“Besok kamu masuk kerja? Kamu masih bakal kerja?“ Arin menatap ke arah Naya.
“Enggak apa-apa. Barang kali Naya juga nanti bingung mau ngapain kalau enggak kerja,” jawab Ghiyas mewakili Naya.
Naya menatap ke arah Ghiyas yang mengambilkan makanan ke piringnya. Ghiyas sangat perhatian, dia juga membantunya untuk beradaptasi untuk menghadapi sosok kakaknya itu.
“Kerja boleh, asal jangan lupa kewajiban di rumah.” Arin menatap Naya yang banyak diam.
Naya hanya menganggukkan kepalanya sambil melahap makanannya. Rasa makanannya membuatnya ingin menambah, namun rasanya malu jika di depan kakak iparnya.
“Mau nambah, Nay?” tanya Ghiyas saat melihat piring Naya hampir habis.
“Nambah, dong! Biar jadi nutrisi buat calon bayinya juga,” ucap Arin sambil mengambilkan nasi dan lauk lagi ke piring Naya.
Naya langsung tersedak, untungnya dia tidak menyemburkan apa yang ada di mulutnya dan sempat menahannya dengan telapak tangannya. Naya terbatuk karenanya dan membuat Ghiyas segera menuangkan air ke gelas Naya dan memberikannya pada istrinya itu.
“Ah, pengantin baru. Ngomongin soal bayi bukan hal yang aneh lagi nantinya. Termasuk cara bikinnya. Di usia Agi, temen-temennya sudah pada punya anak. Cuman dia yang belum.”
“Kak, jangan terlalu vulgar!” Ghiyas terkekeh karena melihat ekspresi wajahnya Naya di sana.
Arin langsung menatap ke arah Naya yang tampak merona. Itu membuatnya terkekeh menggoda pengantin baru tersebut. Dan Naya sendiri melanjutkan makannya dengan canggung.
Setelah kakaknya Ghiyas pulang, Naya duduk di sofa sambil memakan jeruk yang dibawakan kakaknya Ghiyas juga. Sambil menonton televisi, Naya menikmati masa liburnya.
Ghiyas menghampirinya dan kemudian berbaring di sofa, memanfaatkan paha Naya sebagai bantalnya di sana dan membuat Naya tersentak kecil lantaran paha adalah bagian sensitifnya.
“Geli!” pekik Naya seraya memegangi kepalanya Ghiyas agar tak menyentuh pahanya.
“Mau baringan,” gumam Ghiyas manja seraya menatapi Naya dari bawah.
“Jangan banyak gerak tapi. Banyak gerak Naya enggak akan segan lempar kepala Mas, loh!” ancam Naya seraya mencoba rileks di sana.
“Iya, enggak.” Ghiyas tertawa kecil dan membuka mulutnya agar disuapi jeruk oleh istrinya itu.
Dan Naya menurutinya. Dia menyuapi Ghiyas jeruk. Ghiyas berbaring di pahanya Naya dengan nyaman di sana. Dan Ghiyas melirik acara televisi yang Naya tonton.
“Kamu nonton drama? Ceritanya tentang apa?” tanya Ghiyas.
“Dokter sama tentara. Ah, dokternya enggak mau pacaran sama tentara cuman karena pekerjaannya si tentara. Padahal tentara keren banget. Sayang banget,” ucap Naya agak dramatis.
“Enggak mau pacaran karena pekerjaannya si tentara? Kenapa?” tanya Ghiyas lagi, dia tertarik.
“Karena dia tentara, pekerjaan berbahaya. Dia pasukan khusus PBB. Dan si tentara juga akhirnya memilih fokus sama kariernya ketimbang si dokter. Dan mereka hilang kontak.”
Naya menceritakannya dengan lesu. Kelihatannya dia terbawa suasana karena tontonannya.
“Itu bagus. Jadi tentara juga enggak mudah pasti, dan masa dia harus keluar dari pekerjaannya hanya karena untuk seorang wanita?” Ghiyas mengemukakan pendapatnya.
“Kan?” Naya menatap ke arah Ghiyas yang ternyata bisa diajak diskusi dengan baik.
Naya jadi terpikir tentang masalahnya sendiri yang kurang lebih sama. Benar apa kata Ghiyas. Bukan hal mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Dan merelakan pekerjaan karena pasangan itu bukan suatu pilihan. Itu membuat Naya semakin kuat akan keputusannya sekarang.
“Mas Agi kalau ada di posisi tentara itu juga bakal melakukan hal yang sama?” tanya Naya.
“Iya, tentunya. Tapi, kalau kamu bertanya dengan maksud itu antara kita, kamu dan Mas, itu hal yang berbeda. Mas bekerja untuk kamu, loh. Bukannya enggak mau memilih kamu, tapi Mas enggak bisa menghidupi kamu kalau enggak bekerja.”
Naya lantas tertawa. Memang, kasus mereka memiliki kondisi yang hampir sama namun berbeda.
“Naya enggak kayak dokter di drama itu, kok. Punya suami dokter itu luar biasa. Mas hebat,” puji Naya sambil mengangkat jempolnya dan menyipitkan matanya.
Ghiyas langsung mendudukkan dirinya dan menatapi Naya dari jarak dekat. Itu membuat Naya mengangkat alisnya kala Ghiyas tiba-tiba mendekatinya lagi seperti itu.
“Mas sehebat itu di mata kamu?” tanya Ghiyas seraya menopang kepalanya dengan percaya diri.
Naya terdiam sejenak, dan kemudian menganggukkan kepalanya dengan polosnya. Itu membuat Ghiyas langsung menyambar tubuh Naya, menggendongnya dan mengangkatnya dari sana.
“Loh?!” pekik Naya seraya berpegangan erat pada suaminya karena takut jatuh.
“Dokter ini butuh sesuatu yang bisa meningkatkan hormon bahagia dan menjadi lebih hebat lagi.”
***
Naya keluar dari mobil dengan perasaan waswas. Begitu pula Ghiyas yang mengantarkannya sampai ke lobi. Itu membuat Naya takut dilihat rekan kantornya, dan kantor akan segera mencurigainya.
“Sana pulang! Istirahat sana! Bukannya nanti dapat shift malam lagi?” Naya menatapnya gelisah.
“Iya, ini mau pulang. Habis lihat kamu masuk tapi.” Ghiyas tersenyum seraya mendekati Naya.
Ghiyas mengusap kepalanya Naya. Dan mendekatkan dirinya. Dia mengecup kepalanya Naya dengan lembut dan halus sambil menghirup aroma manis dari rambutnya Naya. Naya di sana tampak kaku.
“Kenapa Mas kayak gitu di tempat umum? Kali ini enggak apa-apa. Ke depannya, jangan! Naya enggak suka kalau di tempat umum,” ucap Naya pelan dengan wajahnya yang terlihat marah.
Ghiyas menatapi Naya sambil memasukkan tangannya ke saku. Dia memperhatikan wajahnya Naya. Naya terlihat marah, apa mencium kepalanya di tempat umum seperti itu membuatnya marah?
“Kamu marah?” tanya Ghiyas agak khawatir.
“Enggak. Pulang!” Naya menatapi Ghiyas dengan raut wajahnya tang tampak marah.
“Maaf, kalau memang kamu enggak suka perlakuan kayak tadi di tempat umum. Mas enggak akan mengulanginya. Senyum dulu, dong! Wajah kamu kaku banget perasaan,” ucap Ghiyas masih berusaha menggodanya.
“Pulang!” Naya menatap Ghiyas tajam sambil menunjuk ke arah mobilnya.
“Kamu kenapa, sih?” Ghiyas mengernyitkan dahinya heran dengan perubahan sikapnya Naya.
Naya tak menjawab dan hanya menatap ke bawah. Dirinya sungguh tak nyaman dengan ini.
“Masuklah! Mas mau lihat kamu masuk ke dalam,” ucap Ghiyas lagi sambil menghela nafasnya.
“Naya mau lihat Mas pulang.” Naya agak menekan kalimatnya meski dengan suara yang pelan.
“Okay. Mungkin sebentar lagi kamu datang bulan. Kamu jadi agak pemarah.” Ghiyas lantas mengikuti keinginan Naya untuk membuatnya tak semakin marah.
Ghiyas lantas memasuki mobilnya sambil memijat keningnya. Dia bingung, kenapa sikap Naya berubah drastis antara di rumah atau di luar. Ghiyas menatap Naya yang masih berdiri di sana. Lantas, dia segera pergi, barang kali memang itu yang Naya inginkan.
Naya menatapi mobilnya Ghiyas dan menghela nafasnya.
“Lo pacaran?”
Suara cempreng dan genit itu membuat Naya menoleh pada pemiliknya.
“Ganteng juga, boleh kenalin?” ucapnya manis.
Naya meliriknya dengan tatapan tajam.
“Entahlah, gue enggak tahu pacar gue bisa ketemu orang apa enggak. Dia sibuk.”Naya menatapnya dengan tajam. Gadis yang sekarang mendekatinya sambil tersenyum manis dengan tatapannya yang tampak sinis. Keduanya menunjukkan sifat sama-sama tak suka.“Ah, gitu. Dia sibuk tapi bisa pacaran sama lo, ya? Bukannya lo juga harusnya sibuk? Kalian sama-sama sibuk tapi saling meluangkan waktu. Manis banget. Gue harap, lo enggak terlalu pakai hati. Soalnya, hati itu bisa mempengaruhi kualitas kerja. Lo enggak mau kan, kalau lo turun dari kursi manager?” Gadis itu kini mendekati Naya dan memberikan pengaruh buruk padanya.Naya menatapnya dengan tatapan tajam. Dia berusaha tak terintimidasi karena gadis bernama Cherly yang menjadi saingan ketatnya sejak semasa SMA dulu. Mereka selalu ditakdirkan bersaing.Naya dan Cherly memiliki dendam tersembunyi. Ini dikarenakan Cherly yang terus tak ingin kalah dari Naya. Bermula dari Naya yang dipilih untuk mengikuti olimpiade, dan Cherly menggunakan ayahnya
“Enggak mungkin secepat itu.” Naya melebarkan matanya menatap suaminya itu. “Bisa, kok.” Ghiyas tersenyum manis menatapi istrinya tersebut. Ghiyas berjalan mendahului Naya, membalikkan badannya untuk menatapi Naya. Dia berjalan mundur sambil memasukkan tangannya ke saku celananya. “Kamu hamil nanti, Mas harus ngadain syukuran.” “Kalau enggak?” Naya menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan wajah menantang. “Kalau enggak, kita harus bekerja lebih keras lagi setelah kamu haid. Apa kita harus cari suasana baru nanti? Semisal di hotel?” Ghiyas mengangkat alisnya menggoda Naya di sana. “Ish!” Naya mendesis dengan senyumannya yang tipis dan kemudian berlari mengejar Ghiyas. Ghiyas langsung berbalik dan berlari menghindari Naya. Dia senang jika bisa menggoda Naya seperti itu. Dan Naya di belakangnya berlari cukup kencang, namun kakinya tak lebih cepat dari Ghiyas. *** Naya tengah memasak pagi itu. Kebetulan sekali, hari itu hari libur Ghiyas juga Naya. Membuat keduanya bangun le
Naya tengah merapikan meja kerjanya. Dia sudah bersiap untuk pulang hari itu. Karena malam ini, dirinya akan makan malam di luar bersama dengan Ghiyas. Hal itu membuatnya merias dirinya lagi sebelum pulang. Dia merapikan riasannya yang hampir pudar.“Wah, kayaknya ada yang bakal dinner, nih! Tumben, lo make up lagi pas mau pulang. Biasanya cuman kalau bakal dinner sama atasan atau sama tim, nih!” goda rekannya yang tengah berjalan.“Ah, apaan, sih?” Naya hanya tersenyum tipis.“Memang bakal dinner sama atasan. Yuk, Nay!” Rekan satu timnya kini menghampiri Naya.Naya langsung mengernyitkan dahinya. Pasalnya, dirinya yakin hari ini bisa pulang awal sesuai jadwal dan dirinya sudah punya janji dengan Ghiyas. Kabar mendadak seperti ini membuatnya kaget.“Memang ada? Bukannya hari ini enggak ada jadwal ketemu atasan, kan?” Naya gelisah.“Mendadak. Lo enggak baca grup setengah jam yang lalu? Itu
Tanpa rasa bersalah, Naya duduk bersama timnya dan juga atasannya yang sekarang mentraktir mereka makan makanan mewah. Naya memakan makanannya dengan tenang dan bahkan lahap, seolah tak terjadi apa-apa antara dirinya dan Ghiyas.“Pelan-pelan! Tidak akan merebutnya dari kamu.” Seorang pria paruh baya terkekeh melihat Naya.Naya dengan mulut penuh menjadi sorotan di sana. Yang membuat rekan-rekannya tertawa. Dan Naya menatap ke arah atasannya yang membuatnya menjadi sorotan dengan mulutnya yang penuh.Gadis itu hanya tersenyum dan melanjutkan acaranya mengunyahnya yang disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Atasannya memperhatikan Naya saat Naya terus mengunyah makanan tanpa banyak bicara. Dengan mulutnya yang penuh, gadis itu tampak menggemaskan.“Naya, kamu sudah memiliki pacar?”Sontak kegiatan di meja tersebut langsung terhenti. Bahkan rekan-rekannya Naya yang hendak melahap makanannya berhenti. Dengan mata mereka yang mel
Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki
Ghiyas baru pulang malam itu. Matanya langsung menemukan Naya yang tertidur di sofa. Dengan televisi yang menyala dan tengah memutar acara favorit Naya, apa lagi kalau bukan drama Korea. Ghiyas tersenyum kecil dan melirik ke arah meja makan.Dia menghampiri meja. Kelihatannya Naya mengingatnya, dia menyiapkan makan malam untuknya. Walau Naya sama sekali tidak menghubunginya, bertanya pulang jam berapa. Naya masih perhatian, itu yang membuat Ghiyas tersenyum semakin hangat.Tak langsung makan, Ghiyas memindahkan Naya dulu ke kamar. Dan Naya sama sekali tak terganggu saat dipindahkan. Naya jika tidur memang agak sulit dibangunkan, apa lagi jika baru terlelap.Begitu menaruh tubuh istrinya itu di ranjang, Ghiyas memandangnya dengan lekat. Dia mengusap pelan pipi Naya. Perasaannya pada Naya memang nyata. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya apa Naya mencintainya sama dengan dirinya atau tidak.***Naya membuka matanya sambil menggosoknya. Dia merentangkan
Ghiyas tengah memilih-milih makanan yang akan dia pesan dan diantarkan langsung pada Naya. Dia tengah menimbang apa yang Naya sukai dan apa yang tidak Naya sukai selama ini.“Ghi, ayo ke kantin!” ajak Kevin seraya menepuk punggung Ghiyas dan mengintip handphonenya.“Iya, ayo! Mumpung udah kosong, terus kantin jam segini masih agak lenggang!” ucap Rendi.“Bentar.” Ghiyas langsung memesan makanannya yang akan dikirim ke Naya.Setelah selesai, Ghiyas bergabung dengan teman-temannya untuk makan siang bersama. Dia telah mengirimkan makanan untuk Naya, berharap Naya menyukainya dan akan membuat hubungan mereka semakin erat.“Ngapain dulu, sih?” tanya Gabby yang sudah menunggu mereka di kantin.“Biasa, pasutri baru yang masih bucin. Dia pilih-pilih makanan dulu buat dianter ke kantornya Naya. Sampai memperhatikan detail kecil kalau Naya enggak suka wortel yang enggak lembek,” ucap Kevin me
Ghiyas sedang duduk di meja kerjanya. Sedang membaca sebuah buku, Ghiyas tampak asyik sendiri. Sementara dari pintu kamar mandi yang ada di kamar, Naya muncul. Naya memegangi perutnya sambil menatapi suaminya itu. Naya membutuhkan bantuan Ghiyas saat itu.“Mas!” panggil Naya.“Hm?” Ghiyas menyahut tanpa menoleh ke arah Naya sama sekali.“Mau minta tolong. Naya enggak ada pembalut,” ucap Naya.Ghiyas kali ini menoleh, menatap Naya yang sedang memegangi perutnya di pintu kamar mandi.“Kamu haid lagi?” tanya Ghiyas seraya menaruh bukunya dan segera membantu istrinya itu.“Lagi apanya? Orang bulan ini belum, kok.”“Maksudnya, lagi tiap bulan gitu. Belum ada bayinya, ya?” pikir Ghiyas seraya mendekati Naya.“Belum, makanya sekarang haid. Tolong belikan pembalutnya, ya? Naya udah tembus soalnya. Yang malam satu paket, yang siangnya juga. Tapi belinya yang i
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang