Naya berjalan di koridor, dia mendatangi Ghiyas ke rumah sakit tempat Ghiyas bekerja. Dengan membawakan makanan sebagai bahan untuk memperbaiki hubungannya dengan Ghiyas. Dia sadar betul telah melakukan kesalahan, namun seolah tak menyesalinya sama sekali.
Berpapasan dengan beberapa dokter dan perawat lainnya, mereka sempat terkejut melihat Naya di sana. Membuat Naya mengerti jika mereka pasti rekannya Ghiyas. Naya lantas membungkuk memberikan sapa dan tersenyum ramah.
“Naya, ya? Ke sini pasti nyari Ghiyas? Dia memang gitu, gampang ngambek. Maklumin, ya!” Rekan Ghiyas tersebut menggodanya.
Naya hanya tersenyum membalasnya. Dan rekannya tersebut membantu Naya untuk bertemu dengan Ghiyas yang sedang bersiap untuk pulang di sebuah ruangan. Naya memasuki ruangan tersebut dan mendapati Ghiyas yang sedang menggunakan jasnya.
“Kamu lama,” ucap Ghiyas dengan agak dingin menyambut istrinya tersebut.
Naya menarik bibirnya canggung. Di ruangan itu terdapat sofa dan terlihat beberapa rekan Ghiyas yang lainnya yang menatap ke arah Naya. Naya tersenyum canggung menyapa mereka.
“Kan, tadi beli ini dulu.” Naya menghampiri Ghiyas dan menyodorkannya.
“Wah, parah Ghiyas! Biasanya perempuan yang ngambek, terus didatengin cowoknya sambil bawa makanan manis. Ini kebalikannya.” Rekan-rekannya langsung bersorak menggoda Ghiyas di sana.
Ghiyas menatapi mata Naya yang kelihatannya lelah. Dia tidak tahu Naya tidak tidur setelah acara dan bahkan pagi-pagi buta langsung menuju ke kantornya untuk urusannya.
Ghiyas jadi tak tega padanya. Akhirnya, Ghiyas meminta Naya duduk bergabung bersama dengan teman-temannya dan Naya membagikan makanan yang dibawanya. Dia tahu, Ghiyas pasti sedang bersama rekannya, yang membuatnya membeli cukup banyak makanan di sana.
Mereka mengobrol bersama di sana. Dan Naya tampak sempat tak nyaman. Naya melihat ke bawah, ke kakinya. Di mana Naya ingin rasanya melepaskan sepatu hak tingginya itu. Dan Naya sempat melepaskannya sedikit, untuk melihat kakinya lecet atau tidak. Dan sayangnya iya.
Ghiyas memperhatikan Naya. Melihat kakinya yang lecet, itu membuat Ghiyas menghela nafasnya.
Setelah beberapa saat, Ghiyas dan Naya akan pulang. Sebelum pulang, Ghiyas membawa Naya menuju ke lokernya. Dan Naya hanya mengikuti Ghiyas, dia mengekor di belakangnya.
“Tadi ke sini pakai apa?” tanya Ghiyas.
“Taksi online,” jawab Naya.
“Kamu enggak bisa pakai motor atau mobil?” tanya Ghiyas lagi.
“Mobil bisa. Cuman, karena dari hotel enggak bawa mobil, jadinya enggak pakai mobil.”
Ghiyas mengeluarkan sebuah sandal yang tampak santai dan nyaman. Kemudian menaruhnya di depan kakinya Naya. Hal tersebut membuat Naya mendongkrak menatap suaminya yang tinggi.
“Pakai! Kakimu bukannya lecet?” Ghiyas tampak masih kesal, namun dia cukup perhatian.
Itu membuat Naya menyengir lugu karena Ghiyas peka terhadapnya. Naya lantas melepaskan sepatu hak tingginya dan menggunakan sandal itu. Kakinya sungguh terasa lega sekarang.
“Makasih,” gumam Naya pelan sambil tersenyum malu-malu.
Ghiyas hanya balik tersenyum.
Mereka pulang bersama. Berjalan di koridor sambil berpegangan tangan dan membuat perhatian beberapa orang teralihkan. Ghiyas membawa Naya ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya.
Di perjalanan pulang, Ghiyas melirik Naya yang belum membicarakan apa-apa tentang hari ini.
“Tadi siang orang tua kamu menanyakan tentang kabar kamu,” ucap Ghiyas mengawali.
“Mas bilang apa sama mereka?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas dengan perasaan waswas.
“Mas bilang kamu kabur dari hotel,” jawab Ghiyas dengan enteng.
“Mas bilang gitu? Terus mereka bilang apa?” Naya tampak panik sendiri.
“Enggak mungkin Mas bilang gitu. Mas bilang kamu sama Mas lagi jalan-jalan dan kamu lagi di toilet. Kenapa kamu kabur dari hotel? Kenapa kamu ninggalin Mas kayak gitu?” tanya Ghiyas kesal.
Naya menghela nafasnya. Setidaknya orang tuanya tidak tahu tentang ini.
“Ada urusan mendadak di kantor,” jawab Naya seadanya.
“Urusan mendadak apa, sih? Kamu enggak resign aja? Kamu udah nikah, kamu tanggungan Mas mulai sekarang. Mas bakal kasih kamu uang tiap bulannya.”
“Mana bisa resign gitu aja, Naya harus cari dulu pengganti Naya nantinya.”
“Terus? Kamu mau tetap kerja padahal kita udah nikah?”
“Apa salahnya?”
“Yang kamu lakukan hari ini, itu salah. Dari semalam, malah. Kamu malah bekerja di saat seharusnya waktu kamu itu buat Mas. Mas paling enggak suka sama pelanggaran hak kayak gitu,” omel Ghiyas.
“Itu enggak akan terjadi lagi, Naya janji.” Naya langsung mengangkat tangannya sebagai simbol janji.
Ghiyas melirik Naya dan kemudian mendengus.
“Nay, kamu kerja di perusahaan swasta, kan? Mereka sebenarnya memberi kamu cuti nikah enggak, sih? Ada yang aneh sama perusahaan tempat kamu kerja. Masa iya, dikasih cuti tapi masih diandalkan kalau di perusahaan kenapa-napa.” Ghiyas masih memprotes.
“Dikasih, kok. Kan, udah dibilangin kalau itu darurat, cuman darurat aja.” Naya masih kekeh.
Ghiyas akhirnya hanya menghela nafasnya. Toh, sudah berlalu juga. Dan Naya juga mau menebus kesalahannya, itu cukup baginya. Walau tetap saja rasanya ada yang mengganjal sekarang.
“Mas jangan gampang ngambek, dong. Nanti Mas makin kelihatan tuanya,” ledek Naya dengan suara pelan, seolah dia hati-hati dengan ucapannya.
Dan Ghiyas lantas terkekeh. Benar adanya, dirinya berbeda tujuh tahun dengan Naya.
“Tiga puluh tahun enggak setua itu, kok.” Ghiyas melirik Naya dengan sok sinis.
“Memang, sih. Buktinya Mas sekarang masih ganteng,” puji Naya sambil tersenyum centil.
Naya melakukannya bukan tanpa tujuan, tapi agar dirinya bisa membiasakan diri bersama dengan Ghiyas. Perbedaan usia pasti akan menimbulkan banyak perbedaan pemikiran di antara mereka.
***
Tiba di apartemen Ghiyas, Naya langsung mandi lebih dulu. Karena dia mengaku tak mandi pagi ini. Dan Ghiyas mandi setelahnya. Karena di apartemen Ghiyas hanya ada satu kamar dengan satu kamar mandi. Mereka akan berbagi tempat tidur tentunya.
Dan Ghiyas terpikir tentang sesuatu yang harus dia bicarakan dengan Naya.
“Nay, seperti yang kamu bilang tadi di mobil. Mas udah tua. Mas mau punya bayi,” ucap Ghiyas sambil mendekati Naya yang tengah anteng duduk di atas kasur.
Naya langsung menatap ke arah Ghiyas dengan matanya yang melebar. Terlihat keterkejutan di dalam dirinya. Dan itu membuat Naya jadi salah tingkah.
“Kemarin kamu sempat menawarkan diri duluan. Enggak mau menawarkan diri lagi?” tanya Ghiyas menggodanya tentang yang terjadi kemarin.
Ghiyas duduk di sisinya, bicara menghadap Naya yang sekarang menegang dan membuatnya gugup.
“Apa enggak terlalu terburu-buru kalau soal bayi? Kita baru menikah. Kita belum menikmati masa-masa baru menikah kita, loh,” ucap Naya.
“Kamu mau menikmati masa-masa baru menikah kita kayak gimana emang? Holiday?”
Naya lantas menganggukkan kepalanya dengan ragu. “Boleh, tuh.”
“Kalau kamu positif, Mas bawa kamu ke mana pun kamu mau. Gimana?” Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya.
Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya dan kemudian mengecup sisi bibirnya Naya. Hal tersebut membuat bulu kuduk Naya meremang. Mereka melewati malam pertama mereka di hotel, yang tentunya membuat Ghiyas kecewa karena di hotel dirinya hanya bisa tidur.Sekarang, di apartemen Ghiyas, hanya ada mereka berdua. Dirinya dengan pengantin wanitanya yang cantik. Apa yang akan dilakukan Ghiyas setelah meminta anak dari istrinya, tentu membuatnya.Naya tak menolak Ghiyas. Lantaran dirinya tak ingin Ghiyas semakin mencium bau bangkai dalam dirinya. Yang mana Naya tengah berusaha menyembunyikan pernikahannya. Di mana dirinya juga telah melanggar kontrak kerjanya berupa tidak menikah hingga waktu yang ditentukan.***Pagi itu, Ghiyas terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan melirik ke arah samping. Di mana kali ini, di hari kedua setelah pernikahan mereka, Naya ada di sisinya. Ghiyas tersenyum melihat bahu polos Naya dan Naya yang tidur masih dalam keadaan sangat nyenyak.Pria yang bertelanjan
Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi
“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas
“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel
Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki