bodoh para tetua di masa lalu. Tidak ada yang mengharapkanmu di keluarga Easton,” bisiknya dengan suara tajam dan tegas, lalu melangkah keluar bersama putranya.
Kedua mata Lea terasa memanas, namun sekuat tenaga ia menahan agar air mata tidak jatuh dari tempatnya. Kata-kata Kaelyn sama sekali tidak salah. Tidak ada yang menginginkan Lea, baik di keluarga Easton ataupun di keluarga Thompson.
Cukup lama Lea berdiri mematung, hingga seorang petugas WO datang dan memberi tahu Lea untuk segera keluar. Dengan sedikit gemetar, Lea berjalan menuju altar dengan perasaan campur aduk—antara rasa ragu dan cemas.
“Mengapa kemari?! Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk kabur, atau memberi tahu orang tuamu, atau apa pun itu yang bisa membatalkan pernikahan sialan ini!” sambut Noah, nada suaranya berbisik namun dipenuhi amarah.
Lea tak berani menatapnya. “Maafkan aku. Tapi, aku juga tidak punya pilihan …,” katanya lemah.
Rahang Noah mengeras karena amarah. “Jangan mengatakan hal yang tidak masuk akal! Batalkan sekarang atau aku akan—” Ucapan Noah terhenti saat ia melihat sang ayah menatap tajam ke arahnya.
Noah sontak terdiam dan sikapnya berubah 180 derajat, seperti peliharaan yang tidak berkutik di hadapan tuannya. Lalu, pesta pernikahan pun langsung pada puncaknya dan berakhir sesuai agenda. Sepanjang acara Noah terus menyalahkan Lea sebab pernikahan terlaksana, pria itu bahkan langsung pergi dan meninggalkan Lea sendirian.
“Hari ini benar-benar melelahkan,” gumam Lea sambil meraih gelas berisi wine dan menenggaknya hingga habis.
Karena toleransinya terhadap alkohol sangat rendah, satu gelas wine sangat cukup membuat Lea mabuk. Ia melangkah sempoyongan menuju mobil setelah menerima informasi bahwa seorang sopir akan mengantarnya ke kediaman Easton.
“Saya akan mengantar Anda ke kediaman Easton,” jelas sopir saat Lea baru saja masuk mobil.
Lea mengangguk pelan dan mobil pun meluncur menuju kediaman Easton. Di sepanjang jalan, Lea benar-benar hampir kehilangan kesadarannya. Hingga tak terasa, mobil yang Lea tumpangi tiba-tiba sudah memasuki kediaman keluarga Easton dan berhenti tepat di depan pintu utama kediaman keluarga Easton yang mewah.
Lea turun dari mobil dan berjalan masuk dengan langkah yang masih sempoyongan. Seorang pelayan menyambut kedatangannya dan berkata akan mengantarkan Lea ke kamarnya.
“Tidak usah. Kamu hanya perlu memberi tahuku letak kamar pengantin di mana.” Lea menolak.
Awalnya pelayan itu terlihat ragu, tetapi Lea kembali meyakinkan bahwa ia baik-baik saja naik ke atas sendirian. Lalu pelayan itu pun memberi tahu Lea letak kamar pengantin.
Lea menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di depan kamar yang ia yakini adalah kamar pengantin, Lea langsung membuka pintu kamar tersebut.
“Noah …?” gumam Lea saat melihat sesosok pria tengah berdiri di ujung ranjang sambil melucuti kancing kemejanya.
Lea berjalan mendatangi pria itu dan berhenti tepat di depannya. “Aku tahu kamu sangat kesal hari ini. Tapi, aku sungguh minta maaf karena pernikahan ini juga di luar kuasaku,” ujarnya sambil terkekeh, namun sedetik kemudian wajahnya berubah murung.
Pria itu menipiskan jarak mereka, lalu menarik dagu Lea agar menatapnya. “Lihat dengan benar siapa yang berdiri di hadapanmu sekarang,” katanya dengan suara parau.
Lea menyipitkan mata, memfokuskan tatapannya pada pria di hadapannya itu. “Kamu … Noah Easton. Suamiku,” sahutnya tampak yakin.
Pria itu menarik napas dalam, tatapannya terfokus pada Lea yang tampak kehilangan keseimbangan. Saat matanya jatuh pada bibir wanita itu, dorongan yang tak terelakkan muncul dalam dirinya—keinginan yang tak bisa ditahan.
Tanpa peringatan, pria itu mendekat dan mendaratkan ciuman hangat di bibir Lea. Ciuman itu bukan sekadar lembut—ada api yang menggeliat di antara mereka. Dengan penuh gairah, ia melumat bibir Lea, menghidupkan setiap sensasi yang terpendam.
Lea terlena dalam setiap sentuhan, setiap cecapan yang menggoda, seolah dunia di sekitar mereka menghilang. Dalam momen itu, Lea merasakan getaran yang membuat jantungnya berpacu. Ia terperangkap dalam kehangatan tubuh pria itu, pria yang ia pikir adalah suaminya.
Keesokan paginya, Lea terbangun setelah tak sengaja mendengar suara berisik dari alarm. Dengan mata berat, ia membuka mata dan sebuah pemandangan tak biasa mengejutkan wanita itu. Bagaimana bisa Kayden Easton tidur tepat di sampingnya?!Lea terkejut dan langsung melompat dari tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seolah tercekat begitu saja. Lea berniat membangunkannya, namun pria itu tiba-tiba membuka matanya.“Apa yang terjadi? Mengapa kamu tidur di ranjangku dan Noah?” tanya Lea panik.Kayden tersenyum miring. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kamarku?”Lea kembali terkejut. “A-apa? A-aku pikir ini kamar pengantin,” jawabnya dengan suara tergagap.Kayden tertawa pelan. “Jangan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Aku tahu kamu memang sengaja ingin naik ke atas ranjangku, Lea Rose!”Seluruh wajah Lea memerah karena merasa malu sekaligus marah. “Apa maksudmu? Aku sungguh tidak sengaja masuk ke kamar ini!” elaknya.Usai men
“Kak, apa yang kamu lakukan di sini?” Noah menangkap lengan Kayden dengan cepat.Kayden menatap sang adik dengan wajah datar, mengamati dari atas hingga bawah. Penampilannya tampak berantakan, seperti seseorang yang baru saja berpesta sepanjang malam.“Dia ke sini untuk membahas pekerjaan. Kamu tahu ‘kan kalau dia adalah atasanku di kantor?” Lea menjawab sebelum bibir Kayden sempat terbuka.Noah bergumam pelan sambil mengamati keduanya secara bergantian. Pria itu tampak curiga, namun akhirnya mengangguk percaya. “Jadi, apa kalian berdua sudah selesai membahasnya?”Lea mengangguk mengiyakan. “Ya! Kita sudah selesai membahasnya.”Kayden berbalik dan menatap Lea sambil tersenyum tipis. Mata birunya seolah mengisyaratkan sesuatu. Kemudian, ia menarik lengannya dari genggaman Noah dan membuka langkah meninggalkan kamar.Sepeninggal Kayden, Lea hanya diam sambil memperhatikan Noah yang pergi menuju ranjang. Suaminya itu tampak berantakan. Ia bahkan tidur tanpa mengganti pakaiannya.“Berhent
Siang harinya, Lea dan Noah terbang ke Seychelles menaiki jet pribadi keluarga Easton. Setelah 22 jam perjalanan udara, termasuk perjalanan helikopter menuju resort, mereka akhirnya tiba di villa pribadi yang luas dan mewah.“Kamarku berada di lantai satu dan kamarmu di lantai dua,” ucap Noah ketika mereka baru saja tiba di ruang tengah.Melihat Lea menatapnya sambil mematung, Noah kembali berbicara, “Kamu tidak berpikir kita akan tidur di kamar yang sama, bukan? Bulan madu ini kita lakukan untuk tujuan tertentu, tapi kita tidak benar-benar berbulan madu seperti pasangan pada umumnya.”Sebenarnya, tidur di kamar terpisah juga termasuk menguntungkan Lea. Itu artinya tidak ada hal-hal erotis yang akan terjadi pada keduanya, bukan? Lea akan menganggap bulan madu ini sebagai liburan untuk menenangkan diri.“Uhm, kalau begitu bolehkah aku naik ke atas sekarang? Aku ingin beristirahat sebentar,” tanya Lea meminta izin.Noah memasang wajah datar. “Tentu saja. Tidak ada yang melarangmu berist
Kayden menutup pintu kamar lalu menguncinya. Lea yang melihat hal itu lantas melangkah mundur. Wajahnya panik sekaligus waspada saat pria tinggi itu melangkah mendatanginya.“Berhenti! Jangan mendekatiku!” seru Lea dengan suara tegas. Salah satu tangannya terulur ke depan agar Kayden tidak mendekatinya.Namun, Kayden sama sekali tak menggubris peringatan wanita itu, seolah kata-katanya hanya angin lalu. Kakinya yang panjang melangkah dengan mantap, tatapannya tajam memancarkan aura mengintimidasi, membuat Lea semakin melangkah mundur ketakutan.“Aku mohon, pergilah dari sini sekarang.” Lea menempelkan kedua tangannya. “Noah sedang menungguku di bawah. Kamu bisa lihat sendiri penampilanku sekarang, Noah yang memberikan gaun ini dan menyuruh penata rias datang. Kami akan pergi berkencan. Tolong jangan buat masalah.”Kayden mendadak menghentikan langkahnya. Senyum kecil penuh cemooh tersungging di bibirnya. “Noah?” ulangnya dengan nada sinis. “Kamu benar-benar percaya Noah peduli sejauh
Lea menyipitkan mata, mencoba memastikan bahwa sosok di balkon villa seberang memang Noah. Namun, berapa kali pun ia mengucek matanya, pemandangan itu tak berubah. Lea merasa seperti tersedak udara, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Lea memang tak menginginkan pernikahan ini sejak awal. Namun, melihat Noah sedang bercinta dengan wanita lain saat bulan madu mereka, adalah sebuah pukulan yang tidak terduga. Lea merasa sangat kebingungan.“Apa kamu sudah melihatnya?” Suara Kayden terdengar dari arah belakang, memecah keheningan yang sedari tadi membalut Lea.Lea terkesiap dan sontak melangkah mundur dari jendela. Ia berusaha bersikap tenang meski jelas sekali wajahnya tampak kebingungan."Mengapa kamu melakukan ini?” tanya Lea. Mata hazelnya menatap Kayden yang duduk tenang di meja makan.Kayden hanya tersenyum kecil, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Duduklah. Sekarang sudah lewat jam makan siang,” ucapnya seolah tak peduli dengan pertanyaan wanita itu.Lea membuka langk
Lea berhasil meloloskan diri dari villa Noah. Ia berlari dengan napas tersengal dan jantung yang berdebar kencang. Setiap langkahnya terasa berat, seolah tanah yang dipijaknya semakin memeluknya dengan kekuatan yang tak terlihat.Tanpa sadar, kakinya membawanya ke arah villa Kayden. Mungkin karena dia butuh tempat yang terasa aman, meskipun dia tahu itu ironis—villa Kayden bukanlah tempat yang akan memberinya perlindungan. Namun ketika ketakutannya semakin meluap, tanpa berpikir panjang ia mengetuk pintu dengan keras.Pintu terbuka dengan cepat dan sosok Kayden muncul di hadapannya. Ekspresinya menunjukkan keterkejutan. “Apa yang terjadi padamu?” tanyanya.Lea tidak menjawab segera. Napasnya masih terengah-engah. "Noah … dia ... dia memukulku," ucapnya dengan suara yang nyaris tak terdengar, namun penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Kayden terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Dia mengamati Lea dari atas hingga bawah, seolah mencoba memahami lebih
Keesokan paginya, Lea keluar dari kamar dengan kedua mata sembap karena kurang tidur. Sepanjang malam pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Kayden. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar kamar dengan langkah hati-hati.“Kamu mau ke mana?”Suara Kayden yang berat membuat Lea terperanjat. Wanita itu sontak menghentikan langkahnya, kemudian berbalik menatap Kayden yang berdiri di ujung lorong. “Ke mana lagi memangnya? Tentu saja aku harus kembali ke villa Noah,” jawabnya dengan nada yang ia paksakan agar terdengar tegas.Kayden mengangguk pelan, kakinya yang panjang perlahan melangkah mendekati Lea yang berdiri mematung. “Rupanya kamu sudah merindukan suamimu yang kejam itu, ya?” ucapnya dengan nada datar, namun sorot matanya tampak menusuk.Wajah Lea langsung berubah masam. “Aku merindukannya atau tidak, itu bukan urusanmu,” balasnya cepat. “Terima kasih sudah menampungku tadi malam,” tambahnya, lalu berbalik hendak melangkah.Namun baru beberapa kali ia melangkah, Kayden t
Lea terpaku sementara matanya melebar karena kebingungan. Ucapan Noah tadi masih menggantung di pikirannya ketika pria itu tiba-tiba mendorong tubuhnya menjauh. Ada desakan dalam hatinya untuk bertanya—mengapa semua ini perlu dilakukan? Tapi tatapan dingin di mata Noah membuat kata-katanya terhenti di ujung lidah.Noah berbalik tanpa sepatah kata. Lea mengerjap beberapa kali, mencoba memproses apa yang terjadi, namun tubuhnya justru bergerak mengikuti Noah yang berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.Noah membuka pintu pengemudi dan masuk tanpa menoleh. Tak ada isyarat, tak ada permintaan agar Lea juga harus masuk. Tapi entah bagaimana, Lea tahu harus masuk segera. Dengan sedikit ragu Lea membuka pintu penumpang, lalu duduk di sana dengan tubuh yang terasa tegang.‘Dia tidak marah lagi, ‘kan?’ Pertanyaan itu terlintas dalam kepala Lea.Mesin mobil menyala, lalu roda mulai bergulir perlahan meninggalkan halaman villa. Lea melirik ke arah Noah, mencoba membaca pikirannya dari e
“Katakan padanya, kita bisa bicara di rumah. Aku sedang makan malam, dan aku tidak ingin diganggu,” kata Kayden sebelum mengakhiri panggilan sepihak.Lea menghela napas panjang meski kegelisahan masih mengendap di dadanya. Ia menatap Kayden dengan cemas, tidak, sebenarnya wanita itu tampak ingin menangis saking cemasnya.“Dia tidak akan naik ke mari, kan?” tanyanya memastikan.Kayden menatapnya sekilas, lalu kembali menikmati makanannya dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda ketegangan di wajahnya, seakan keberadaan Kaelyn di sini mencarinya sama sekali tidak berarti.“Ada apa? Kamu takut?” tanyanya santai, nada suaranya terdengar samar menggoda. Ia menyumpit sepotong sushi dan memasukkannya ke dalam mulut.Lea mengembuskan napas panjang, wajahnya berubah masam. “Menurutmu?” balasnya sedikit kesal. “Kenapa kamu selalu melontarkan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?”Tentu saja Lea takut. Bahkan, ia sangat ketakutan sekarang.Kayden hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyuap ma
Lea tidak tahu harus mengatakan apa setelah mendengar hal itu. Otaknya mendadak kosong, tak mampu memproses apa pun. Bahkan tubuhnya terasa tertanam di tempat, ia tidak bisa bergerak bahkan sedikit pun.Di depannya, Kayden masih memandanginya dengan tatapan intens dan wajah yang tetap tenang. “Terlalu terkejut untuk merespons?” ucap pria itu dengan suara datar, lalu melangkah lebih dekat hingga jarak di antara mereka terkikis. “Atau kamu mulai memahami sesuatu?”Lea berusaha mengatur napasnya. “Aku hanya tidak mengerti,” gumamnya pelan.Kayden menunduk sedikit. Salah satu tangannya bergerak menyentuh dagu Lea dengan lembut. “Kamu tidak perlu mengerti, Lea Rose. Kamu hanya perlu tahu satu hal,” bisiknya, kemudian merapatkan wajahnya hingga napasnya yang hangat menyapu telinga Lea. “Aku akan membalas siapa pun yang menyakitimu.”Lea menunduk menatap lantai. “Tapi—” Ucapannya terhenti saat Kayden menarik dagunya hingga membuatnya mendongak.“Jangan pernah meragukanku lagi,” kata pria itu
Ruang konferensi utama, Kantor Pusat Easton Industries – Sore Hari.Lampu kamera berkilat tanpa henti, membanjiri ruangan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Puluhan wartawan duduk di barisan kursi. Beberapa sibuk mencatat, sementara yang lain menggenggam ponsel atau kamera, bersiap menangkap setiap gerakan dan kata yang keluar dari mulut Noah Easton.Noah duduk di belakang meja panjang dengan logo Easton Industries terpampang di latar belakang. Di sebelahnya, seorang perwakilan hukum dan kepala humas perusahaan duduk diam menunggu. Namun, semua perhatian tertuju pada Noah yang kini tengah berjuang menekan amarahnya.Mikrofon di depannya menangkap setiap tarikan napasnya yang berat. Kamera yang terfokus padanya memperlihatkan garis tegang di wajahnya, menyorot emosi yang ia coba sembunyikan sejak tadi.Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Noah akhirnya berbicara.“Saya ingin menyampaikan permintaan maaf saya,” suaranya rendah namun jelas. “Atas insiden yang terjadi dan dam
Pagi itu, suasana di lobi terasa lebih ramai dari biasanya. Lea melangkah masuk dan sengaja memperlambat langkahnya saat mendengar bisikan-bisikan di antara para karyawan yang berkumpul di depan lift. Beberapa dari mereka sibuk menatap layar ponsel, sementara yang lain berbisik dengan ekspresi penuh antusiasme.Lea berhenti di belakang kerumunan. Namun saat pintu lift terbuka dan ia melangkah masuk, suara-suara itu terdengar semakin jelas.“Kamu sudah lihat berita tadi malam?” Suara seorang wanita terdengar di belakangnya.“Ya, aku tidak menyangka skandal sebesar itu akan muncul,” sahut yang lain.Lea berusaha mengabaikan percakapan itu, tetapi rasa tidak nyaman mulai merayap di dadanya. Ia tahu pasti apa yang sedang dibicarakan, tidak lain adalah skandal Noah. Beberapa karyawan memilih diam, tetapi yang lain tak segan mengecam dengan kata-kata tajam yang menusuk telinga.Meski tak satu pun dari mereka mengetahui kebenaran di balik status pernikahannya dengan pria itu, Lea tetap meras
Tiga hari setelah insiden di ruang ganti, nama Noah Easton menjadi trending di seluruh media sosial. Bukan karena kontrak barunya dengan brand paling berpengaruh atau prestasi yang ia raih, melainkan sebuah skandal yang menghancurkan citranya dalam semalam.Sebuah video bocor ke publik—rekaman yang menunjukkan Noah dengan jelas meninju asistennya hingga tersungkur. Ekspresi marah, sorot mata liar, dan dentuman keras benda yang dibanting memenuhi latar rekaman itu. Video tersebut diunggah oleh akun anonim, tetapi dengan cepat menyebar bak api yang membakar reputasinya dalam sekejap.#CancelNoahEaston dan #JusticeForAssistant menjadi topik utama di berbagai platform. Wajahnya yang selama ini terpampang di billboard mewah, kini bersanding dengan berita buruk yang menyudutkannya. Media mulai menggali lebih dalam, dan dalam hitungan jam, berbagai artikel bermunculan dengan judul-judul tajam.Sisi Gelap Noah Easton: Arogansi Seorang Model Ternama yang Terungkap.Noah Easton di Ambang Kehanc
Noah duduk di ruang ganti dengan ekspresi gelisah. Ia baru saja menerima kabar yang sama sekali tidak ia duga—stylist pribadinya, Miranda Coen, tidak lagi bekerja untuknya sejak hari ini. Wanita itu adalah sosok yang memastikan setiap penampilannya selalu sempurna di depan kamera. Namun ketika Noah menghubunginya, ia hanya mendapat jawaban singkat bahwa kontraknya dengan Easton Media tidak lagi diperpanjang.“Apa maksudnya tidak diperpanjang?” geram Noah, jarinya yang kurus menggenggam ponselnya lebih erat.“Maaf, Noah. Aku tidak tahu detailnya. Ini kebijakan dari atas,” suara Miranda terdengar menyesal sebelum panggilan berakhir.Noah melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar. Selama ini, hanya Miranda yang bisa memuaskannya dengan penampilannya. Ia mencoba menghubungi manajernya, tetapi sebelum sempat mendapat jawaban, seorang asisten masuk ke ruang ganti dengan raut wajah canggung.“Tuan Noah, ada sesuatu yang perlu Anda lihat.”Noah menatap asisten pribadinya itu dengan tajam seb
Kayden tidak menunggu jawaban. Dalam satu gerakan cepat, lengannya melingkari pinggang Lea dan mengangkat wanita itu dengan mudah ke dalam gendongannya.“Hei—” Lea tersentak kaget dan refleks meraih bahu Kayden. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, menahan suara agar tidak membangunkan orang-orang di lantai bawah.“Tutup mulutmu dan diam,” potong Kayden tegas.Langkah Kayden mantap saat membawa Lea menuju kamarnya. Begitu tiba, ia langsung membaringkan wanita itu di atas ranjangnya dengan gerakan yang tak terduga—lembut dan hati-hati.Lea hendak bangun, tetapi Kayden menekan bahunya dengan pelan, membuatnya tetap terbaring di ranjang.“Malam ini, tidur di sini,” ucapnya singkat.Lea membuka mulut, ingin membantah, tetapi Kayden lebih dulu melanjutkan, “Lagi pula, Noah tidak pernah tidur bersamamu.”Lea mengepalkan selimut di sampingnya, tetapi tidak mengatakan apa pun. Kata-kata Kayden sebelumnya sudah cukup membungkamnya.Sejak awal pernikahan, kamar mereka hanya sekadar formali
Jantung Lea mencelos sesaat setelah mendengar kalimat itu. Jadi, semua ini tentang Sophia? Noah rela menyakitinya sejauh ini hanya demi kekasih gelapnya itu.Demi Tuhan! Lea merasa sangat marah, tapi ia tak tahu kepada siapa ia seharusnya marah. Pada Noah yang menyakitinya, atau pada dirinya sendiri yang selalu merasa tak berdaya?Lea ingin melawan. Namun keinginan itu hanya berakhir sebagai angan-angan kosong. Meski semangat untuk melawan sempat menyala, rasa takut akan ancaman yang terus menghantui membuatnya kehilangan keberanian.“Berhenti menangis! Sekarang, cepat obati tanganmu sebelum suamiku melihatnya!” ucap Kaelyn tanpa sedikit pun rasa simpati.Setelah mengatakan kalimat itu dengan nada dingin, Kaelyn segera beranjak. “Sial! Selera makanku jadi hilang karena ini,” gumamnya, suaranya masih terdengar jelas meski langkahnya sudah mulai menjauh dari ruang makan.Setelah Kaelyn benar-benar pergi, seorang pelayan segera menghampiri Lea dan membantunya berdiri.“Terima kasih,” uca
Setelah kejadian itu, Sophia langsung merasa bahwa ia perlu bertindak. Ia mengeluarkan ponselnya dengan tak sabar dan mengetik pesan cepat kepada Noah. Sophia meminta pria itu untuk segera bertemu, dan mereka sepakat untuk bertemu di apartemennya tiga puluh menit lagi.Saat Sophia tiba, Noah sudah menunggunya di ruang tamu. Ekspresinya suram, penuh dengan ketegangan yang tak biasa. Matanya tajam dan ada kilatan amarah di sana—bukan hanya kemarahan biasa, tetapi kemarahan yang jelas sedang ia tahan dengan susah payah.Begitu duduk di sofa, Sophia segera memasang ekspresi terguncang, seolah ia benar-benar teraniaya.“Aku tidak tahu harus mulai dari mana,” katanya dengan suara bergetar. “Lea ... dia benar-benar sudah gila! Dia menamparku, Sayang! Dia mempermalukanku di depan banyak orang!”Noah yang awalnya tampak sibuk dengan pikirannya sendiri langsung mengangkat wajah, menatap Sophia dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu? Lea menamparmu?”Nada ketidakpercayaan dalam suaranya begitu jela