Naya berjalan memasuki kantornya seperti biasa. Dan di pintu depan, kini tampak seorang gadis yang kelihatannya memang menunggunya untuk datang. Itu membuat Naya mendecak sebal.
“Morning, Naya!” sapa Cherly dengan senyumannya pada Naya.
Naya tak menjawabnya dan hanya mengabaikannya. Dia bahkan tak menatapnya sama sekali.
“Naya!” Gadis itu langsung menarik tas yang dibawa Naya dan membuat Naya harus berhenti.
Yang ditarik tentu mendecak lagi. Menghentikan langkahnya dan menatap gadis itu.
“Ayo kita berhenti!” ucapnya dengan manis.
Tatapan Naya padanya semakin tajam. Sementara senyuman gadis itu tampak semakin lebar.
“Lo bilang apa?” Naya meminta Cherly untuk mengulangi perkataannya lagi.
“Lo tau, gue juga capek kalau harus terus-terusan menetapkan standar kesuksesan gue dengan kesuksesan lo. Gue capek kalau harus bersaing terus selama bertahun-tahun berikutnya sama lo. Ayo ki
Ghiyas baru pulang malam itu. Matanya langsung menemukan Naya yang tertidur di sofa. Dengan televisi yang menyala dan tengah memutar acara favorit Naya, apa lagi kalau bukan drama Korea. Ghiyas tersenyum kecil dan melirik ke arah meja makan.Dia menghampiri meja. Kelihatannya Naya mengingatnya, dia menyiapkan makan malam untuknya. Walau Naya sama sekali tidak menghubunginya, bertanya pulang jam berapa. Naya masih perhatian, itu yang membuat Ghiyas tersenyum semakin hangat.Tak langsung makan, Ghiyas memindahkan Naya dulu ke kamar. Dan Naya sama sekali tak terganggu saat dipindahkan. Naya jika tidur memang agak sulit dibangunkan, apa lagi jika baru terlelap.Begitu menaruh tubuh istrinya itu di ranjang, Ghiyas memandangnya dengan lekat. Dia mengusap pelan pipi Naya. Perasaannya pada Naya memang nyata. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya apa Naya mencintainya sama dengan dirinya atau tidak.***Naya membuka matanya sambil menggosoknya. Dia merentangkan
Ghiyas tengah memilih-milih makanan yang akan dia pesan dan diantarkan langsung pada Naya. Dia tengah menimbang apa yang Naya sukai dan apa yang tidak Naya sukai selama ini.“Ghi, ayo ke kantin!” ajak Kevin seraya menepuk punggung Ghiyas dan mengintip handphonenya.“Iya, ayo! Mumpung udah kosong, terus kantin jam segini masih agak lenggang!” ucap Rendi.“Bentar.” Ghiyas langsung memesan makanannya yang akan dikirim ke Naya.Setelah selesai, Ghiyas bergabung dengan teman-temannya untuk makan siang bersama. Dia telah mengirimkan makanan untuk Naya, berharap Naya menyukainya dan akan membuat hubungan mereka semakin erat.“Ngapain dulu, sih?” tanya Gabby yang sudah menunggu mereka di kantin.“Biasa, pasutri baru yang masih bucin. Dia pilih-pilih makanan dulu buat dianter ke kantornya Naya. Sampai memperhatikan detail kecil kalau Naya enggak suka wortel yang enggak lembek,” ucap Kevin me
Ghiyas sedang duduk di meja kerjanya. Sedang membaca sebuah buku, Ghiyas tampak asyik sendiri. Sementara dari pintu kamar mandi yang ada di kamar, Naya muncul. Naya memegangi perutnya sambil menatapi suaminya itu. Naya membutuhkan bantuan Ghiyas saat itu.“Mas!” panggil Naya.“Hm?” Ghiyas menyahut tanpa menoleh ke arah Naya sama sekali.“Mau minta tolong. Naya enggak ada pembalut,” ucap Naya.Ghiyas kali ini menoleh, menatap Naya yang sedang memegangi perutnya di pintu kamar mandi.“Kamu haid lagi?” tanya Ghiyas seraya menaruh bukunya dan segera membantu istrinya itu.“Lagi apanya? Orang bulan ini belum, kok.”“Maksudnya, lagi tiap bulan gitu. Belum ada bayinya, ya?” pikir Ghiyas seraya mendekati Naya.“Belum, makanya sekarang haid. Tolong belikan pembalutnya, ya? Naya udah tembus soalnya. Yang malam satu paket, yang siangnya juga. Tapi belinya yang i
Di pagi lainnya, Naya sedang memakai syal di lehernya. Sementara Ghiyas tampak gelisah dan panik. Ghiyas mengambil barang bawaannya dan sepatunya menuju ke pintu apartemen. Dia menaruh sepatunya di bawah dan segera menggunakannya.Naya menghampirinya, suaminya sudah terburu-buru pagi itu. Karena Ghiyas bangun terlambat dan Naya terlalu sibuk di dapur hingga lupa membangunkan suaminya itu.“Rambut Mas berantakan.” Naya mengambil sisir dan segera merapikan rambut suaminya tersebut.“Enggak apa-apa.” Ghiyas menatap ke arah Naya singkat saat Naya inisiatif menyisirnya.“Mas salah kancing juga.” Naya memperhatikan bagaimana Ghiyas mengancingkan kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya. Naya benar. Dia salah mengancingkan bagian kerah dengan bagian bawahnya. Dan Ghiyas lantas langsung berdiri dan menghadap ke arah Naya setelah selesai menggunakan sepatunya. Begitu Ghi
