Share

Bab 3. Lepaskan Celana Dalammu!

Adrian terbangun akibat sinar matahari yang menyapu wajahnya dengan lembut. Dia berbalik di tempat tidur dan melihat Briella tidur di sampingnya. Wajah Briella yang damai dan tenang membuat Adrian terpesona. Dalam hati, Adrian tidak bisa menolak mengakui bahwa istrinya memang sangat cantik dan menakjubkan. Rambut merah Briella terurai di atas bantal, bibirnya yang tipis sedikit terbuka, dan kulitnya yang putih bersinar di bawah cahaya pagi.

“Andai saja kau bukan putri Miles Moretti.” Sesaat, Adrian merasa hatinya melunak. Ada perasaan hangat yang mengalir di dadanya ketika dia melihat Briella. Namun, perasaan itu segera digantikan oleh kebingungan dan kekesalan. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan atau ketertarikan pada Briella.

Tidak, dia harus tetap kuat dan melanjutkan misinya. Adrian mengingatkan lagi dirinya, bahwa dia menikahi Briella untuk balas dendam. Tentu saja dia tidak boleh sampai jatuh hati ke perempuan ini.

Briella mulai bergerak pelan, tanda-tanda dia akan terbangun. Saat matanya terbuka perlahan, dia menangkap basah Adrian sedang memandanginya. Briella tersenyum lembut, tetapi senyumnya segera memudar ketika melihat ekspresi wajah Adrian berubah menjadi dingin dan kasar.

“Apa yang kau lihat?” bentak Adrian dengan suara yang tiba-tiba tajam.

Briella terkejut dan terdiam sejenak. “Aku ... aku hanya—”

“Kenapa kau masih di tempat tidur? Seharusnya kau sudah bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan serta pakaian kerjaku!” Adrian bangkit dari tempat tidur dengan cepat, wajahnya penuh kemarahan.

Briella tergagap, berusaha menjelaskan. “Aku ... aku tidak tahu, maafkan aku. Aku akan segera bangun dan menyiapkan semuanya.”

“Kau pikir ini lelucon? Sebagai istri, tugasmu adalah melayani suamimu! Jangan membuatku menyesal telah menikahimu, Briella Moretti!” Adrian berjalan ke lemari dan mengambil pakaian kerjanya dengan kasar, melemparkannya ke atas tempat tidur.

Briella merasa air matanya mengalir, tetapi dia menahannya. Dia tidak ingin menunjukkan tangisnya di hadapan Adrian. Dengan cepat, dia bangkit dari tempat tidur dan mulai mengenakan pakaian sederhana. “Aku akan segera menyiapkan sarapan,” ucapnya pelan.

Adrian menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Lakukan itu. Pastikan ini tidak terjadi lagi.”

Briella mengangguk, lalu bergegas menuju kamar mandi dengan tubuh hanya terlilit selimut. Langkah Briella gontai, ada sensasi nyeri dan pedih masih cukup menyengat di area kewanitaannya. Jangan ditanya malam seperti apa yang Briella lewati kemarin.

Adrian tanpa ampun menyetubuhinya. Setelah merobek selaput darah keperawanan Briella dengan hentakan kerasnya, Adrian terus melakukannya lagi dan lagi sampai menjelang pagi. Briella masih ingat dengan jelas bagaimana kedua kakinya sampai gemetaran dan pandangannya berkabut karena kewalahan melayani sang suami.

Kini, pagi-pagi sekali dia dituntut untuk bangun dan menyiapkan segala kebutuhan Adrian. Jujur saja, Briella butuh sedikit lebih banyak waktu untuk memulihkan diri. Kepalanya masih sangat pusing, badannya cukup lemas. Namun, karena ingin menjadi istri dan menantu yang baik untuk keluarga Maven membuat Briella wajib tak mengeluh.

Saat Briella memasuki dapur, dia melihat Aster, salah satu asisten rumah tangga yang kemarin mengantarnya ke kamar Adrian. Aster sedang menyiapkan sarapan bersama beberapa asisten lainnya. Mengenal Aster di rumah ini adalah salah satu hal yang Briella syukuri, Aster adalah wanita paruh baya yang ramah dan penuh senyum. Dia menyapa Briella dengan hangat.

“Selamat pagi, Nyonya Maven,” sapa Aster sambil tersenyum. “Bagaimana tidurmu tadi malam?”

“Selamat pagi, Aster. Tidurku baik, terima kasih,” jawab Briella dengan suara lembut, berusaha menyembunyikan kondisinya yang tidak baik-baik saja.

“Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” tanya Aster dengan sopan.

“Aku ingin menyiapkan sarapan untuk Adrian,” kata Briella, mencoba terdengar percaya diri meskipun hatinya masih terasa berat. “Bisakah kau membantuku?”

“Oh, tentu saja. Mari saya bantu,” jawab Aster dengan ramah, lalu mulai menunjukkan kepada Briella bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan.

Selama proses itu, Aster memberi tahu Briella tentang makanan kesukaan Adrian, kebiasaannya di pagi hari, dan apa yang tidak disukainya. Briella mendengarkan dengan saksama, mencatat setiap detail dalam pikirannya. Dia ingin memastikan sarapan yang dia siapkan sempurna dan sesuai selera suaminya.

Dengan bantuan dan bimbingan Aster, Briella bisa cepat belajar dan dalam waktu singkat. Dia berhasil menyiapkan sarapan yang lengkap dan menarik. Roti panggang dengan mentega, telur dadar dengan sayuran, dan secangkir kopi hitam kental. Saat Adrian duduk di meja makan dan mencicipi sarapan yang disiapkan Briella, dia terlihat sangat puas.

“Apa Aster yang memasak semua ini?”

“I-itu, aku menyiapkan semua sendiri. Eumm, yah, Aster banyak membantuku untuk beberapa hal lain.” Briella mencoba mengatakan yang sebenarnya.

“Begitukah?” ucap Adrian dengan nada datar, meskipun dalam hatinya dia merasa terkesan. “Kau cukup cepat belajar.”

“Terima kasih, Adrian. Aku senang jika kau menyukainya,” jawab Briella, merasa sedikit lega.

Namun, di sisi lain, Adrian merasa kesal karena Briella begitu cepat bisa mengambil hatinya. Dia tidak ingin perasaan ini berkembang, tidak ingin kelembutan Briella mempengaruhinya. Tanpa alasan yang jelas, Adrian memutuskan untuk bersikap lebih keras.

“Setelah selesai sarapan, datang ke ruang kerja,” kata Adrian tiba-tiba.

Briella terkejut mendengar nada dingin dalam suara suaminya. “Ada apa, Adrian?”

“Aku perlu menghukummu karena kau bangun lebih siang daripada suamimu,” jawab Adrian dengan tegas, membuat Briella terdiam.

Briella merasakan ketakutan mengalir dalam dirinya, tetapi dia mengangguk patuh. “Baik, Adrian.”

Setelah selesai sarapan, Adrian pergi menuju ruang kerja, meninggalkan Briella yang masih sibuk mengatasi hatinya yang berdebar. Briella kesulitan menelan makanan karena dia tidak tahu hukuman apa yang menantinya.

“Kurasa Adrian terlalu keras padamu.” Sebuah suara terdengar, membuat Briella menoleh.

Begitu sadar bahwa ibu Adrian berdiri di belakangnya, Briella langsung berdiri dan menyapa dengan hormat. “Selamat pagi, Nyonya.”

“Kau sudah menikah dengan putraku, kenapa panggil nyonya? Panggil aku Mommy, sekarang aku menjadi ibumu juga, Briella Maven,” ujar Rosalie, ibu kandung Adrian.

Hati Briella menghangat. Dia sempat berpikir ibu Adrian akan membencinya karena dia putri dari keluarga yang sudah bangkrut, ternyata Rosalie sangat baik padanya. “Terima kasih, Mom.”

“Sekarang makanlah dengan tenang, kau butuh tenaga untuk menghadapi Adrian. Aku akan berjalan-jalan ke taman untuk melihat tanamanku.”

“Baik, Mom. Sampai jumpa.”

Rosalie pergi. Briella merasa ucapan Rosalie ada benarnya, dia harus makan yang banyak dan tetap sehat agar kuat menghadapi sosok Adrian yang hobi menyulitkannya.

Briella menghela napas panjang sebelum berdiri dari meja makan. Dengan hati yang berdebar, dia mulai berjalan menuju ruang kerja Adrian. Mansion keluarga Maven begitu luas dan megah, mencerminkan kekayaan dan kemewahan keluarga tersebut.

Langkah-langkah Briella terdengar pelan di atas lantai marmer yang dingin dan mengkilap, setiap langkahnya memberikan gema halus di lorong-lorong besar mansion. Dari ruang makan keluarga, Briella harus melewati beberapa koridor panjang yang dihiasi dengan berbagai karya seni dan perabotan antik.

Dinding-dinding dipenuhi lukisan-lukisan klasik yang menggambarkan pemandangan alam, potret keluarga, dan adegan-adegan sejarah yang megah. Beberapa patung marmer yang elegan ditempatkan dengan hati-hati di sudut-sudut ruangan, memberikan sentuhan artistik yang halus.

Saat Briella melangkah lebih jauh, dia melewati deretan jendela kaca besar yang membentang dari lantai hingga langit-langit. Cahaya matahari pagi menembus kaca, memandikan koridor dengan sinar keemasan yang hangat. Melalui jendela-jendela itu, Briella bisa melihat taman mansion yang begitu indah. Taman itu dihiasi dengan berbagai jenis bunga yang bermekaran, pohon-pohon yang rimbun, dan air mancur marmer yang gemericik lembut.

Briella berhenti sejenak, terpesona oleh keindahan taman tersebut. Burung-burung berkicau riang di antara cabang-cabang pohon, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang harum. Taman itu begitu tenang dan damai, sebuah kontras yang tajam dengan ketegangan yang dia rasakan di dalam mansion.

Meneruskan perjalanannya, Briella melewati sebuah aula besar dengan langit-langit yang tinggi dan dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan. Aula ini sering digunakan untuk acara-acara keluarga dan pertemuan penting, menambah kesan megah dan mewah pada mansion ini. Langkahnya berlanjut melalui koridor lain yang dipenuhi dengan rak-rak buku kayu yang menjulang tinggi, penuh dengan buku-buku berharga dan manuskrip kuno.

Akhirnya, Briella tiba di depan pintu ruang kerja Adrian. Pintu kayu besar itu terlihat kokoh dan mengesankan, dengan ukiran rumit di permukaannya. Briella mengumpulkan keberaniannya dan mengetuk pintu dengan lembut.

“Masuk,” suara Adrian terdengar dari dalam ruangan.

Briella membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. Ruang kerja Adrian begitu besar dan rapi, dindingnya dipenuhi dengan rak buku yang penuh dengan berbagai literatur dan dokumen. Di tengah ruangan, ada meja kayu besar yang dipenuhi dengan tumpukan kertas dan alat tulis. Adrian duduk di balik meja itu, tatapannya tajam dan penuh wibawa.

Adrian memandangnya sejenak sebelum berbicara. “Apa kau memakai celana dalam?”

“Apa? Celana dalam?” Setelah sempat terkejut, akhirnya Briella mengangguk pelan. Dia merasakan ketegangan yang semakin meningkat.

“Lepaskan celana dalammu, dan berikan padaku. Sekarang!” titah Adrian yang sontak membuat Briella terkejut bukan main.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Halima Limah
waduh celana dalam...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status