Ghiyas masih memejamkan matanya pagi itu. Tangannya meraba-raba kasur kosong di sebelahnya. Ingin rasanya memeluk sosok istrinya pagi itu. Yang membuatnya mengangkat kepalanya kala tidak menemukan Naya di kasurnya. Dan begitu matanya terbuka sedikit, Ghiyas tak menemukan Naya.
Pria itu langsung menggeliat dan mendudukkan dirinya. Kamarnya kosong, yang membuatnya langsung mendekati kamar mandi. Ghiyas mengetuknya dengan sopan dan halus.
“Nay?” Ghiyas tak mendengar suara air sama sekali dari dalam sana.
Akhirnya, Ghiyas membuka pintu kamar mandinya yang tak dikunci. Dan benar saja, Naya tak ada di sana. Yang membuatnya mengernyitkan dahinya cukup dalam karena itu.
“Naya!” Ghiyas memanggilnya dengan lebih kencang barang kali Naya tak mendengarnya.
Namun, Naya tak ada di sana. Dia sudah meninggalkan hotel lebih dulu dan hal tersebut membuat Ghiyas kebingungan sekaligus kesal. Sebenarnya ada apa dengan Naya, apa dia berusaha untuk menghindarinya atau sedang terjadi sesuatu atas dirinya.
Ghiyas kemudian mengambil handphonenya untuk menghubungi istrinya yang telah kabur itu. Pria itu menemukan pesan yang dikirim Naya sekitar setengah jam yang lalu.
[Mas Agi, Naya duluan. Naya ada kerjaan mendadak. Maaf. Naya udah pesankan sarapan buat Mas Agi. Diantar sekitar setengah jam lagi.]
Benar saja, tak lama kemudian sarapan yang dipesankan Naya datang. Hal tersebut yang membuatnya langsung mendecak tak percaya atas apa yang dilakukan istrinya tersebut padanya.
Sungguh, Naya masih pengantin baru dan bisa-bisanya dia lebih mengedepankan pekerjaannya. Padahal seharusnya dirinya dalam cuti nikah. Namun sehari sebelum dan sehari setelah, Naya masih masuk kerja. Hal tersebut membuat Ghiyas kesal tentunya.
Ghiyas lantas menghubungi seseorang, guna meredakan rasa kesalnya pada istrinya itu.
“Saya datang hari ini. Jadwalkan saya untuk masuk ke kamar operasi.”
***
Ghiyas berjalan cepat di koridor. Seraya melepaskan jas yang digunakannya, Ghiyas memasuki suatu ruangan dan kemudian mengganti pakaiannya dengan setelan pakaian steril. Ghiyas adalah seorang dokter, dokter bedah. Dirinya harusnya libur setelah menikah, namun hari itu dia masuk kerja.
“Loh? Ghiyas? Lo ngapain? Lo bukannya harusnya sama Naya?” pekik rekan kerjanya kaget.
“Enggak ada pasien darurat buat lo. Lo tau, Kevin udah handle semuanya buat lo. Lo enggak usah khawatir ada pasien atau apalah. Lo mending fokus sama istri lo dulu!” ujar rekannya yang lain.
“Gue sempat berpikir gimana kalau gue ada pasien darurat di hari pernikahan gue, dan gue khawatir untuk ninggalin Naya kalau-kalau malam setelah pernikahan gue, gue dapet job juga. Tapi lo tau apa? Itu enggak kejadian, dan malah kejadian sama Naya. Gue ditinggal di hotel pagi ini.”
Rekannya yang sama-sama sedang bersiap langsung menghentikan aktivitasnya. Mereka menatap Ghiyas dengan perasaan terkejut setengah mati. Biasanya, pekerjaan darurat berlaku untuk dokter. Namun, apa pekerjaan Naya hingga dirinya mendapatkan ‘pasien darurat’ juga.
“Memangnya Naya kerja apaan?”
“Dia kerja kantoran, setahu gue. Padahal bukannya itu kerjaan yang enggak berat dan enggak mungkin ada yang darurat. Gue enggak tau posisi dia, tapi gue rasa itu enggak bisa ditoleransi.” Ghiyas misuh-misuh, melampiaskan kesalnya pada rekannya.
“Lo yakin mau masuk kamar operasi dengan keadaan begini?”
“Satu-satunya yang bisa bikin gue tenang itu masuk kamar operasi. Karena gimana pun, gue harus tenang dan sesantai mungkin di dalam sana.” Ghiyas mengangguk dengan yakin.
Ghiyas kemudian memasuki ruangan yang sudah disiapkan. Dan bersama dengan rekan tim medisnya, Ghiyas sekarang bersiap untuk mulai pembedahan.
Pria itu tampak menggoda di balik pakaian berwarna hijau itu. Masker yang menutup setengah wajahnya tidak menutup setengah dari ketampanannya. Dan bisa-bisanya Naya meninggalkan pria setampan itu di malam pernikahannya.
Sementara itu, Naya juga berada di tempatnya bekerja. Dia mondar-mandir membantu timnya yang sedang diserbu oleh berbagai pihak lantaran sistem yang sedang eror tadi malam.
“Untuk surel pengajuan keluhan tolong dibalas satu-satu. Kelompokan keluhan sesuai dengan keluhannya. Pihak pengajuan keluhan kadang salah dalam mengelompokkan keluhan. Coba dibaca ulang di bagian keterangan!” ujar Naya.
Naya kemudian kembali ke kursinya. Dia kemudian menghubungi seseorang.
“Tolong diberitahukan untuk tidak mengajukan keluhan dua kali, karena akan masuk ke spam. Setelah mengajukan keluhan, tolong dicek dalam waktu 24 jam kerja!”
Seharian itu, Naya sangat sibuk. Hingga begitu waktu menjelang gelap, Naya dan tim bersorak ria lantaran berhasil mengurus suatu permasalahan kantornya dengan cepat.
Naya melakukan tos secara besar-besaran di ruangan tersebut dengan anggota timnya. Dan setelah menyelesaikan pekerjaannya, barulah dalam benaknya teringat akan sosok suaminya.
“Naya, ayo kita makan BBQ! Kita dihadapkan masalah ketika kita mendekati weekend. Saatnya bersenang-senang!” ajak rekannya sambil menghampiri Naya.
“Enggak dulu. Gue harus pulang cepat hari ini.” Naya melirik jam tangannya.
“Adik lo masih sakit? Lo pasti bergadang semalam karena masalah ini. Belum lagi kemarin lo sampai enggak masuk karena adik lo yang sakit.” Dara, rekannya itu tampak prihatin.
“Ah, iya.” Naya terkekeh kecil, dia membohongi kantor tentang ketidakhadirannya kemarin.
Alasan Naya tak mendapatkan cuti menikah adalah karena Naya tak pernah mengabari kantornya tentang pernikahannya. Karena kantornya memiliki sistem di mana seseorang yang sudah menikah tidak boleh menduduki jabatan sebagai kepala. Sementara dirinya adalah seorang ‘kepala’ itu.
Dan tak ada yang memberikannya selamat atas pernikahannya. Tak ada yang membicarakan soal bagaimana hebatnya pesta pernikahannya kemarin. Tak ada yang membicarakan soal suaminya juga.
Naya agaknya menyesal karena meninggalkan Ghiyas yang pastinya kesal sekarang. Namun, Naya berusaha menghubungi Ghiyas, setidaknya besok adalah hari Sabtu, dirinya libur bekerja.
Naya menelepon Ghiyas, walau penuh perasaan ragu dan agak takut untuk menjelaskannya pada Ghiyas. Dia tahu, Ghiyas berhak marah padanya. Namun saat Ghiyas mengangkat telepon, Naya menjadi sedikit lega karenanya.
“Halo, Mas? Mas di mana?” tanya Naya.
[“Baru ingat punya suami?”]
“Mm ... Maaf,” ucap Naya.
Enteng sekali baginya mengucapkan maaf dari semalam. Dan berbanding terbalik dengan hatinya yang seolah tak merasa bersalah sama sekali meski mengucap maaf.
“Naya bakal tebus kesalahan Naya. Mas di mana? Biar Naya yang ke sana.”
[“Enggak usah.”]
“Mas marah? Mas ngambek? Mas di rumah? Atau Mas di rumah sakit? Naya harus ke mana?”
[“Enggak usah ke mana-mana.”]
Naya mengulum bibirnya.
“Naya ke apartemen Mas?”
Ghiyas ingin rasanya marah pada Naya. Jika dirinya tak ingat mereka baru menikah, dan dirinya sedang ingin bersama dengannya, maka Ghiyas sungguh akan mengabaikan Naya.
[“Di rumah sakit.”]
“Okay, Naya ke sana. Mau dibawain apa? Kopi? Donat? Roti?” Naya berusaha membujuk Ghiyas agar setidaknya tidak marah.
Naya tersenyum karena sepertinya masih sangat mudah mendapatkan maaf dari suaminya.
Naya berjalan di koridor, dia mendatangi Ghiyas ke rumah sakit tempat Ghiyas bekerja. Dengan membawakan makanan sebagai bahan untuk memperbaiki hubungannya dengan Ghiyas. Dia sadar betul telah melakukan kesalahan, namun seolah tak menyesalinya sama sekali.Berpapasan dengan beberapa dokter dan perawat lainnya, mereka sempat terkejut melihat Naya di sana. Membuat Naya mengerti jika mereka pasti rekannya Ghiyas. Naya lantas membungkuk memberikan sapa dan tersenyum ramah.“Naya, ya? Ke sini pasti nyari Ghiyas? Dia memang gitu, gampang ngambek. Maklumin, ya!” Rekan Ghiyas tersebut menggodanya.Naya hanya tersenyum membalasnya. Dan rekannya tersebut membantu Naya untuk bertemu dengan Ghiyas yang sedang bersiap untuk pulang di sebuah ruangan. Naya memasuki ruangan tersebut dan mendapati Ghiyas yang sedang menggunakan jasnya.“Kamu lama,” ucap Ghiyas dengan agak dingin menyambut istrinya tersebut.Naya menarik bibirnya canggung. Di ruangan itu terdapat sofa dan terlihat beberapa rekan Ghiyas
Ghiyas mendekatkan wajahnya pada Naya dan kemudian mengecup sisi bibirnya Naya. Hal tersebut membuat bulu kuduk Naya meremang. Mereka melewati malam pertama mereka di hotel, yang tentunya membuat Ghiyas kecewa karena di hotel dirinya hanya bisa tidur.Sekarang, di apartemen Ghiyas, hanya ada mereka berdua. Dirinya dengan pengantin wanitanya yang cantik. Apa yang akan dilakukan Ghiyas setelah meminta anak dari istrinya, tentu membuatnya.Naya tak menolak Ghiyas. Lantaran dirinya tak ingin Ghiyas semakin mencium bau bangkai dalam dirinya. Yang mana Naya tengah berusaha menyembunyikan pernikahannya. Di mana dirinya juga telah melanggar kontrak kerjanya berupa tidak menikah hingga waktu yang ditentukan.***Pagi itu, Ghiyas terbangun lebih dulu. Dia membuka matanya dan melirik ke arah samping. Di mana kali ini, di hari kedua setelah pernikahan mereka, Naya ada di sisinya. Ghiyas tersenyum melihat bahu polos Naya dan Naya yang tidur masih dalam keadaan sangat nyenyak.Pria yang bertelanjan
Ghiyas sudah ada di samping Naya pagi itu. Tidur memeluk Naya yang asyik memeluk gulingnya. Dan pagi itu, Naya bangun lebih dulu. Karena Ghiyas mungkin kelelahan setelah bekerja hingga tengah malam. Naya menyadari kehadirannya Ghiyas yang memeluk dirinya pagi itu.“Mas Agi, bangun!” Naya menepuk pelan tangannya Ghiyas untuk membangunkannya.“Mm,” gumam Ghiyas seraya memeluk istrinya itu dengan lebih erat, membuat Naya merinding.“Mas Agi, sakit.” Naya mengeluh saat pelukan Ghiyas terlalu kencang di perutnya.Ghiyas langsung melonggarkannya dan kemudian membuka matanya. Dia menatapi Naya yang tampak merona karena ditatap olehnya dari jarak yang nyaris punah.“Mas Agi pulang jam berapa semalam? Kok enggak bangunin?” tanya Naya.“Sekitar jam 23.30 udah di tempat parkir. Mana ada yang bangunin istrinya tengah malam. Ngapain coba?” Ghiyas terkekeh sambil memeluk Naya lagi.“Buat bukain pintu?” Naya agak berpikir keras memikirkannya.“Pintu apartemennya pakai pin otomatis, kan? Semalam jadi
“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas
“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel