Naya berjalan di koridor, dia mendatangi Ghiyas ke rumah sakit tempat Ghiyas bekerja. Dengan membawakan makanan sebagai bahan untuk memperbaiki hubungannya dengan Ghiyas. Dia sadar betul telah melakukan kesalahan, namun seolah tak menyesalinya sama sekali.
Berpapasan dengan beberapa dokter dan perawat lainnya, mereka sempat terkejut melihat Naya di sana. Membuat Naya mengerti jika mereka pasti rekannya Ghiyas. Naya lantas membungkuk memberikan sapa dan tersenyum ramah.
“Naya, ya? Ke sini pasti nyari Ghiyas? Dia memang gitu, gampang ngambek. Maklumin, ya!” Rekan Ghiyas tersebut menggodanya.
Naya hanya tersenyum membalasnya. Dan rekannya tersebut membantu Naya untuk bertemu dengan Ghiyas yang sedang bersiap untuk pulang di sebuah ruangan. Naya memasuki ruangan tersebut dan mendapati Ghiyas yang sedang menggunakan jasnya.
“Kamu lama,” ucap Ghiyas dengan agak dingin menyambut istrinya tersebut.
Naya menarik bibirnya canggung. Di ruangan itu terdapat sofa dan terlihat beberapa rekan Ghiyas yang lainnya yang menatap ke arah Naya. Naya tersenyum canggung menyapa mereka.
“Kan, tadi beli ini dulu.” Naya menghampiri Ghiyas dan menyodorkannya.
“Wah, parah Ghiyas! Biasanya perempuan yang ngambek, terus didatengin cowoknya sambil bawa makanan manis. Ini kebalikannya.” Rekan-rekannya langsung bersorak menggoda Ghiyas di sana.
Ghiyas menatapi mata Naya yang kelihatannya lelah. Dia tidak tahu Naya tidak tidur setelah acara dan bahkan pagi-pagi buta langsung menuju ke kantornya untuk urusannya.
Ghiyas jadi tak tega padanya. Akhirnya, Ghiyas meminta Naya duduk bergabung bersama dengan teman-temannya dan Naya membagikan makanan yang dibawanya. Dia tahu, Ghiyas pasti sedang bersama rekannya, yang membuatnya membeli cukup banyak makanan di sana.
Mereka mengobrol bersama di sana. Dan Naya tampak sempat tak nyaman. Naya melihat ke bawah, ke kakinya. Di mana Naya ingin rasanya melepaskan sepatu hak tingginya itu. Dan Naya sempat melepaskannya sedikit, untuk melihat kakinya lecet atau tidak. Dan sayangnya iya.
Ghiyas memperhatikan Naya. Melihat kakinya yang lecet, itu membuat Ghiyas menghela nafasnya.
Setelah beberapa saat, Ghiyas dan Naya akan pulang. Sebelum pulang, Ghiyas membawa Naya menuju ke lokernya. Dan Naya hanya mengikuti Ghiyas, dia mengekor di belakangnya.
“Tadi ke sini pakai apa?” tanya Ghiyas.
“Taksi online,” jawab Naya.
“Kamu enggak bisa pakai motor atau mobil?” tanya Ghiyas lagi.
“Mobil bisa. Cuman, karena dari hotel enggak bawa mobil, jadinya enggak pakai mobil.”
Ghiyas mengeluarkan sebuah sandal yang tampak santai dan nyaman. Kemudian menaruhnya di depan kakinya Naya. Hal tersebut membuat Naya mendongkrak menatap suaminya yang tinggi.
“Pakai! Kakimu bukannya lecet?” Ghiyas tampak masih kesal, namun dia cukup perhatian.
Itu membuat Naya menyengir lugu karena Ghiyas peka terhadapnya. Naya lantas melepaskan sepatu hak tingginya dan menggunakan sandal itu. Kakinya sungguh terasa lega sekarang.
“Makasih,” gumam Naya pelan sambil tersenyum malu-malu.
Ghiyas hanya balik tersenyum.
Mereka pulang bersama. Berjalan di koridor sambil berpegangan tangan dan membuat perhatian beberapa orang teralihkan. Ghiyas membawa Naya ke tempat parkir untuk mengambil mobilnya.
Di perjalanan pulang, Ghiyas melirik Naya yang belum membicarakan apa-apa tentang hari ini.
“Tadi siang orang tua kamu menanyakan tentang kabar kamu,” ucap Ghiyas mengawali.
“Mas bilang apa sama mereka?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas dengan perasaan waswas.
“Mas bilang kamu kabur dari hotel,” jawab Ghiyas dengan enteng.
“Mas bilang gitu? Terus mereka bilang apa?” Naya tampak panik sendiri.
“Enggak mungkin Mas bilang gitu. Mas bilang kamu sama Mas lagi jalan-jalan dan kamu lagi di toilet. Kenapa kamu kabur dari hotel? Kenapa kamu ninggalin Mas kayak gitu?” tanya Ghiyas kesal.
Naya menghela nafasnya. Setidaknya orang tuanya tidak tahu tentang ini.
“Ada urusan mendadak di kantor,” jawab Naya seadanya.
“Urusan mendadak apa, sih? Kamu enggak resign aja? Kamu udah nikah, kamu tanggungan Mas mulai sekarang. Mas bakal kasih kamu uang tiap bulannya.”
“Mana bisa resign gitu aja, Naya harus cari dulu pengganti Naya nantinya.”
“Terus? Kamu mau tetap kerja padahal kita udah nikah?”
“Apa salahnya?”
“Yang kamu lakukan hari ini, itu salah. Dari semalam, malah. Kamu malah bekerja di saat seharusnya waktu kamu itu buat Mas. Mas paling enggak suka sama pelanggaran hak kayak gitu,” omel Ghiyas.
“Itu enggak akan terjadi lagi, Naya janji.” Naya langsung mengangkat tangannya sebagai simbol janji.
Ghiyas melirik Naya dan kemudian mendengus.
“Nay, kamu kerja di perusahaan swasta, kan? Mereka sebenarnya memberi kamu cuti nikah enggak, sih? Ada yang aneh sama perusahaan tempat kamu kerja. Masa iya, dikasih cuti tapi masih diandalkan kalau di perusahaan kenapa-napa.” Ghiyas masih memprotes.
“Dikasih, kok. Kan, udah dibilangin kalau itu darurat, cuman darurat aja.” Naya masih kekeh.
Ghiyas akhirnya hanya menghela nafasnya. Toh, sudah berlalu juga. Dan Naya juga mau menebus kesalahannya, itu cukup baginya. Walau tetap saja rasanya ada yang mengganjal sekarang.
“Mas jangan gampang ngambek, dong. Nanti Mas makin kelihatan tuanya,” ledek Naya dengan suara pelan, seolah dia hati-hati dengan ucapannya.
Dan Ghiyas lantas terkekeh. Benar adanya, dirinya berbeda tujuh tahun dengan Naya.
“Tiga puluh tahun enggak setua itu, kok.” Ghiyas melirik Naya dengan sok sinis.
“Memang, sih. Buktinya Mas sekarang masih ganteng,” puji Naya sambil tersenyum centil.
Naya melakukannya bukan tanpa tujuan, tapi agar dirinya bisa membiasakan diri bersama dengan Ghiyas. Perbedaan usia pasti akan menimbulkan banyak perbedaan pemikiran di antara mereka.
***
Tiba di apartemen Ghiyas, Naya langsung mandi lebih dulu. Karena dia mengaku tak mandi pagi ini. Dan Ghiyas mandi setelahnya. Karena di apartemen Ghiyas hanya ada satu kamar dengan satu kamar mandi. Mereka akan berbagi tempat tidur tentunya.
Dan Ghiyas terpikir tentang sesuatu yang harus dia bicarakan dengan Naya.
“Nay, seperti yang kamu bilang tadi di mobil. Mas udah tua. Mas mau punya bayi,” ucap Ghiyas sambil mendekati Naya yang tengah anteng duduk di atas kasur.
Naya langsung menatap ke arah Ghiyas dengan matanya yang melebar. Terlihat keterkejutan di dalam dirinya. Dan itu membuat Naya jadi salah tingkah.
“Kemarin kamu sempat menawarkan diri duluan. Enggak mau menawarkan diri lagi?” tanya Ghiyas menggodanya tentang yang terjadi kemarin.
Ghiyas duduk di sisinya, bicara menghadap Naya yang sekarang menegang dan membuatnya gugup.
“Apa enggak terlalu terburu-buru kalau soal bayi? Kita baru menikah. Kita belum menikmati masa-masa baru menikah kita, loh,” ucap Naya.
“Kamu mau menikmati masa-masa baru menikah kita kayak gimana emang? Holiday?”
Naya lantas menganggukkan kepalanya dengan ragu. “Boleh, tuh.”
“Kalau kamu positif, Mas bawa kamu ke mana pun kamu mau. Gimana?” Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya.
Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya dan kemudian mengecup sisi bibirnya Naya. Hal tersebut membuat bulu kuduk Naya meremang. Mereka melewati malam pertama mereka di hotel, yang tentunya membuat Ghiyas kecewa karena di hotel dirinya hanya bisa tidur.Sekarang, di apartemen Ghiyas, hanya ada mereka berdua. Dirinya dengan pengantin wanitanya yang cantik. Apa yang akan dilakukan Ghiyas setelah meminta anak dari istrinya, tentu membuatnya.Naya tak menolak Ghiyas. Lantaran dirinya tak ingin Ghiyas semakin mencium bau bangkai dalam dirinya. Yang mana Naya tengah berusaha menyembunyikan pernikahannya. Di mana dirinya juga telah melanggar kontrak kerjanya berupa tidak menikah hingga waktu yang ditentukan.***Pagi itu, Ghiyas terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan melirik ke arah samping. Di mana kali ini, di hari kedua setelah pernikahan mereka, Naya ada di sisinya. Ghiyas tersenyum melihat bahu polos Naya dan Naya yang tidur masih dalam keadaan sangat nyenyak.Pria yang bertelanjan
Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi
“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas
“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel
Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang