Sesi rawat pijat dua jam saja itu selesai tepat sebelum adzan dzuhur. Mereka berdua singgah sejenak di masjid sebelahnya gedung gym. Menunai dzuhur berjamaah di sana.Setelahnya, Jeta menolak saat Jovan berniat membawa makan siang di restoran. Dengan alasan jika Mama Fani sudah menyiapkan menu makan siang yang beragam di rumah. Benar ucapan Jeta. Begitu tiba di rumah, Fani langsung menyambut dan membawa mereka berdua ke ruang makan. Sudah ada banyak sajian yang menampang di meja. Seperti pagi tadi, kali ini pun, Jovan terlihat buru-buru. Tidak ingin habis waktu untuk menyeberang sejenak ke Pulau Bintan."Jika ke Bintan, naik kapal milik sendiri, apa gimana?" Fani bertanya dengan pandangan pada Jovan."Ya tidak lah, Mi. Kapalnya menyandar tuh juga waktunya buat isi bahan bakar, pembersihan, cek mekaniknya oke apa enggak. Bukan cuma buat nyandar istirahat saja …." Bukan Jovan yang menjawab. Namun, Ardi lah yang menerangkan dengan setengah tertawa pada istrinya."Namanya juga tidak t
Jantung berdetak lebih laju dengan debar yang lain terasa. Lebih dari sekedar gembira dan kejutan. Jeta coba abai akan yang dirasa dan segera keluar dari kamar. Berjalan cepat memburu daun pintu, arah asal dari bell yang terdengar beruntun berbunyi. Dihirupnya napas dalam sebelum menarik handle pintu.CeklerkBukan salam sapa yang terlempar. Mereka berdua justru terpaku saling pandang. Sama-sama kikuk dan kemudian saling tersenyum. Jeta merasa jika pandangan Faqih padanya berubah jadi lain kali ini."Apa kabar, Jeta?" sapa Faqih kemudian. Mengalihkan tatapan dari kepala Jeta ke wajahnya yang masih ada air menempel di sana."Wa'alaikumsalam. Kabarku sehat," sahut Jeta dengan tersenyum manis yang lebar."Eh, sorry. Assalamu'alaikum …," jawab Faqih yang juga tersenyum canggung. Jeta telah menyindir sapaannya yang tanpa diawali salam. Kini keduanya telah saling melempar senyum kian lebar.Tiba-tiba Faqih melangkah masuk dan berdiri dekat dengan Jeta. Menatap intens dengan raut yang kaku
Malam yang merangkak larut seolah bukan penghalang bagi dua insan yang duduk dan saling bercerita di meja makan. Beraneka coklat, baju cantik, ikat rambut unik, snack yang tidak ada di Indonesia serta bola salju khas Austria, menghampar di meja makan. "Eh, Faqih, kamu sudah makan?" tanya Jeta sambil nyengir kuda. Merasa sebagai tuan rumah, dirinya lalai dan tidak peka."Andai belum, apa yang bisa kamu siapkan untuk makan?" tanya Faqih tersenyum. Tidak bermaksud mencemooh, hanya sangat paham pada kemampuan masak Jeta yang payah sebelum ini."Kamu ingin?" Jeta akan berdiri. Sambil memasukkan sepotong coklat ke dalam mulutnya. Berniat menyiapkan makan malam untuk Faqih."Tidak, tidak sekarang. Aku sudah dinner dengan rekanku," ucap Faqih menahan. Tentu saja merasa iba jika malam-malam begitu menyusahkan seorang gadis hamil. "Oke, lain kali datanglah lagi. Akan kusiapakan banyak makanan hasil buatanku di meja ini. Kamu bertemu dengan orang Thailand itu hingga malam?" Jeta memasang raut
Jeta terbangun sebelum waktu subuh. Sayup alarm dari kamar mengaung dan memanggil. Dilihatnya Faqih masih tidur di sofa seberang dengan tivi yang sudah dimatikan. Tidak disadari pukul berapa dirinya semalam tertidur. Tidak terasa juga kapan Faqih mengambilkan selimutnya dari kamar. Sebab semalam dirinya tidak memakai selimut. Kini selimut yang biasa dipakai dalam kamar, telah menutupi dirinya.Pria itu sudah bangun sendiri saat Jeta keluar kamar untuk membangunkan. Bahkan sudah mandi dan bersiap untuk pergi. Saat itu tepat sedang mengalun adzan subuh."Mau pulang?" tenya Jeta menyimpan kecewa. "Aku ingin makan masakan kamu. Ngapain pulang cepat-cepat …," ucap Faqih sambil menuju pintu."Kunci pintunya, Jeta. Aku mau subuhan di masjid ujung perumahan," pamit Faqih sebelum membuka pintu."Iya," sahut Jeta merasa lega. Tidak lama lelaki itu sudah hilang setelah melewati pagar halaman. Buru-buru ditutupnya pintu rumah dan dikunci rapat semula. Rasanya tenang menunggu pria itu datang kemb
Ilyas telah berhenti di depan restoran berbintang lima di Nagoya. Keempat penumpang terlihat turun dari dalam mobil. Faqih dan Papa Ardi yang duduk di paling belakang, Fani dan Jeta duduk di kursi tengah. Lalu Ilyas meninggalkan mereka menuju ke latar parkir.Keempat orang itu berjalan lambat-lambat sambil menunggu Ilyas. Sebab sang sopir bukanlah orang luar lagi, Ardi dan Faqih juga mengundang untuk duduk bersama.Orang tua Jovan menyambut akrab keluarga Ardi yang berjumlah lima orang dengan Ilyas. Elma yang menyambut dan akan memeluk Faqih ditolak halus oleh lelaki itu. Orang-orang yang kebetulan melihat pun terkedu. "Elma, kembali ke kursimu. Mari semua, silahkan duduk," sapa Pak Afan, nama ayahnya Elma dan Jovan. Tampak kesal dengan kelakuan anak perempuannya."Ini calon istri putraku? Jeta nama kamu?" Wanita yang menyapa Jeta adalah mamanya Jovan, Alma. Terlihat rapi dan sederhana. Tersenyum hangat menatap Jeta dengan hangat. Sangat ramah dan welcome.Alma melepas pelukannya pad
Keputusan semalam tidak ada kepastian dari rencana pernikahan antara Faqih dan Elma. Menggantung antara ada dan tiada. Menyisakan satu tanda tanya belaka. Sebab setelahnya, nomor ponsel Faqih tidak bisa dihubungi keluarga.Hingga pagi ini selesai makan pagi yang seperti biasa Jeta hanya makan sedikit sekali. Bunyi pesan masuk di ponselnya memanggil. Segera dihampiri dan disambar untuk dibacanya."Pagi ini aku berangkat ke Austria. Jaga diri baik-baik, Jeta. Makan yang banyak. Semalam ingin menginap di rumahmu, tetapi ada dua orang tua di sana, aku malas. Saat aku kembali, kamu sudah jadi istri Jovan. Kuharap kamu makin gemuk, sekali lagi makanlah yang banyak." Tidak tahu sebabnya, Jeta merasa sedih dengan dada yang sesak. Segera dikirim balasan tetapi ponselnya kembali tidak aktif. "Hati-hati ya, Faqih. Kamu juga, jagalah kesehatan. Semalam aku juga ingin pulang ke apartemenmu, tapi segan dengan orang tua. Meski aku sudah menikah dan punya suami, tetapi aku tetap merasa punya abang
Jeta sudah tidak sabar untuk cepat duduk di meja makan. Nafsu makannya benar-benar menggila saat sore dan malam. Hingga membantu mamanya menyiapkan segala hal di dapur secara bersama-sama supaya cepat kelar."Jovan akan datang malam ini?" tanya Fani sambil meletak sup di meja."Iya, Ma. Entah jadi, entah enggak. Ini aku lapar sekali. Ntar misal Bang Jovan ngajakin makan lagi di luar, aku sih sanggup saja," ucap Jeta dengan menebak maksud Fani bertanya. Tentu saja sambil menahan tawa."Ya, iya … ikut makan atau enggak, diturutin aja. Temani calon suami kamu ke mana pun, dengan begitu kalian akan makin dekat. Mama tahu kamu tidak terlalu dekat. Entah apa yang bikin kamu kepincut dan memutuskan menikah dengannya buru-buru," ucap Fani kembali meluah perasaan. Kini mereka telah duduk dan bersiap untuk makan."Iya, Ma. Maafkan, Jeta. Apa pun alasan aku menikah cepat, doakan terus anakmu ini, Ma," ucap Jeta terlihat sendu dan pasrah. Fani menghela napas sebelum kemudian mengangguk. Lalu diam
Azrul telah percaya dengan mata kepala jika Jeta memang benar akan menikah dengan lelaki asal kepulauan Riau bernama Jovan yang tampan. Meski berat dan kecewa yang sangat, mencoba melepas Jeta sebagai gadis yang sangat ingin dinikahinya dengan rela. Bahkan berniat akan hadir pada hari pernikahan Jeta dilangsungkan."Maaf, Jeta. Aku merasa bersalah telah membuatmu gagal menikah dengan Azrul," ucap Jovan di perjalanan pulang dari fitting sepasang baju pengantin. Gadis hamil di sebelahnya terkedu menoleh. Menelusur wajah Jovan sesaat. Kemudian menunduk pada jari tangan di pangkuan. Seperti ada beban berat yang sedang melekat di kepalanya."Bang Jovan bukan penyebab kami tidak jadi menikah. Kamu sama sekali bukan penyebab. Jadi jangan merasa bersalah," ucap Jeta sambil menoleh pada lelaki di kursi kemudi."Benarkah? Lantas, apa penyebab kalian tidak bersama? Kamu bahkan pergi jauh ke Pulau Batam sini, Jeta. Kamu seperti sengaja menghindarinya?" Jovan bertanya seksama dan pandangannya pun
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap