Ghiyas sedang duduk di meja kerjanya. Sedang membaca sebuah buku, Ghiyas tampak asyik sendiri. Sementara dari pintu kamar mandi yang ada di kamar, Naya muncul. Naya memegangi perutnya sambil menatapi suaminya itu. Naya membutuhkan bantuan Ghiyas saat itu.
“Mas!” panggil Naya.
“Hm?” Ghiyas menyahut tanpa menoleh ke arah Naya sama sekali.
“Mau minta tolong. Naya enggak ada pembalut,” ucap Naya.
Ghiyas kali ini menoleh, menatap Naya yang sedang memegangi perutnya di pintu kamar mandi.
“Kamu haid lagi?” tanya Ghiyas seraya menaruh bukunya dan segera membantu istrinya itu.
“Lagi apanya? Orang bulan ini belum, kok.”
“Maksudnya, lagi tiap bulan gitu. Belum ada bayinya, ya?” pikir Ghiyas seraya mendekati Naya.
“Belum, makanya sekarang haid. Tolong belikan pembalutnya, ya? Naya udah tembus soalnya. Yang malam satu paket, yang siangnya juga. Tapi belinya yang i
Di pagi lainnya, Naya sedang memakai syal di lehernya. Sementara Ghiyas tampak gelisah dan panik. Ghiyas mengambil barang bawaannya dan sepatunya menuju ke pintu apartemen. Dia menaruh sepatunya di bawah dan segera menggunakannya.Naya menghampirinya, suaminya sudah terburu-buru pagi itu. Karena Ghiyas bangun terlambat dan Naya terlalu sibuk di dapur hingga lupa membangunkan suaminya itu.“Rambut Mas berantakan.” Naya mengambil sisir dan segera merapikan rambut suaminya tersebut.“Enggak apa-apa.” Ghiyas menatap ke arah Naya singkat saat Naya inisiatif menyisirnya.“Mas salah kancing juga.” Naya memperhatikan bagaimana Ghiyas mengancingkan kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya.Ghiyas langsung menatap ke kemejanya. Naya benar. Dia salah mengancingkan bagian kerah dengan bagian bawahnya. Dan Ghiyas lantas langsung berdiri dan menghadap ke arah Naya setelah selesai menggunakan sepatunya. Begitu Ghi
Di akhir pekan, Naya dan Ghiyas tengah beristirahat bersama di apartemen mereka. Pagi itu, Naya sedang membuat kue dan Ghiyas tengah membantu Naya untuk memotong buah. Handphone Naya tiba-tiba berdering tanda telepon masuk, membuat Ghiyas segera mengambilkan handphonenya.“Nay, telepon, nih!” Ghiyas segera mendekati Naya dan menjawab telepon dari Mama Naya.“Siapa? Oh, Mama.” Naya mengambil handphonenya dan menaruhnya di telinganya.Sambil mengapit handphonenya tersebut dengan bahunya, Naya mulai bicara. “Iya, Ma?”[“Naya, kamu kapan ke rumah Mama lagi? Enggak kangen apa sama Mama?”]“Rencananya minggu depan, Ma. Naya kangen kok, sama Mama.”[“Kamu lagi ngapain di sana? Gimana kabar kamu? Ghiyas gimana kabarnya? Ada di rumah? Apa lagi di rumah sakit?”]“Alhamdulillah, Naya sama Mas Agi sehat di sini. Mas Agi juga hari ini enggak ada jadwal, jadi di rumah aja
“Jadi, kita enggak akan pindah?” tanya Naya sambil menatap Ghiyas dengan kecewa.“Maaf, tapi enggak untuk sekarang,” jawab Ghiyas sambil menggelengkan kepalanya.Naya yang sudah selesai sarapan akhirnya hanya menghela nafasnya. Gadis itu segera mengambil tasnya dan kemudian berpamitan untuk pergi lebih dulu pada Ghiyas. Dia salim pada suaminya itu.“Hati-hati di jalan, Sayang!” ucap Ghiyas sambil tersenyum menatapi istrinya itu.Naya hanya berdeham kecil dan segera keluar dari apartemen. Ghiyas kemudian bersiap juga untuk berangkat. Dia bisa datang agak siang hari ini. Dan beberapa saat setelah Naya berangkat, Ghiyas mendapati handphone istrinya di nakas, masih dalam keadaan diisi daya.Istrinya meninggalkan benda pipih itu. Membuat Ghiyas tersenyum sambil menggelengkan kepalanya kecil. Dan Ghiyas menaruh handphone Naya di sakunya, dia akan mengantarkannya.Berangkat bekerja dengan mobil, Ghiyas menuju ke
Karena jabat tangannya tak diterima Ghiyas yang dari tadi tampak melamun, belum lagi Naya memukul tangannya itu, Cherly akhirnya mengambil kembali tangannya. Dan dia menaruh kedua tangannya di depan dadanya, melipat dadanya sambil menatap Ghiyas.“Mau sampai kapan lo di sana? Mau jadi nyamuk? Ah, enggak. Lo lebih cocok jadi lalat.” Naya tersenyum sinis dan terkekeh sambil menatap ke bawah.Perkataan Naya agak kasar, dan Ghiyas baru pertama kali melihat Naya begini. Ini sisi asli Naya yang jarang dilihat Ghiyas. Ghiyas kini sadar, jika Naya memang tengah berhadapan dengan musuhnya.“Gue sekarang tahu wajah pacar lo,” bisik Cherly pada Naya, masih terdengar oleh Ghiyas.Cherly mendecih kemudian pergi dari sana dengan angkuhnya. Terlihat jelas, dia cemburu atas apa yang selalu dimiliki Naya. Termasuk memiliki Ghiyas, yang terlihat seperti punya kehidupan baik.Dan setelah dia pergi, Ghiyas menatap ke arah Naya sambil memegangi
“Kenapa Anda harus ikut? Kenapa Anda begitu memaksa?”Seorang pria tua kini menatap ke arah Ghiyas dengan tatapan kesal, namun sekaligus cemas. Beliau adalah direktur rumah sakit, yang sekarang berusaha membujuk Ghiyas agar tak ikut. Karena Ghiyas bisa dibilang dokter kesayangannya, yang tentu membuatnya tak mau Ghiyas ikut tugas relawan.“Saya harus ikut, Pak. Sejak saya magang di sini, saya belum pernah ikut tugas relawan. Nama saya selalu ada di bagian cadangan namun tidak pernah sekalipun saya turun sebagai relawan selain saat bencana alam.” Ghiyas meyakinkan pria tua yang selalu memperhatikannya itu.“Anda harusnya bersyukur karena tidak terpilih untuk menjadi relawan ke kota kecil itu. Tempat itu jauh dari kota. Agak sulit untuk mendapatkan sinyal dari sana. Anda punya istri sekarang, bagaimana Anda akan menghubungi istri Anda nanti di sana?” Direktur rumah sakit bersikeras juga.Ghiyas menghela nafasnya berat. Di
“Saran dari gue, lo mending minta maaf sama suami lo baik-baik. Terus, lo jelasin sejelas-jelasnya alasan lo. Kalau suami lo masih enggak ngerti, lo bawa-bawa masalah lo sama si Kadal Racun juga bisa. Intinya, coba ambil belas kasih suami lo. Kalau bisa, goda suami lo dengan menyentuh area tertentu. Lo tau, titik sensitif cowok. Lo pasti tau di mana aja kelemahan suami lo, kan?”Naya memegangi keningnya kala teringat saran dari sahabatnya itu. Dia berdiri di depan pintu apartemen Ghiyas sekarang. Naya kemudian menghembuskan nafasnya lewat mulut hingga pipinya menggembung. Dia sedang menyiapkan diri untuk menghadapi Ghiyas sekarang.Diraihnya pintu apartemen dan Naya memasukkan pin apartemennya. Dia membuka pintu, sayangnya dia tak menemukan sosok Ghiyas. Lantas itu membuatnya berpikir jika Ghiyas di kamar.“Mas Agi, Naya pulang.” Malam itu, suasana apartemen lebih sepi dari biasanya.Naya membuka pintu kamar, dan tak mendapati siap
Naya meminum red velvet yang sering dia pesan di kafe dekat rumah sakit. Rendi dan Gabby sekarang tengah memesan makanan untuk makan malam mereka. Di tengah malam, kafe itu tetap buka. Dan terlihat memang masih ada pengunjung yang datang di tengah malam.“Jadi, dia enggak mengabari kamu tentang tugas relawan? Agak aneh juga, dia tiba-tiba datang di luar shift waktu itu terus bilang kalau mau ikut buat tugas relawan. Kevin kegirangan karena itu.”Gabby menatap ke arah Naya yang sekarang dia sadari apa yang membuat Ghiyas tergila-gila padanya. Ya, dia melihat bagaimana polosnya tatapan gadis itu. Entah polos apa bego.“Enggak. Tugasnya di mana? Kota mana? Kapan pulang?” tanya Naya lagi.“Jauh, sangat jauh. Kamu tahu kota Z? Di kota sana, tapi enggak di kotanya juga. Di pedalaman gitu. Untuk survei kondisi kesehatan di sana dan beberapa penelitian juga,” jawab Rendi.“Soal pulangnya, kita enggak tahu. Tapi bia
Naya memegangi perutnya dan mengeluarkan sarapannya pagi itu di kamar mandi. Tangannya mencengkeram kuat wastafel kamar mandi. Dia membasuh bibirnya dengan air mengalir.Gadis itu menatap ke cermin dan melihat dirinya sendiri, yang tampak agak pucat pagi itu. Naya lantas memegangi keningnya, terasa agak panas. Dia mungkin sakit karena angin-anginan.Mengingat handphone masih terhubung dengan ibu mertuanya, Naya segera keluar dari kamar mandi. Dan benar saja, kelihatannya mertua gadis itu masih menunggu dengan sabar.[“Naya? Udah, Sayang?”] Suara yang sangat lembut itu membuat Naya segera mendekat.“Iya, Bu? Udah.” Naya mengusap sekitar bibirnya yang basah dengan lengan bajunya.[“Kamu mual? Apa kamu lagi hamil?”]“Ah, enggak, Bu. Kayaknya karena semalam Naya nyetir dengan kaca terbuka. Naya masuk angin.”[“Kamu yakin? Duh, mana Agi enggak ada. Kalau kamu kenapa-napa gimana, coba? A