Share

Bab 2. Malam Pertama Gadis Polos  

“Kau paham bahasa manusia, ‘kan?” Adrian memandang Briella sambil berpikir. Tatapan seriusnya selalu membuat Briella tidak mampu bereaksi. “Cepat lakukan perintah suamimu, Briella.”

“Kita memang suami istri, tapi aku … aku belum terbiasa telanjang di depan seseorang.”

Adrian seakan memaku Briella dengan tatapannya selagi dia berpikir sambil membisu dengan wajah datar. “Maka biasakanlah mulai sekarang.”

“Di-di sini?”

Adrian mengangguk dingin. “Lepaskan sekarang. Di sini!”

Tak berdaya, Briella akhirnya mengikuti kemauan Adrian. Dia membuka satu demi satu kancing piyamanya. Sekeras mungkin berusaha menyembunyikan kegugupan. Lanjut menurunkan celana piyama. Briella tidak tahu mengapa dia belum merosot ke lantai, lututnya terasa sangat lemas saat ini. Terlebih mata Adrian merayapi wajahnya.

Briella melihat Adrian tersenyum cukup lebar sampai lesung pipitnya muncul. Cepat-cepat Briella menurunkan pandangan, berharap Adrian berubah pikiran dan memintanya berhenti. Sayang sekali, harapan Briella tidak terealisasi, Adrian justru minta Briella melucuti pakaian secepat mungkin. 

“Tidak bisakah kau lebih cepat?!”

Briella hampir terkena serangan asma padahal dia tidak mengidap asma karena bentakan Adrian. Pria yang dia anggap penolong karena menikahinya saat keluarganya bangkrut, ternyata memperlakukannya dengan sangat buruk. Meskipun Adrian suaminya, tetap saja, harga dirinya seakan tak dihargai sama sekali.

“Mengecewakan,” kata Adrian sambil berdiri kemudian maju sedikit lagi. “Badanmu tidak sebagus yang kubayangkan. Kupikir putri tunggal Rudolf Moretti yang dijaga seperti berlian mahal akan memiliki tubuh menakjubkan. Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi.” Adrian jelas berbohong, tubuh Briella sangat indah. Kulit putihnya semulus porselen, ditambah kaki jenjang, perut rata, paha ramping, bokong membulat, serta sepasang bukit kembar sintal yang tidak besar tapi tidak terlalu kecil.

Sialan, dia benar-benar tipeku. Batin Adrian yang tak bisa terucapkan.

Rambut merah Briella kontras dengan kulit putihnya, rambut itu bagai gelombang yang kemilaunya membuat siapa pun ingin membelai.

“Maaf mengecewakanmu,” ucap Briella lemah dengan kepala tetap merunduk. 

Adrian sulit menelan salivanya. Kerongkongannya terasa menyempit terdesak buncah hasrat yang tiba-tiba menyambar. Dia sedang menghukum Briella, tetapi seperti sedang menghukum dirinya sendiri. Menyaksikan Perempuan itu berdiri di sampingnya dalam kondisi polos tanpa busana membuat Adrian sedikit gila.

Tidak, dia rasa dia sudah benar-benar gila. 

“Apa yang kau ketahui tentang malam pertama?”

Briella tercekat mendengar pertanyaan Adrian. “Te-tentang apa?”

“Lupakan. Sejauh apa kau pernah berhubungan dengan seorang pria?”

“Berteman.”

“Berteman? Aku bukan bertanya tentang status, tapi tentang …” Adrian bingung memilih kata. “Sudahlah. Sebelum ini, apa pernah ada pria yang menyentuhmu?”

“Ayahku?”

“Ayahmu? Maksudku, bukan sentuhan biasa, tapi hal-hal berbau seksual, Briella.” Adrian mulai emosi.

“Maaf, aku …  aku tidak punya pengalaman sama sekali tentang hal-hal berbau seksual. Ayahku bahkan melarang aku keluar mansion. Aku tidak memiliki satu pun teman laki-laki, jadi aku benar-benar bingung ke mana arah pembicaraanmu.” Adrian berdiri, mendekati Briella. Tangannya dengan lancang meremas dan memuntir puncak dada istrinya tanpa permisi. “Akhhhhh….”

“Apakah ini pertama kali ada yang mempermainkan dadamu?”

Briella mengangguk, dia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha menahan diri untuk tidak berkata kasar. Bagaimanapun yang baru saja melecehkannya adalah suaminya sendiri.

Anggukkan Briella membuat Adrian makin berhasrat, dia mencengkeram segenggam rambut Briella, menarik kepala perempuan itu ke belakang selagi Adrian mendaratkan bibirnya. Cumbuan yang awalnya lembut, manis, berangsur-angsur jadi brutal dan meliar.

“Mmmpppfff,” ronta Briella ketika paru-parunya mulai kehabisan oksigen.

Adrian melepaskan pagutannya. “Apa itu juga ciuman pertamamu?”

Briella mengangguk, kali ini ada air mata membasahi pipi putihnya.

“Kau menangis? Apa aku menyakitimu?”

Menggeleng lemah, Briella tak bisa berkata jujur kalau Adrian melukai hati dan harga dirinya. “Tidak, kau tidak menyakitiku.”

Sulit untuk mengelak bahwa Briella sangat menggairahkan, kejantanan Adrian yang mengeras seperti batu menjadi saksi bisu bahwa pria ini sangat ingin mengangkangi istrinya di atas ranjang. Sementara Adrian sibuk berpikir keras terhadap reaksi aneh di tubuhnya. Briella gugup membayangkan apa yang mungkin terjadi sepanjang sisa malam nanti. Mengingat Adrian sudah melihat dirinya luar dalam, jelas malam ini mereka akan berakhir dengan hubungan suami istri. Briella gelisah karena tidak tahu kapan Adrian akan melakukannya.

Apakah dia akan siap disentuh pria asing yang hari ini sudah berstatus suaminya? Jika Adrian menikahinya karena cinta, kenapa sikap Adrian begitu kasar? Kenapa tampaknya Adrian membencinya? Haruskah dia kabur saja? Jutaan pertanyaan muncul di dalam benak Briella.

“Aku akan segera menyakitimu,” timpal Adrian sambil melepaskan kancing kemejanya. Briella tersentak, dia kembali menatap Adrian yang sudah telanjang dada. “Kamu masih perawan, bukan?”

 “A-apa yang akan kita lakukan?” tanya Briella dengan kecemasan yang jelas-jelas tak bisa lagi tertutupi. Perempuan polos itu sangat terlihat gugup.

 “Sudah jelas. Kau akan segera melakukan tugasmu sebagai istri. Yakni memenuhi kebutuhan biologisku.” Melalui ekor mata, Adrian bisa tahu Briella tengah mengawasinya dengan ketakutan. Namun Adrian kagum melihat ketenangannya. Briella sanggup menahan diri meski gelagatnya mengatakan dia ingin lari dari Adrian sekarang juga. “Kau pasti sudah dengar, bahwa pertama kali melakukan hubungan badan akan terasa menyakitkan. Jadi kau harus bersiaplah, tapi tenang ini hanya sakit pertama saja. Selanjutnya yang kau rasakan bukan lagi sakit, melainkan rasa nikmat.”

Briella menatap bibir Adrian, membuat pria itu secara naluriah menggigit bibir bawah. Kaki Adrian mati rasa. Mata Briella yang tajam berubah sayu dan suaranya memelan hingga tinggal bisikan. “Kebutuhan biologismu ... akan aku penuhi,” katanya pelan menjeda, lalu melanjutkan, “Sejak pamanku menerima lamaranmu, dan sejak mengucapkan janji suci di altar, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku akan menjadi istri yang baik untukmu. Aku akan menuruti semua perintahmu, dan memenuhi semua yang kau butuhkan. Jadi, katakan, apa yang harus aku lakukan?”

Andai Briella tahu betapa Adrian kesulitan menyimak kata-katanya, karena yang bisa dia pikirkan hanya menebak-nebak betapa lembut dan hangat liang sempit Briella. Betapa nikmat rasanya. Betapa sempurna ketika miliknya dicengkeram ketat oleh kewanitaan Briella. Adrian berharap egonya runtuh hingga dia bisa secepat mungkin mendekatkan tubuh dan menggauli istrinya bersamaan Briella mulai hanyut dalam sebuah pelukan yang hangat.

 Sial! Adrian mengumpat dalam hati.

 “Jawab aku, Adrian.”

 “Mmm....”

 “Aku harus mulai darimana?”

“Briella.” Kata-kata itu mencelos dari rahang yang mengetat. Tangan Adrian menuruni punggung Briella dengan lembut meluncur di pinggul dan terus ke paha. Briella menggeletar di bawah sentuhan jemari Adrian. “Kita pindah ke ranjang dulu.”

 “Aku memang amatiran dan tidak berpengalaman, tapi aku bisa cepat belajar. Kuharap kau bisa ajari aku, agar aku tahu cara yang benar dalam melayanimu.”

 Adrian mengembuskan napas kuat-kuat, ada kekesalan turut terhempas keluar. Dia benar-benar tidak mengharapkan putri Rudolf Moretti sepenurut ini. Jika saja Briella pembangkang yang menyebalkan, dia mungkin bisa lebih kejam menyiksanya. Kenapa Briella sejinak ini? Apa dia tahu kalau Adrian menikahinya hanya untuk balas dendam? Ah, tapi tidak mungkin.

“Beri aku pemanasan.” Adrian menarik diri, rebah ke tengah ranjang masih mengenakan celananya. “Kamu tahu caranya bukan?”

 Ragu-ragu Briella menggeleng.

“Cepat ke marilah.”

Perempuan itu perlahan merayap ke sisi Adrian.

“Hujani aku dengan ciuman, jilatan juga bagus. Kau bisa mengulum di beberapa area sensitif, akan kuberitahu nanti.”

Adrian spontan memejam, terkesiap ketika bibir Briella menyentuh lehernya. Briella mendaratkan kecupan ringan, tepat di bawah telinga. Entah kenapa Adrian merasa seisi kamar terjungkir balik. Perlahan-lahan bibir Briella kembali ke telinga Adrian. Dia berbisik, “Apakah seperti ini? Apa kau bisa menikmatinya?”

Adrian menggeleng, meskipun hampir mengangguk. “Pemanasanmu membuatku mengantuk.” 

Kekeraskepalaan membuat Adrian menyangkal.

“Aku akan berusaha lebih keras.” Briella mendekatkan bibir, mengecup pipi Adrian. Berlanjut menjatuhkan kecupan-kecupan halus sampai telinga Adrian, di sana dia berhenti dan berbisik lagi, “Apa ini juga membuatmu mengantuk?”

 Seumur hidup belum pernah Adrian merasa tidak bosan seperti ini. Briella bahkan belum mencium bibirnya, tapi dia sudah merasakan ciuman paling berkesan. Adrian menggeleng, masih memejam, karena dia suka tidak mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. “Gunakan juga tanganmu, ada banyak yang bisa dilakukan.”

Tangan Adrian menarik tangan Briella mengarahkannya ke balik celana piyama hingga jemari si istri dapat merasakan milik Adrian yang mengeras. “Aaaarrghhhh … tunggu.” Briella menjerit, sadar kalau yang barusan dipegang adalah alat kelamin suaminya.

“Apa kau baru saja melihat hantu?”

“I-itu … aku tidak menyangkan itu-mu begitu besar.”

“Dan kau bereriak karena takut atau terkesan?”

Briella mencoba menghindari tatapan Adrian. Pipinya bersemu merah karena malu, jantungnya berdebar tak karuan. Adrian akhirnya menyentuh leher Briella, dan itu membuat kulit si perempuan merinding. Ternyata satu sentuhan saja mampu menimbulkan reaksi cukup besar.

“Briella, kau sangat payah. Aku tidak tahan menunggumu melakukannya.” Dalam sekejap lidah Adrian menyapu leher Briella.

Tangan Adrian naik dari pinggang Briella ke kepala. Dia mendekatkan leher Briella ke bibirnya, kali ini dia tidak menahan diri lagi. Briella membuka mata, terkejut mendapati serangan Adrian yang sangat agresif. Adrian mencium, menjilat, merayu tiap jengkal bibir hingga dada Briella dengan kepiawaiannya. Mata Briella kembali memejam. Dia berusaha keras menahan suara erangan karena terlalu malu. Bibir Adrian turun makin jauh, dari leher, dada, perut dan turun lagi ke tempat area Briellabbisa menggeletar ketika lidahnya bermain di sana.

“Aaaakkhh, Adrian, tolong singkirkan wajahmu, aku merasa seperti akan buang air kecil.”

“Kau bercanda? Jangan bilang kau tidak tahu apa itu puncak kenikmatan?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Halima Limah
panas dingin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status