Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.
Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.
“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.
Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.
Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
“Mama enggak lihat teman-teman kantor kamu. Kamu enggak mengundang teman-teman kantor kamu? Apa bos kamu juga enggak datang hari ini?” Naya, pengantin wanita yang baru saja menikah di hari itu tampak masih mengenakan gaunnya di malam hari. Para tamu masih berdatangan, dan yang datang di malam hari adalah teman-teman suaminya. Yang membuatnya harus tetap menggunakan gaun resepsinya. “Mereka datang, kok. Tadi siang, mereka semua datang. Bos enggak datang hari ini, karena katanya lagi sibuk,” jawabnya kepada sosok ibunya yang masih memperhatikan riasan putrinya itu. Naya menghela nafasnya berat, dia terlihat waswas selama di sana. Seolah dirinya merasa tengah diawasi. Dia tampak tegang dan sama sekali tak menikmati acara yang berlangsung hingga malam. Sosok suaminya mendekatinya, tersenyum manis memperhatikan pengantin wanitanya yang mulai menguap karena kantuk. Bahkan dia terkekeh meledeknya karena mengantuk. “Ngantuk, ya?” tanya Ghiyas, sosok suaminya yang kini menatapnya dengan ta
Ghiyas masih memejamkan matanya pagi itu. Tangannya meraba-raba kasur kosong di sebelahnya. Ingin rasanya memeluk sosok istrinya pagi itu. Yang membuatnya mengangkat kepalanya kala tidak menemukan Naya di kasurnya. Dan begitu matanya terbuka sedikit, Ghiyas tak menemukan Naya.Pria itu langsung menggeliat dan mendudukkan dirinya. Kamarnya kosong, yang membuatnya langsung mendekati kamar mandi. Ghiyas mengetuknya dengan sopan dan halus.“Nay?” Ghiyas tak mendengar suara air sama sekali dari dalam sana.Akhirnya, Ghiyas membuka pintu kamar mandinya yang tak dikunci. Dan benar saja, Naya tak ada di sana. Yang membuatnya mengernyitkan dahinya cukup dalam karena itu.“Naya!” Ghiyas memanggilnya dengan lebih kencang barang kali Naya tak mendengarnya.Namun, Naya tak ada di sana. Dia sudah meninggalkan hotel lebih dulu dan hal tersebut membuat Ghiyas kebingungan sekaligus kesal. Sebenarnya ada apa dengan Naya, apa dia berusaha untuk menghindarinya atau sedang terjadi sesuatu atas dirinya.Gh
Naya berjalan di koridor, dia mendatangi Ghiyas ke rumah sakit tempat Ghiyas bekerja. Dengan membawakan makanan sebagai bahan untuk memperbaiki hubungannya dengan Ghiyas. Dia sadar betul telah melakukan kesalahan, namun seolah tak menyesalinya sama sekali.Berpapasan dengan beberapa dokter dan perawat lainnya, mereka sempat terkejut melihat Naya di sana. Membuat Naya mengerti jika mereka pasti rekannya Ghiyas. Naya lantas membungkuk memberikan sapa dan tersenyum ramah.“Naya, ya? Ke sini pasti nyari Ghiyas? Dia memang gitu, gampang ngambek. Maklumin, ya!” Rekan Ghiyas tersebut menggodanya.Naya hanya tersenyum membalasnya. Dan rekannya tersebut membantu Naya untuk bertemu dengan Ghiyas yang sedang bersiap untuk pulang di sebuah ruangan. Naya memasuki ruangan tersebut dan mendapati Ghiyas yang sedang menggunakan jasnya.“Kamu lama,” ucap Ghiyas dengan agak dingin menyambut istrinya tersebut.Naya menarik bibirnya canggung. Di ruangan itu terdapat sofa dan terlihat beberapa rekan Ghiyas
Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya dan kemudian mengecup sisi bibirnya Naya. Hal tersebut membuat bulu kuduk Naya meremang. Mereka melewati malam pertama mereka di hotel, yang tentunya membuat Ghiyas kecewa karena di hotel dirinya hanya bisa tidur.Sekarang, di apartemen Ghiyas, hanya ada mereka berdua. Dirinya dengan pengantin wanitanya yang cantik. Apa yang akan dilakukan Ghiyas setelah meminta anak dari istrinya, tentu membuatnya.Naya tak menolak Ghiyas. Lantaran dirinya tak ingin Ghiyas semakin mencium bau bangkai dalam dirinya. Yang mana Naya tengah berusaha menyembunyikan pernikahannya. Di mana dirinya juga telah melanggar kontrak kerjanya berupa tidak menikah hingga waktu yang ditentukan.***Pagi itu, Ghiyas terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan melirik ke arah samping. Di mana kali ini, di hari kedua setelah pernikahan mereka, Naya ada di sisinya. Ghiyas tersenyum melihat bahu polos Naya dan Naya yang tidur masih dalam keadaan sangat nyenyak.Pria yang bertelanjan
Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi