“Cepat ikuti aku.”
Jantung Briella berdebar kencang saat kata-kata dingin Adrian terdengar menakutkan di telinganya. Adrian akan memberikan hukuman karena Briella pulang terlambat, tentu saja itu membuatnya merinding. Dia mengikuti langkah sang suami yang penuh tujuan, pikirannya dipenuhi rasa takut dan kecemasan. Hukuman apa yang akan diberikan kali ini? Apakah akan sehina dan semerendahkan seperti yang dia alami di ruang kerja tadi?
Koridor seolah lebih panjang dari biasanya saat mereka berjalan menuju kamar mereka. Kemegahan mansion, dengan langit-langit tinggi dan dekorasi elegan, terasa menekan daripada menenangkan. Setiap langkah yang diambil Briella terasa semakin berat, tubuhnya dibebani oleh ketakutan akan apa yang akan terjadi.
Adrian membuka pintu kamar mereka dan menepi, membiarkan Briella masuk lebih dulu. Dia ragu sejenak, matanya melirik wajah Adrian, mencoba membaca niatnya. Namun ekspresi pria itu tak terbaca, tatapannya dingin dan keras. Dia melangkah masuk, napasnya tertahan di tenggorokan saat menunggu langkah Adrian berikutnya.
Adrian mengikutinya masuk, menutup pintu di belakang mereka. Matanya menjelajahi tubuh Briella dari ujung kaki hingga ujung rambut merahnya yang acak-acakan, berhenti pada tatapan takut di mata si istri. Pergolakan batin yang kuat sedang Adrian alami. Dia merasa terombang-ambing antara keinginan untuk meniduri Briella dan tekad untuk balas dendam.
Kenapa dirinya begitu bernafsu pada Briella? Apakah dia tertarik pada Briella? Adrian mencoba memecahkan teka-teki itu seharian ini, dan jawaban yang dia dapatkan, yah, mungkin saja dia begini karena Briella seperti mainan baru baginya. Bisa saja Adrian masih kemaruk dan terlalu bersemangat, dia cukup yakin semakin lama dirinya akan bosan dan kehilangan hasrat pada Briella Moretti. Dan kali ini, untuk menjaga hatinya tetap keras terhadap Briella, Adrian harus menekan kebutuhaan biologisnya.
Briella berdiri kaku, tubuhnya gemetar. Dia berharap hukuman kali ini tidak seburuk yang dia bayangkan.
Adrian akhirnya berkata dengan suara tegas, “Aku benci mencuim aroma Hunter yang menempel di tubuhmu, jadi kau akan kukurung di kamar mandi sampai besok pagi. Pastikan kau keluar dari sana dalam kondisi bersih dan wangi.”
Briella merasa lega dan sedikit bersyukur saat mendengar keputusan Adrian. Setidaknya malam ini dia bisa tidur nyenyak di jacuzzi, tanpa harus kelelahan melayani nafsu suaminya. Dia berjalan menuju kamar mandi kamar mereka yang mewah, berusaha mengendalikan ketakutannya. Setelah masuk ke dalam kamar mandi, Briella duduk di tepi bathtub, menghela napas panjang. Meskipun hukuman ini tetap saja menyakitkan, setidaknya dia tidak harus menghadapi kekerasan Adrian malam ini.
Sementara itu, Adrian berbaring di tempat tidurnya, berusaha keras untuk tidur, tetapi pikirannya terus-menerus memikirkan Briella yang dia kurung di kamar mandi. Dia bangkit berkali-kali, berjalan ke arah pintu kamar mandi dan nyaris membukanya, tetapi Adrian sekuat hati menahan diri.
Adrian khirnya memutuskan untuk pergi ke ruang kerja, mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Namun, meskipun dikelilingi oleh tumpukan dokumen, pikirannya tetap melayang kembali ke Briella. Adrian bekerja hingga larut malam, berharap kelelahan akan membuatnya tertidur.
Keesokan paginya, Aster yang pertama menemukan Briella tergeletak di lantai kamar mandi. Briella demam tinggi dan lemas, kehilangan kesadaran. Aster segera melaporkan kondisi Briella ke Rosalie Maven. Hunter, yang kebetulan sedang datang untuk sarapan, mendengar laporan itu. Tanpa berpikir dua kali, dia berlari menuju kamar Adrian.
Saat Hunter sampai di sana, Adrian baru saja keluar dari ruang kerja. Hati Adrian panas melihat Hunter mengangkat Briella dengan penuh perhatian dan membawanya ke ranjang. Adrian hanya bisa berdiri diam saat Hunter menyelimuti Briella dan memanggil dokter keluarga mereka.
“Apa yang kau lakukan pada Briella?” tanya Hunter dengan penekanan yang tegas. Mata pemuda itu penuh kekhawatiran.
Adrian merasa dadanya sesak mendengar pertanyaan yang diberikan Hunter.
“Aku mengurungnya di kamar mandi. Itu hukuman karena dia pulang terlambat.”
Adrian tahu bahwa dia yang menyebabkan Briella dalam kondisi seperti itu, tetapi melihat Hunter merawat Briella membuatnya merasa cemburu dan marah pada dirinya sendiri.
Hunter menatap Adrian dengan tatapan tajam. “Kau tidak seharusnya memperlakukan istrimu seperti ini.”
Adrian menatap Hunter dengan mata tajam, penuh kemarahan. “Hunter, tinggalkan kamarku sekarang. Aku bisa mengurus istriku sendiri.”
Hunter menatap balik dengan tatapan marah. “Mengurus? Kau mengurungnya di kamar mandi semalaman, Adrian! Lihat apa yang kau lakukan padanya. Dia bahkan melalui hari yang berat kemarin, sampai tidak sempat makan malam.”
Kemarahan Adrian memuncak. “Dia istriku. Bukan urusanmu untuk ikut campur,” katanya dengan suara rendah tetapi penuh dengan ancaman.
Hunter maju selangkah, mendekati Adrian. “Kau sudah keterlaluan, Adrian. Briella tidak pantas diperlakukan seperti ini. Dia manusia, bukan boneka yang bisa kau sakiti sesuka hatimu.”
Adrian mendekatkan wajahnya ke wajah Hunter, menantang. “Aku peringatkan kau, Hunter. Ini adalah urusanku dan Briella, bukan urusanmu.”
Ketegangan di antara mereka semakin meningkat, suasana semakin panas. Rosalie yang mendengar keributan itu segera masuk ke kamar. “Apa yang kalian lakukan? Berhenti bertengkar!”
Rosalie berdiri di antara kedua putranya, mencoba melerai. “Hunter, tinggalkan kamar untuk saat ini. Adrian, kau harus tenang. Kita perlu fokus pada Briella sekarang, bukan bertengkar.”
Hunter dengan enggan melangkah mundur, tetapi tidak sebelum memberikan tatapan tajam terakhir kepada Adrian. “Jika kau menyakitinya lagi, Adrian, aku tidak akan tinggal diam.”
Adrian menghela napas berat, matanya masih menyala dengan kemarahan. Namun, dia tahu bahwa saat ini fokusnya harus pada Briella. Rosalie menatap kedua putranya dengan rasa frustasi, tetapi kemudian beralih kepada Briella yang terbaring lemah di ranjang.
“Adrian, pastikan kau merawatnya dengan baik,” kata Rosalie dengan tegas sebelum berbalik keluar kamar bersama Hunter.
Adrian mendekati Briella yang terbaring lemah di ranjang, merasa campuran antara penyesalan dan kemarahan. Dia menyentuh dahi Briella yang panas dengan jemarinya, merasakan demam yang tinggi. “Briella, kau lemah sekali. Bagaimana kau bisa menghadapi pembalasanku dengan tubuh selemah ini?”
Briella mengerjap perlahan, berusaha membuka mata. “Pembalasan? Pembalasan apa yang kau maksud, Adrian?” tanyanya dengan suara serak dan lemah.
Adrian terkejut mendengar pertanyaan itu. Dia langsung menarik diri dan memalingkan muka, mencoba menyembunyikan rasa panik dan kebingungannya. “Bukan apa-apa,” katanya, berusaha agar suaranya tetap tenang. “Kau hanya berhalusinasi karena demam.”
Namun, Briella terus menatapnya dengan tatapan penuh tanya. Sebelum Adrian sempat berpikir untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, pintu kamar terbuka dan dokter keluarga mereka masuk bersama Aster.
“Tuan Adrian, saya datang untuk memeriksa Nyonya Briella,” kata dokter itu dengan sopan.
Adrian merasa lega dengan kehadiran dokter. “Silakan, Dokter. Pastikan dia mendapat perawatan yang terbaik,” jawabnya, mundur memberi ruang bagi dokter untuk bekerja.
Dokter segera memeriksa kondisi Briella, sementara Adrian berdiri di sudut ruangan, merasa hatinya berat. Tatapan Briella yang penuh pertanyaan masih terbayang di pikirannya, membuatnya semakin bingung dengan perasaannya sendiri.
Setelah beberapa menit, dokter selesai memeriksa Briella dan berbalik menghadap Adrian. “Nyonya Briella mengalami demam tinggi, tapi tidak ada yang terlalu serius. Dia hanya butuh istirahat dan perawatan yang baik. Saya akan memberikan resep obat untuk menurunkan demamnya.”
Adrian mengangguk. “Terima kasih, Dokter. Saya akan memastikan dia mendapat istirahat yang diperlukan.”
Dokter memberikan beberapa instruksi kepada Aster sebelum keluar dari kamar. Briella menatap Adrian dengan lemah, tapi tatapannya masih menyiratkan banyak pertanyaan yang belum terjawab.
“Adrian, apakah aku melakukan kesalahan besar padamu?” bisik Briella, sebelum matanya mulai terpejam karena kelelahan.
Adrian terdiam, hatinya berperang antara keinginan untuk membalas dendam dan perasaan yang semakin tumbuh terhadap Briella. “Istirahatlah. Aku akan memastikan kau mendapatkan perawatan yang baik,” katanya dengan suara lebih lembut berbeda dari biasanya. “Kau harus segera pulih agar aku bisa melanjutkan tugasku lagi.”
Selama Briella sakit, Adrian merawatnya dengan baik meskipun tetap dengan sikapnya yang dingin dan seolah tidak peduli. Setiap pagi, dia memastikan Briella mendapatkan obatnya tepat waktu dan memantau keadaannya, meski dia selalu menjaga jarak emosional.“Minumlah obat ini,” kata Adrian dengan suara datar sambil menyerahkan segelas air dan pil kepada Briella. “Kau harus cepat sembuh.”Briella menatap Adrian dengan penuh rasa terima kasih, namun juga ada rasa kebingungan yang terlintas di matanya. “Adrian, tentang pembalasan yang kau sebutkan kemarin, bisakah kau jelaskan padaku?” tanyanya dengan suara lemah.Adrian menatapnya sebentar, lalu memalingkan muka. “Kita bicarakan itu begitu kau pulih,” jawabnya singkat sebelum pergi dari kamar.Setiap kali Briella mencoba membahas topik yang sama, Adrian selalu memberikan jawaban yang sama. “Nanti, setelah kau pulih,” katanya, kemudian meninggalkan ruangan dengan cepat.Hari demi hari, keadaan Briella semakin membaik. Meski begitu, Adrian t
Briella berdiri terpaku di depan Adrian, air matanya masih mengalir di pipinya. “Adrian,” katanya dengan suara gemetar namun tegas, “Aku akan menanggung semua kesalahan ayahku. Jika kau ingin membalaskan dendam, lakukan padaku. Aku akan menerima semuanya dengan sabar dan lapang dada.”Adrian menatap Briella sejenak, lalu tertawa sinis. “Tekad konyolmu itu menggelikan,” ejeknya. “Aku berani bertaruh, kau tidak akan tahan tinggal bahkan satu bulan saja di mansion ini.”Briella tidak merespons ejekan Adrian, hanya menundukkan kepala dan menarik napas panjang. Dia sudah memutuskan untuk menghadapi semua ini, apa pun yang terjadi.“Aku tidak akan pergi bagaimanapun kau perlakukan aku. Kecuali … kecuali kau sendiri yang mengusirku.” Briella pamit pergi meninggalkan ruang kerja setelah perbincangan itu. Dia menemani Rosalie merangkai bunga, lalu setelah itu Briella bersiap untuk makan malam bersama keluarga Maven. Sementara Adrian masih terpaku di tempatnya tak berkata apa pun selain tatapan
Saat dokter memberi tahu Briella bahwa dirinya sedang hamil dan akan menjadi seorang ibu, Briella merasa dunia seakan berputar lebih cepat. Perasaan takut dan bingung menguasai dirinya, hingga dia tak tahu harus berkata apa. Dia terdiam, tubuhnya gemetar. Rasa bahagia bercampur dengan ketakutan yang luar biasa. Dia tahu betapa kompleks hubungan mereka dan betapa rumit situasinya saat ini.Aster yang berada di sampingnya juga tampak terkejut. “Tuan Adrian harus segera diberi tahu,” katanya dengan nada ceria, tapi lembut. “Ini kabar penting, Nyonya.”Briella segera memegang tangan Aster, memohon dengan mata yang penuh kecemasan. “Tidak, Aster, tolong. Jangan beri tahu Adrian.”Aster tampak bingung. “Tapi, Nyonya, ini adalah kabar besar. Tuan Adrian harus tahu bahwa dia akan menjadi seorang ayah.”Briella menggelengkan kepala, matanya mulai berkaca-kaca. “Tidak, Aster. Aku mohon, jangan beritahu dia. Adrian ... dia mungkin tidak akan senang mendengar kabar ini. Dia mungkin akan marah pad
“Nyonya, Tuan Adrian memanggil Anda.” Ben sudah berdiri di depan kamar Briella setelah perempuan itu kembali dari sarapan.Briella mengangguk merespon ucapan Ben. Ya, hari ini, Adrian masih tidak berhenti mengusik Briella. Pria itu meminta Ben memanggilnya ke ruang kerja. Saat Briella tiba, Adrian menatapnya sejenak sebelum memberikan setumpuk dokumen di atas meja.“Kau memanggilku, Adrian?” tanya Briella lembut.“Catat ini semua dalam laporan dan klasifikasikan berdasarkan tanggal,” perintah Adrian dengan nada datar. “Pastikan semuanya selesai hari ini.”Briella mengangguk, merasa canggung tapi menerima tugas itu tanpa mengeluh. Dia tahu Adrian pasti ingin menyusahkannya sepanjang hari. Saat Briella mulai bekerja, Adrian diam-diam memperhatikan perempuan itu dari meja kerjanya. Dia heran kenapa Briella, yang merupakan seorang anak bangsawan, sama sekali tidak menunjukkan sifat manja. Briella mengerjakan pekerjaan yang Adrian berikan dengan tekun dan cermat, mengisi laporan dan mengkl
Saat Adrian meninggalkan Briella bersama Hunter di tempat berkuda, Briella merasa tertekan dan bingung. Hunter mendekat dan melihat kesedihan di wajah Briella. Dia memutuskan untuk mengutarakan sesuatu yang telah dia dengar secara tidak sengaja.“Briella,” Hunter memulai dengan lembut. “Maaf, tapi tadi, aku tanpa sengaja mendengar percakapanmu dengan Aster. Aku sudah tahu kau sedang hamil, karena itu aku mengikuti kalian ke mari untuk membantumu.”Briella terkejut dan merasa cemas. Dia mencoba menenangkan diri, tapi air matanya mulai mengalir. “Hunter, aku ... Aku takut Adrian tidak akan senang mendengar kabar ini. Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan semua padanya.”Hunter menatap Briella dengan penuh simpati. “Kenapa kau tidak membiarkan Adrian tahu tentang kehamilanmu? Dia adalah ayah dari anak yang kau kandung.”Briella menghela napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk jujur. Sambil menangis, dia berkata, “Kau tahu Hunter, ternyata ayahku adalah dalang dari ke
“Bisakah malam ini kita hanya tidur? Kau tahu aku baru sembuh, kumohon beri aku waktu untuk memulihkan tenaga.” Briella mencoba negosiasi dengan takut-takut setelah mengenakan gaun tidur seksi berwarna merah sesuai perintah Adrian.Sudah berhari-hari Adrian ingin bercinta dengan Briella dan menghukumnya pada saat yang sama. Kini setelah sekian lama menahan hasrat, bisa-bisanya Briella tampak ingin kabur? Jujur saja, Adrian begitu menikmati wajah tertekan dan ketakutan yang kini Briella sajikan. Jika bisa, Adrian ingin mengikat istrinya, mengurungnya, agar tampak semakin menyedihkan lagi. Selain itu, Adrian tak bisa jauh dari Briella, dia tak bisa membiarkan apa pun menghalangi kepemilikannya atas Briella Moretti.Rambut Briella yang sedikit kemerahan terlihat kusut dan seksi tergerai di sekitar bahunya, pipi dan bibirnya memerah karena udara musim semi yang masih cukup dingin. Dalam sekali tarik Adrian dapat melucuti tubuh Briella yang molek dari gaun malamnya tadi. “Adrian, kumohon.
Keesokan harinya, Aster masuk ke kamar Briella untuk membantunya bersiap-siap. Saat membuka pintu, dia terkejut melihat keadaan majikannya. Briella terbaring di ranjang, terbungkus selimut, tanpa pakaian, dengan banyak tanda merah hasil kreasi bibir Adrian dari leher hingga perutnya. Rambut Briella acak-acakan, peluh masih menempel di sana-sini, dan tubuhnya terlihat lemas tak bertenaga.Aster segera menghampiri dan membantu Briella berpakaian serta membersihkan diri. “Nyonya, apa yang terjadi semalam?” tanya Aster dengan suara penuh kekhawatiran.Briella mencoba tersenyum lemah meskipun rasa sakit masih terasa di tubuhnya. “Adrian menggunakan haknya sebagai suami, tentu saja aku harus melayaninya.”Aster mengerutkan kening. “Tapi, Nyonya, saya khawatir dengan kondisi kandungan Anda. Apakah Anda merasa baik-baik saja?”Briella mencoba meyakinkan Aster. “Aku yakin bayiku akan baik-baik saja, Aster. Dokter Park bilang janinku cukup kuat.”Namun, saat Briella pergi ke kamar mandi untuk b
Malam itu, suasana di ruang makan terasa berbeda. Adrian duduk di ujung meja panjang yang dihiasi dengan lilin-lilin mewah dan peralatan makan perak. Namun, kursi di sebelahnya yang biasanya ditempati Briella kosong. Di seberang meja, Hunter duduk sambil tersenyum sinis.Adrian melirik ke kursi kosong itu dengan alis berkerut. “Di mana Briella?” tanyanya tajam pada Aster yang sedang menuangkan anggur ke dalam gelasnya.Aster terdiam sejenak, tampak gugup. “Nyonya Briella diajak oleh Nyonya Rosalie ke panti untuk acara bakti sosial yang rutin diadakan keluarga Maven.”Adrian menggeram pelan, wajahnya memerah karena menahan marah. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?”Aster menunduk, tidak berani menatap langsung ke mata Adrian. “Maaf, Tuan Adrian. Saya kira Anda sudah mengetahuinya.”Hunter yang duduk tenang sambil mengaduk supnya, menyeringai melihat kekesalan sang kakak. “Kau tampak kesepian, Adrian. Apa aku perlu menginap di kamarmu malam ini? Siapa tahu kau butuh teman