Di akhir pekan, Naya dan Ghiyas tengah beristirahat bersama di apartemen mereka. Pagi itu, Naya sedang membuat kue dan Ghiyas tengah membantu Naya untuk memotong buah. Handphone Naya tiba-tiba berdering tanda telepon masuk, membuat Ghiyas segera mengambilkan handphonenya.“Nay, telepon, nih!” Ghiyas segera mendekati Naya dan menjawab telepon dari Mama Naya.“Siapa? Oh, Mama.” Naya mengambil handphonenya dan menaruhnya di telinganya.Sambil mengapit handphonenya tersebut dengan bahunya, Naya mulai bicara. “Iya, Ma?”[“Naya, kamu kapan ke rumah Mama lagi? Enggak kangen apa sama Mama?”]“Rencananya minggu depan, Ma. Naya kangen kok, sama Mama.”[“Kamu lagi ngapain di sana? Gimana kabar kamu? Ghiyas gimana kabarnya? Ada di rumah? Apa lagi di rumah sakit?”]“Alhamdulillah, Naya sama Mas Agi sehat di sini. Mas Agi juga hari ini enggak ada jadwal, jadi di rumah aja
“Jadi, kita enggak akan pindah?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas dengan kecewa.“Maaf, tapi enggak untuk sekarang,” jawab Ghiyas sambil menggelengkan kepalanya.Naya yang sudah selesai sarapan akhirnya hanya menghela nafasnya. Gadis itu segera mengambil tasnya dan kemudian berpamitan untuk pergi lebih dulu pada Ghiyas. Dia salim pada suaminya itu.“Hati-hati di jalan, Sayang!” ucap Ghiyas sambil tersenyum menatapi istrinya itu.Naya hanya berdeham kecil dan segera keluar dari apartemen. Ghiyas kemudian bersiap juga untuk berangkat. Dia bisa datang agak siang hari ini. Dan beberapa saat setelah Naya berangkat, Ghiyas mendapati handphone istrinya di nakas, masih dalam keadaan diisi daya.Istrinya meninggalkan benda pipih itu. Membuat Ghiyas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kecil. Dan Ghiyas menaruh handphone Naya di sakunya, dia akan mengantarkannya.Berangkat bekerja dengan mobil, Ghiyas menuju ke
Karena jabat tangannya tak diterima Ghiyas yang dari tadi tampak melamun, belum lagi Naya memukul tangannya itu, Cherly akhirnya mengambil kembali tangannya. Dan dia menaruh kedua tangannya di depan dadanya, melipat dadanya sambil menatap Ghiyas.“Mau sampai kapan lo di sana? Mau jadi nyamuk? Ah, enggak. Lo lebih cocok jadi lalat.” Naya tersenyum sinis dan terkekeh sambil menatap ke bawah.Perkataan Naya agak kasar, dan Ghiyas baru pertama kali melihat Naya begini. Ini sisi asli Naya yang jarang dilihat Ghiyas. Ghiyas kini sadar, jika Naya memang tengah berhadapan dengan musuhnya.“Gue sekarang tahu wajah pacar lo,” bisik Cherly pada Naya, masih terdengar oleh Ghiyas.Cherly mendecih kemudian pergi dari sana dengan angkuhnya. Terlihat jelas, dia cemburu atas apa yang selalu dimiliki Naya. Termasuk memiliki Ghiyas, yang terlihat seperti punya kehidupan baik.Dan setelah dia pergi, Ghiyas menatap ke arah Naya sambil memegangi
“Kenapa Anda harus ikut? Kenapa Anda begitu memaksa?”Seorang pria tua kini menatap ke arah Ghiyas dengan tatapan kesal, namun sekaligus cemas. Beliau adalah direktur rumah sakit, yang sekarang berusaha membujuk Ghiyas agar tak ikut. Karena Ghiyas bisa dibilang dokter kesayangannya, yang tentu membuatnya tak mau Ghiyas ikut tugas relawan.“Saya harus ikut, Pak. Sejak saya magang di sini, saya belum pernah ikut tugas relawan. Nama saya selalu ada di bagian cadangan namun tidak pernah sekalipun saya turun sebagai relawan selain saat bencana alam.” Ghiyas meyakinkan pria tua yang selalu memperhatikannya itu.“Anda harusnya bersyukur karena tidak terpilih untuk menjadi relawan ke kota kecil itu. Tempat itu jauh dari kota. Agak sulit untuk mendapatkan sinyal dari sana. Anda punya istri sekarang, bagaimana Anda akan menghubungi istri Anda nanti di sana?” Direktur rumah sakit bersikeras juga.Ghiyas menghela nafasnya berat. Di