Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya dan kemudian mengecup sisi bibirnya Naya. Hal tersebut membuat bulu kuduk Naya meremang. Mereka melewati malam pertama mereka di hotel, yang tentunya membuat Ghiyas kecewa karena di hotel dirinya hanya bisa tidur.
Sekarang, di apartemen Ghiyas, hanya ada mereka berdua. Dirinya dengan pengantin wanitanya yang cantik. Apa yang akan dilakukan Ghiyas setelah meminta anak dari istrinya, tentu membuatnya.
Naya tak menolak Ghiyas. Lantaran dirinya tak ingin Ghiyas semakin mencium bau bangkai dalam dirinya. Yang mana Naya tengah berusaha menyembunyikan pernikahannya. Di mana dirinya juga telah melanggar kontrak kerjanya berupa tidak menikah hingga waktu yang ditentukan.
***
Pagi itu, Ghiyas terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan melirik ke arah samping. Di mana kali ini, di hari kedua setelah pernikahan mereka, Naya ada di sisinya. Ghiyas tersenyum melihat bahu polos Naya dan Naya yang tidur masih dalam keadaan sangat nyenyak.
Pria yang bertelanjang dada itu mendekati istrinya lagi. Wanita yang tidur dengan sangat nyenyak di sisinya itu berhasil membuat tidurnya semalam jauh lebih indah dari malam-malam sebelumnya.
Rasa bahagia bergejolak di dalam perutnya. Membuat sensasi yang tak akan pernah dia lupakan. Dan orang yang bisa melakukan itu padanya sekarang kelelahan hingga teler di atas bantalnya.
“Nay, bangun!” bisik Ghiyas sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Naya.
Ghiyas langsung mengecup pipinya Naya. Kemudian menekan hidungnya ke pipinya Naya dan menggosoknya, untuk membangunkan pengantin wanitanya yang masih tertidur nyenyak.
Naya mengeluh kecil dan bergerak memperbaiki posisinya, lantaran Ghiyas mengganggunya. Dia menjauhi Ghiyas dan kesadarannya kembali hilang. Dia masih ingin tidur lebih lama.
“Nay, bangun!” Ghiyas terkekeh saat Naya malah menjauh untuk mendapatkan waktu tidurnya.
Ghiyas lantas bergerak mendekati Naya. Dan tangannya memeluk pinggang Naya dengan mesra.
Naya mengeluh lagi karena merasa terganggu. Hingga keningnya mengernyit dengan matanya yang perlahan terbuka. Naya melirik ke arah Ghiyas yang sekarang tersenyum menyambutnya bangun.
“Bangun, Sayang!”
Gadis itu mulai mendapatkan kesadarannya. Naya memandang Ghiyas yang mendudukkan dirinya dan memperlihatkan tubuhnya yang indah. Naya mengerjapkan matanya mendapatkan suguhan itu di pagi hari. Hingga Naya bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang.
Tangannya meraba selimut yang menutupi tubuhnya. Dan kemudian tangannya terangkat untuk memberikan celah pada selimutnya, hingga Naya bisa melihat tubuhnya di balik selimut.
“Mandi, yuk!” ajak Ghiyas sambil tersenyum manis melihat Naya yang gelagapan di sana.
“Duluan aja!” balas Naya pelan seraya memalingkan wajahnya.
“Mas ajak kamu mandi, ayo mandi!” Ghiyas lantas mendekat dan memegangi tangannya Naya.
“Hah? Mandi bareng?” Naya melebarkan matanya dan menatap Ghiyas heran.
***
Naya berjalan sambil memegangi pinggangnya. Sungguh, tubuhnya rasanya remuk. Terbayang olehnya, bagaimana jika Ghiyas kemarin menyerangnya. Dan mungkin dia tak akan masuk kerja kemarin, dia tak akan memaksakan dirinya untuk ke kantor.
Karena hari ini, Naya bahkan rasanya tak ingin beranjak dari tempat tidur. Untuk berjalan, diperlukan langkah yang besar baginya. Sementara pelakunya bisa bergerak bebas dengan bahagia.
“Mas bikin nasi goreng. Ayo sarapan!” Di pintu kamar, Ghiyas muncul dan mengajaknya makan.
“Nanti,” jawab Naya seraya berjalan perlahan kembali ke kasurnya.
“Kok nanti? Apa enggak lapar setelah perang semalam? Kenapa? Sakit? Masih perih?”
Ghiyas menghampirinya dan kemudian memegangi tangannya Naya, untuk membantunya. Naya tak menjawab, lantaran dirinya tak bisa menjelaskan apa yang dia rasakan pada Ghiyas.
“Mau sarapan di kamar aja?” Ghiyas tersenyum menatapi istrinya yang jadi lebih pendiam.
Akhirnya, Ghiyas membawakan sarapannya ke kamar. Dia membuatkan Naya nasi goreng pagi itu. Dan istrinya untuk pertama kalinya memakan masakan Ghiyas. Naya sendiri menikmati makanannya. Ternyata Ghiyas memang terampil dengan tangannya, baik di kamar bedah maupun di dapur.
“Gimana?” tanya Ghiyas.
“Ini enak. Mas jago masak ternyata,” puji Naya sambil tersenyum.
“Biasa aja, kok. Karena tuntutan kehidupan aja, harus bisa masak. Kamu puas sama sarapan kamu?”
Naya menganggukkan kepalanya setelah mengambil suapan terakhir dan mengambil air minumnya.
“Kalau gitu, Mas udah bisa memberikan kepuasan sama kamu. Giliran kamu,” lanjut Ghiyas.
“Brush!” Naya yang belum sempat meneguk air putihnya langsung menyemburkannya.
Naya tersedak dan kemudian terbatuk mendengar ucapan Ghiyas. Dia kemudian menatapi Ghiyas dengan tajam. Tak berselang lama, Naya mendengus pasrah seraya memegangi keningnya.
***
“Mas ada shift sore. Mas pulang nanti malam jam 23.00. Kamu enggak apa-apa sendirian di apartemen?” Ghiyas baru selesai mandi lagi dan tampak tengah bersiap untuk bekerja.
“Iya,” jawab Naya seraya memegangi keningnya, dia masih berada di dalam selimutnya.
“Yang, kamu marah? Karena Mas minta lagi?” Ghiyas mendekati Naya dan duduk di sisi kasur.
“Ah, enggak. Siapa yang marah? Udah tugas istri,” jawab Naya dengan agak gelagapan.
Sebenarnya, dia hanya masih kaget. Belum lagi, dia terus memikirkan tentang kehamilan. Bagaimana jika dirinya hamil cepat, dan itu yang membuat Naya jadi lebih pendiam dari biasanya.
“Tapi kamu kayak yang marah.” Ghiyas tetap duduk di sisi kasur dan memandangi Naya.
“Enggak, kok. Udah, sana kalau mau pergi kerja. Hati-hati di jalan!” ucap Naya sambil menutupi setengah wajahnya dengan selimutnya, dia menatap Ghiyas dengan wajahnya yang merona.
Ghiyas tersenyum memperhatikan Naya. Kemudian Ghiyas mendekat, memberikan kecupan di kening Naya, yang mana membuat Naya memejamkan matanya beberapa saat. Agak geli dan tak nyaman saat kumis tipis Ghiyas menusuk kulit keningnya.
“Mas berangkat, ya? Jaga diri di sini,” ucap Ghiyas sambil mengecup kening Naya lagi.
“Okay,” jawab Naya sambil menganggukkan kepalanya.
“Ah, apa mending cuti aja, ya?” gumam Ghiyas seolah dirinya sedang tak ingin bekerja.
“Kerja aja! Jangan cuti-cuti! Nanti cepat dipecat,” balas Naya.
“Iya, ya. Kasihan nanti bayi kita makan apa kalau Mas enggak kerja.” Ghiyas terkekeh dan menatapi Naya yang masih terus menutupi setengah wajahnya.
Ghiyas akhirnya berangkat bekerja. Dan itu membuat Naya langsung menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya lagi.
Setelah mandi, Naya buru-buru membuka handphonenya dan membuat pesanan di sebuah aplikasi. Dia memesan obat pencegah kehamilan, lantaran dirinya tak ingin kehilangan pekerjaannya dulu.
Tak lama kemudian, seseorang datang mengantarkan pesanannya. Dan Naya mengambilnya segera. Setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, Naya membayarnya untuk itu.
Gadis itu segera meminum obat pencegah kehamilan itu. Tanpa memikirkan sosok suaminya yang sudah mendambakan buah hati. Setelah itu, Naya kembali ke kasurnya. Dan memejamkan matanya lagi, lantaran takut jika nanti malam setelah Ghiyas pulang, Ghiyas tak akan membiarkannya tidur lagi.
Handphonenya kemudian berdering tanda pesan masuk. Naya melihatnya, itu dari Ghiyas.
[Mas udah pesankan makanan. Selamat makan, Sayangku!]
Naya tersenyum membacanya.
Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi
“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas
“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel
Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki
Ghiyas baru pulang malam itu. Matanya langsung menemukan Naya yang tertidur di sofa. Dengan televisi yang menyala dan tengah memutar acara favorit Naya, apa lagi kalau bukan drama Korea. Ghiyas tersenyum kecil dan melirik ke arah meja makan.Dia menghampiri meja. Kelihatannya Naya mengingatnya, dia menyiapkan makan malam untuknya. Walau Naya sama sekali tidak menghubunginya, bertanya pulang jam berapa. Naya masih perhatian, itu yang membuat Ghiyas tersenyum semakin hangat.Tak langsung makan, Ghiyas memindahkan Naya dulu ke kamar. Dan Naya sama sekali tak terganggu saat dipindahkan. Naya jika tidur memang agak sulit dibangunkan, apa lagi jika baru terlelap.Begitu menaruh tubuh istrinya itu di ranjang, Ghiyas memandangnya dengan lekat. Dia mengusap pelan pipi Naya. Perasaannya pada Naya memang nyata. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya apa Naya mencintainya sama dengan dirinya atau tidak.***Naya membuka matanya sambil menggosoknya. Dia merentangkan