“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”
Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.
“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.
Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.
Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya untuk memaksa gurunya dan menunjuk Cherly.
Gadis yang dicurangi itu tahu dirinya dicurangi, lantas tak diam saja dan menunjukkan nyalinya. Namun, semakin Naya menunjukkan kemampuan dan bakat dalam dirinya, Cherly semakin menunjukkan kekuasaannya. Dia memiliki apa yang tidak dimiliki Naya, koneksi.
“Tentu gue enggak mau. Karena orang yang menjadi direktur, harus duduk di kursi manager.”
“Lo masih berharap kursi direktur? Lo masih enggak belajar sesuatu, ya? Kursi itu sudah dipesan. Lo lagi lihat pemesannya.” Gadis itu tersenyum penuh kemenangan sambil menunjuk dirinya sendiri.
Naya masih tak menunjukkan bagaimana dirinya terintimidasi.
Cherly sekarang melirik ke arah lain. Di mana sekarang sebuah mobil terparkir di depan lobi. Dan membuatnya langsung menghampirinya. Naya menatap ke arahnya.
Yang mana sesosok pria yang kini tengah memegang kuasa di perusahaan mereka. Pria tua itu keluar dari mobilnya sambil tersenyum senang. Dan Cherly di sana mendekatinya seraya memeluk tangan pria paruh baya itu dengan manis dan akrab.
Naya yang menyaksikan itu langsung mendengus kasar dan berbalik. Gadis itu berjalan cepat pergi dari sana dan menuju ke kantornya. Dia tampaknya kesal karena kelakuan saingannya itu.
***
“Lo mau tau dia kayak gimana? Dia senyum dengan centil dan mendekat, lalu dia peluk Pak Andrew. Itu bikin gue frustasi karena itu berarti kursi direktur memang sudah dipesan sebelum waktunya penunjukkan direktur selanjutnya.” Naya bercerita dengan heboh.
Di depannya, ada sosok sahabatnya, Fely yang sekarang mendengarkan cerita Naya.
“Itulah yang mau gue bicarakan sama lo. Si Kadal Racun itu, dia pacaran sama cowok yang iya, usianya udah akhir 30-an. Dan kemungkinan dia itu Pak Andrew yang lo sebut,” jawab Fely.
Naya mendengus sebal. Dia tampaknya ingin menangis karena persaingan yang tak ada ujungnya di antara dirinya dan Fely. Kecuali jika dirinya memutuskan untuk berhenti membalas dendam.
Bahkan sempat satu tetes air matanya turun. Yang mana membuat Fely langsung mengambil tisu dan segera memberikannya. Akhirnya, Naya hanya bisa mengusap air matanya itu.
“Kalau lo capek, lebih baik akhiri, Nay! Lo juga udah nikah, sekarang hidup lo tanggungan suami lo. Lo hebat dalam banyak hal. Lo better dari pada dia.” Fely berusaha menghiburnya.
Namun Naya sekarang malah semakin sesenggukan karena dirinya sendiri memang sudah merasa lelah jika harus bekerja dua kali lebih giat dari yang lain untuk menyaingi Cherly. Sementara Cherly, bahkan bekerja pun tak perlu, dia hanya perlu mengandalkan sikap genitnya.
Handphonenya Naya berdering. Membuat Naya menatap ke arah handphonenya. Siapa yang mengganggunya dengan menelepon saat dirinya tengah sedih. Dan itu suaminya. Dia hampir lupa jika dirinya sudah menikah dan sekarang menjelang malam, namun dirinya belum pulang.
“Suami lo tuh!” ucap Fely seraya menatap Naya yang tangisnya langsung berhenti.
Naya segera mengangkatnya. Sambil mengusap air matanya dan menggosok hidungnya yang agak gatal.
[“Kamu di mana? Kamu lagi di kafe?”]
Naya langsung mengernyitkan dahinya dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia mendapati suaminya yang sekarang tengah berdiri di depan kafe. Tengah berdiri sambil memegangi telepon.
“Loh? Ah, suami gue di sini. Lo jangan ngomong apa-apa, jangan ngomong yang aneh-aneh. Ngomong sewajarnya aja!” Naya tampak panik menatap Fely yang kini menatap ke arah Ghiyas.
Ghiyas mematikan teleponnya dan kemudian memasuki kafe. Kelihatannya dia sedang ingin memastikan itu Naya apa bukan. Dia tampak tersenyum semringah melihat istrinya.
Naya tampak tegang dan gugup saat Ghiyas menghampirinya. Karena di sana ada Fely yang bisa bicara apa saja tanpa berpikir panjang. Naya menatap ke arah Fely dengan waswas dan gelisah.
“Benar, ternyata kamu. Kamu kayaknya sering datang ke sini, ya? Sejak sebelum nikah sampai habis nikah?” Ghiyas tersenyum dan duduk di kursi sebelah Naya.
“Naya emang sering ke sini. Makanya kalian bisa bertemu di sini, waktu itu. Karena Naya suka banget Red Velvet di sini.” Fely menjawabnya dengan antusias dan ingin menggoda Naya di sana.
“Oh, gitu. Kirain sengaja ke kafe sini buat ngawasin Mas. Mas enggak akan selingkuh di tempat kerja, kok,” gurau Ghiyas seraya menatap Naya yang kini hanya tersenyum menatapnya.
“Temen Naya?” Ghiyas menatap Fely.
“Iya. Sahabat dari SMP lebih tepatnya, Fely. Kalau mau tahu tentang kebiasaan Naya, sikap baik sama buruknya sekalipun, bisa tanya saya. Saya paling tahu soal Naya,” jawab Fely dengan bangga.
Naya menatap Fely tajam. Kakinya langsung menginjak kaki Fely di bawah sana lantaran geram dengan sahabatnya itu. Memang benar, yang paling mengetahui tentang Naya itu Fely.
Setelah beberapa saat berbincang di sana, Fely memilih pulang lebih dulu karena pacarnya sudah menjemput. Dan Naya keluar kafe bersama dengan Ghiyas saat hari telah gelap.
“Mas masih istirahat?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas.
“Iya. Habis ini Mas masih praktik. Kamu mau pulang sekarang? Mas cariin taksi,” ucap Ghiyas.
Naya menganggukkan kepalanya pelan. Ghiyas lantas membantu Naya untuk mendapatkan taksi. Dia tampak senang bisa berduaan sebentar dengan istrinya di depan kafe tempat pertama mereka bertemu.
“Kafe ini punya sejarah tentang kita. Di sini pertama kali kita bertemu, kamu ingat?” Ghiyas tersenyum membahasnya.
“Iya, siapa yang lupa hari di mana ketemu sama suaminya sendiri? Mas tertarik sama Naya sejak itu, kan? Gadis ini menarik perhatian seorang dokter bedah.” Naya tersenyum sambil menyisipkan rambutnya ke belakang telinga.
Ghiyas langsung tertawa atas apa yang dilakukan Naya.
“Memang benar. Ngomong-ngomong, waktu Mas datang, kamu kelihatannya lagi nangis. Ada apa?” Ghiyas memperhatikan Naya yang sebelumnya.
“Enggak ada. Cuman capek. Mungkin sebentar lagi haid, makanya bawaannya moody,” jawab Naya.
“Ah, sebentar lagi jadwal haid. Kalau kamu telat, berarti?”
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel
Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki
Ghiyas baru pulang malam itu. Matanya langsung menemukan Naya yang tertidur di sofa. Dengan televisi yang menyala dan tengah memutar acara favorit Naya, apa lagi kalau bukan drama Korea. Ghiyas tersenyum kecil dan melirik ke arah meja makan.Dia menghampiri meja. Kelihatannya Naya mengingatnya, dia menyiapkan makan malam untuknya. Walau Naya sama sekali tidak menghubunginya, bertanya pulang jam berapa. Naya masih perhatian, itu yang membuat Ghiyas tersenyum semakin hangat.Tak langsung makan, Ghiyas memindahkan Naya dulu ke kamar. Dan Naya sama sekali tak terganggu saat dipindahkan. Naya jika tidur memang agak sulit dibangunkan, apa lagi jika baru terlelap.Begitu menaruh tubuh istrinya itu di ranjang, Ghiyas memandangnya dengan lekat. Dia mengusap pelan pipi Naya. Perasaannya pada Naya memang nyata. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya apa Naya mencintainya sama dengan dirinya atau tidak.***Naya membuka matanya sambil menggosoknya. Dia merentangkan
Ghiyas tengah memilih-milih makanan yang akan dia pesan dan diantarkan langsung pada Naya. Dia tengah menimbang apa yang Naya sukai dan apa yang tidak Naya sukai selama ini.“Ghi, ayo ke kantin!” ajak Kevin seraya menepuk punggung Ghiyas dan mengintip handphonenya.“Iya, ayo! Mumpung udah kosong, terus kantin jam segini masih agak lenggang!” ucap Rendi.“Bentar.” Ghiyas langsung memesan makanannya yang akan dikirim ke Naya.Setelah selesai, Ghiyas bergabung dengan teman-temannya untuk makan siang bersama. Dia telah mengirimkan makanan untuk Naya, berharap Naya menyukainya dan akan membuat hubungan mereka semakin erat.“Ngapain dulu, sih?” tanya Gabby yang sudah menunggu mereka di kantin.“Biasa, pasutri baru yang masih bucin. Dia pilih-pilih makanan dulu buat dianter ke kantornya Naya. Sampai memperhatikan detail kecil kalau Naya enggak suka wortel yang enggak lembek,” ucap Kevin me
Ghiyas sedang duduk di meja kerjanya. Sedang membaca sebuah buku, Ghiyas tampak asyik sendiri. Sementara dari pintu kamar mandi yang ada di kamar, Naya muncul. Naya memegangi perutnya sambil menatapi suaminya itu. Naya membutuhkan bantuan Ghiyas saat itu.“Mas!” panggil Naya.“Hm?” Ghiyas menyahut tanpa menoleh ke arah Naya sama sekali.“Mau minta tolong. Naya enggak ada pembalut,” ucap Naya.Ghiyas kali ini menoleh, menatap Naya yang sedang memegangi perutnya di pintu kamar mandi.“Kamu haid lagi?” tanya Ghiyas seraya menaruh bukunya dan segera membantu istrinya itu.“Lagi apanya? Orang bulan ini belum, kok.”“Maksudnya, lagi tiap bulan gitu. Belum ada bayinya, ya?” pikir Ghiyas seraya mendekati Naya.“Belum, makanya sekarang haid. Tolong belikan pembalutnya, ya? Naya udah tembus soalnya. Yang malam satu paket, yang siangnya juga. Tapi belinya yang i
Di pagi lainnya, Naya sedang memakai syal di lehernya. Sementara Ghiyas tampak gelisah dan panik. Ghiyas mengambil barang bawaannya dan sepatunya menuju ke pintu apartemen. Dia menaruh sepatunya di bawah dan segera menggunakannya.Naya menghampirinya, suaminya sudah terburu-buru pagi itu. Karena Ghiyas bangun terlambat dan Naya terlalu sibuk di dapur hingga lupa membangunkan suaminya itu.“Rambut Mas berantakan.” Naya mengambil sisir dan segera merapikan rambut suaminya tersebut.“Enggak apa-apa.” Ghiyas menatap ke arah Naya singkat saat Naya inisiatif menyisirnya.“Mas salah kancing juga.” Naya memperhatikan bagaimana Ghiyas mengancingkan kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya. Naya benar. Dia salah mengancingkan bagian kerah dengan bagian bawahnya. Dan Ghiyas lantas langsung berdiri dan menghadap ke arah Naya setelah selesai menggunakan sepatunya. Begitu Ghi
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang