Briella tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Jangan khawatir, ini air mata bahagia. Kau ... kau sering kali kasar, terburu-buru. Tapi sekarang, setiap sentuhanmu penuh cinta, penuh perhatian. Kau benar-benar telah berubah, Adrian.”Ini bukan pertama kali bagi Briella disentuh Adrian sejak mereka kembali bersatu. Sentuhan Adrian sekarang penuh dengan kelembutan dan penuh cinta. Berbeda dengan dulu yang penuh nafsu seakan dirinya adalah budak seks.Mata Adrian melembut, dia menarik Briella lebih dekat, mengecup dahinya dengan lembut. “Aku menyesali banyak hal, Briella. Dulu aku terlalu dibutakan oleh amarah dan dendam, tapi sekarang aku hanya ingin kau merasakan betapa aku mencintaimu, betapa berartinya dirimu bagiku. Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi.”Kata-kata Adrian yang tulus itu menusuk hati Briella, membuatnya tidak bisa menahan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Ini adalah air mata kebahagiaan, air mata yang berasal dari perasaan mendalam bahwa cinta sejati mereka
Senyum seringai Adrian terbentang begitu saja setelah mendengar ucapan istrinya. Dia menarik Briella mendekat, tangan Adrian yang kuat meluncur ke bawah punggungnya. Mencengkeram bokong Briella yang membulat.Tanpa keraguan Adrian menekan batangnya yang keras ke arah kewanitaan si istri. Briella tersentak senang saat Adrian menggesek miliknya. Pria tampan itu menangkup pipi Briella, menghadiahkan ciuman lapar sehingga bibir mereka terkunci dalam ciuman yang penuh nafsu.Briella melepaskan ciuman itu, terengah-engah. “Adrian,” bisiknya, matanya berkilauan karena hasrat. “Kumohon segeralah masuk. Aku membutuhkanmu.”“Aku juga membutuhkanmu, Sayang,” jawab Adrian serak.Ciuman penuh gairah mereka semakin dalam, dan tangan mereka menjelajahi tubuh masing-masing. Membelai setiap inci. Adrian menangkup payudara penuh Briella, menggoda putingnya yang mengeras dengan ibu jari.Briella mengerang, melengkungkan punggung ke arah Adrian. Dia mengusap dada suaminya, turun ke perut Adrian yang liat
Satu tahun kemudian …Sesampainya di rumah sakit, Adrian merasakan detak jantungnya semakin cepat. Langkah-langkahnya yang biasanya mantap kini terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban kekhawatiran yang tak terukur.Ruang bersalin berada di ujung koridor, tapi jarak yang harus ditempuhnya terasa seperti berpuluh-puluh mil. Cahaya lampu yang seharusnya menenangkan justru tampak suram di matanya. Dia tak bisa berpikir jernih—yang ada hanya ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di balik pintu ruang bersalin itu.Saat akhirnya Adrian tiba di depan pintu, dia menemukan Rosalie sedang duduk di kursi tunggu. Wajah wanita paruh baya itu tampak pucat meski dia berusaha menyembunyikan kecemasannya. Rosalie yang melihat Adrian mendekat, dia berdiri dan mencoba tersenyum, tapi kegelisahan tetap terpancar di matanya.“Bagaimana keadaannya?” tanya Adrian dengan nada cemas, suaranya bergetar meski dia berusaha terdengar tegar.Rosalie mendekatinya, menyentuh lengannya dengan lembut.
“Kau cantik sekali, Briella,” puji Signore Giuseppe, paman Briella sambil mengulurkan lengannya, siap menuntun sang keponakan menuju altar.“Terima kasih, Paman.”Signore Giuseppe tersenyum haru. “Siapa sangka kau akan seberuntung ini. Saat keluargamu bangkrut dan ayahmu masuk rumah sakit jiwa, Paman sedih sekali harus membawamu ke Alba untuk tinggal bersama kami, membantu kami mengurus kebun anggur. Kau yang biasa hidup mewah, tiba-tiba harus menjadi anak petani biasa.”“Jangan bilang begitu, Paman. Aku sangat bersyukur karena kau mau menampungku saat semua yang kami kenal bahkan tidak sudi mengangkat teleponku setelah ayah bangkrut.”“Kau tau, Briella … saat mendengar pria dari keluarga Maven melamarmu dan akan membawamu kembali ke Milan, Paman sangat senang sampai rasanya akan terbang.” Signore Giuseppe antusias menceritakan kegembiraannya.Briella mengangguk, dia ikut bahagia jika pamannya bahagia. Tidak peduli dengan siapa dia akan menikah hari ini, yang penting Briella tidak lag
“Kau paham bahasa manusia, ‘kan?” Adrian memandang Briella sambil berpikir. Tatapan seriusnya selalu membuat Briella tidak mampu bereaksi. “Cepat lakukan perintah suamimu, Briella.”“Kita memang suami istri, tapi aku … aku belum terbiasa telanjang di depan seseorang.”Adrian seakan memaku Briella dengan tatapannya selagi dia berpikir sambil membisu dengan wajah datar. “Maka biasakanlah mulai sekarang.”“Di-di sini?”Adrian mengangguk dingin. “Lepaskan sekarang. Di sini!”Tak berdaya, Briella akhirnya mengikuti kemauan Adrian. Dia membuka satu demi satu kancing piyamanya. Sekeras mungkin berusaha menyembunyikan kegugupan. Lanjut menurunkan celana piyama. Briella tidak tahu mengapa dia belum merosot ke lantai, lututnya terasa sangat lemas saat ini. Terlebih mata Adrian merayapi wajahnya.Briella melihat Adrian tersenyum cukup lebar sampai lesung pipitnya muncul. Cepat-cepat Briella menurunkan pandangan, berharap Adrian berubah pikiran dan memintanya berhenti. Sayang sekali, harapan Brie
Adrian terbangun akibat sinar matahari yang menyapu wajahnya dengan lembut. Dia berbalik di tempat tidur dan melihat Briella tidur di sampingnya. Wajah Briella yang damai dan tenang membuat Adrian terpesona. Dalam hati, Adrian tidak bisa menolak mengakui bahwa istrinya memang sangat cantik dan menakjubkan. Rambut merah Briella terurai di atas bantal, bibirnya yang tipis sedikit terbuka, dan kulitnya yang putih bersinar di bawah cahaya pagi.“Andai saja kau bukan putri Miles Moretti.” Sesaat, Adrian merasa hatinya melunak. Ada perasaan hangat yang mengalir di dadanya ketika dia melihat Briella. Namun, perasaan itu segera digantikan oleh kebingungan dan kekesalan. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan atau ketertarikan pada Briella.Tidak, dia harus tetap kuat dan melanjutkan misinya. Adrian mengingatkan lagi dirinya, bahwa dia menikahi Briella untuk balas dendam. Tentu saja dia tidak boleh sampai jatuh hati ke perempuan ini.Briella mulai bergerak pelan, tanda-tanda dia akan terbangun.
Briella ragu-ragu, matanya mencari-cari penjelasan di air muka suaminya, tapi yang dia temukan hanya pandangan dingin. Saat Briella tidak segera menuruti, kemarahan Adrian mulai muncul di wajahnya. Suaranya menjadi lebih keras, “Sekarang, Briella Moretti!”Entah mengapa hati Briella seperti dicengkeram kuat setiap kali Adrian memanggilnya dengan nama keluarga ‘Moretti’. Panggilan itu membuat dia merasa seolah-olah Adrian belum sepenuhnya menerima dirinya sebagai istri. Kenapa Briella Moretti? Bukankah seharusnya Briella Maven?Dengan tangan gemetar dan hati yang berdebar, Briella akhirnya menuruti perintah Adrian. Dia merasa keselamatannya terancam, tapi dia tidak punya pilihan lain. Adrian mendekat dan dengan cepat mendominasi situasi, menciptakan suasana yang menegangkan dan menindas.“Berikan padaku.” Adrian mengulurkan tangannya, meminta Briella menyerahkan celana dalam ungu berenda yang baru saja turun ke kaki jenjang perempuan itu.Briella mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenan
“Permisi, maaf, Nona Briella sudah ditunggu oleh Nyonya Maven di ruang tengah.” Aster memanggil Briella di ruang kerja tepat setelah Adrian selesai menjadikannya alat pemuas nafsu. Sementara Adrian sendiri sudah pergi entah ke mana.“Aster, bisakah kau ambilkan aku selimut?” pinta Briella sambil menutup dadanya. Gaun Briella sudah dirusak oleh Adrian, untungnya Aster dengan cepat memberi apa yang Briella butuhkan tanpa banyak bertanya.Aster membawa Briella ke toilet di sisi kiri ruang kerja, menyuruh Briella memperbaiki riasan dan rambutnya. “Saya akan ambilkan gaun baru untuk Nona.”Setelah kejadian di ruang kerja, Briella merasakan kelegaan yang mendalam ketika Rosalie Maven menyuruh Aster memanggilnya. Rupanya Rosalie mengajak Briella berjalan-jalan di kota. Rosalie memiliki keanggunan dan kehangatan yang kontras dengan Adrian. Dia membawa Briella ke butik favoritnya. Di butik yang megah dan elegan itu, Rosalie memandang sekeliling sambil berkata, “Briella, aku butuh rekomendasim