Sepasang insan kelewat dewasa tengah duduk menghadap meja berisi makanan di sebuah rumah makan kecil. Wanita itu tampak tidak berselera makan dan membiarkan isi piringnya tidak tersentuh sedari tadi. Berbeda dengan lelaki di depannya yang menyuap terus makanan ke dalam mulut meski terpaksa ditelannya. Sambil sesekali didorong dengan air putih yang diminum dari botol."Mi, makanlah! Nanti tenagamu habis. Kita perlu kuat dan banyak tenaga untuk tetap siaga di sini," ucap Ardi sambil menyodor piring Fani lebih dekat lagi. Bukan lalu dimakan, justru sang istri kembali menangis sesenggukan."Jeta, Piiiiii …," ratap Fani dengan disertai deras tangis. Matanya sembab hingga sangat tebal sebab tangisnya yang tidak kunjung berhenti."Minum dulu. Istighfar, Mi ... yang terpenting kita tidak berhenti mendoakan," bujuk Ardi dengan lembut. Diberikannya sebotol air mineral pada Fani. Yang diteguk cukup banyak oleh sang istri. Ardi tampak lega dan merasa puas. Kemudian disuapinya sang istri dengan s
Tujuh hari berlalu semenjak kecelakaan naas itu. Jeta duduk di kursi roda yang bisa diatur ketinggiannya sesuai momen dan keperluan. Papa tiri telah membelikan kursi roda paling baik dari Kota Nagoya untuknya.Ini adalah hari pertama duduk di kursi roda setelah sangat lelah dilayani segalanya oleh Fani tiap hari. Merasa jenuh dan tidak ingin tergolek terlalu lama di ranjang. Sungguh iba dengan mamanya yang tampak lelah dan sedih. Jeta susah payah menahan rasa sakit dan segan saat Ardi membantu dan mengangkatnya ke kursi roda. Namun, mamanya tampak bahagia saat mendorongnya dengan kursi roda menuju ruang makan.Kini, gadis itu duduk menghadap meja makan dan mengambil sarapan dengan Ardi dan Fani di depannya. Sekotak salad buah sudah berada dekat juga di meja. "Mama sangat senang, Jeta sudah bisa kembali makan sama-sama di meja ini. Semangat, ya, Nak," ucap Fani dengan raut sedih yang berusaha ditutupi dengan senyum. Sambil membuka tutup salad untuk Jeta.Semenjak kehamilan Jeta dipub
Dua lelaki hampir bersamaan keluar dari dalam mobil. Satu keluar dari pintu kiri dan satu keluar dari pintu kanan. Jeta nanar melihat kedatangan mereka dengan tangan memegang erat pada pegangan kursi roda. Langkah mereka kian dekat dan kini menghampiri lantai teras. "Assalamu'alaikum!" Ilyas adalah lelaki yang melempar salam."Wa'alaikumsalam!" Azrul menjawab keras dan lugas. Diikuti Jeta yang menjawab salam Ilyas sangat lirih. Pandangan matanya tertuju lurus pada lelaki di samping Ilyas yang juga terus menatapnya termangu. Jeta membuang pandangan perlahan dengan menunduk. Mata yang sedari awal sudah berkaca-kaca itu kini berair sungai mengalir di pipi. Melihat pria itu, membuatnya merasa sedih dan pilu. Rasa hati ingin sekali mengadu segala hal, tetapi tertahan sebab merasa ragu dan malu. Bukan hanya dirinya saja yang di sana. Sekuat mata dan hati ditahan untuk berhenti jatuh air matanya. Sekilas Jeta merasa jika kepala berkerudungnya disentuh tangan seseorang dengan lembut. Ad
Keluarga almarhum calon suami benar-benar datang sebagaimana yang sudah dikabarkan mereka di hari sebelumnya. Pasangan suami istri Afan dan Alma, serta seorang anak lagi yang tersisa, Elma.Keluarga mantan calon besan sebagai tuan rumah membawa keluarga Afan ke meja makan. Fani telah menyiapkan sedemikian rupa dengan dibantu seorang asisten baru di rumahnya. Faqih yang kini bersikap baik seperti semula, telah memaksa untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga. Tidak tega melihat calon mertua sekaligus ibu tiri yang sebetulnya dia sayang itu jadi kelelahan. Apalagi sambil merawat Jeta sendirian. Dari ruang makan mereka bergeser ke ruang sofa. Jeta pun melaju bersama kursi roda dengan di dorong Faqih perlahan. Menolak dipindah ke sofa sebab akan terasa sakit pada kaki. Maka diikutinya perbincangan serius dua keluarga itu dengan tetap duduk di atas kursi roda. Faqih telah menyampaikan niat seriusnya untuk menikahi Jeta dan kini sedang dalam perdebatan."Aku tidak tahu bagaimana mengo
Lima hari kemudian ….Sungguh sangat disyukuri. Segalanya jadi mudah, lebih tepatnya dimudahkan. Faqih yang menikahi Jeta dalam kondisi hamil pun bukan masalah. Tidak ada satu pun personil kepengurusan masjid yang bertentangan. Meski ada, akhirnya sepakat memaklumkan. Mereka berdua bahkan menikah bersama-sama dengan sepasang pengantin yang di khitbah beberapa waktu lalu. "Jeta, kamu pulang ke mana?" Fitri terlihat anggun dengan gamis pengantin berkerudung. Sang suami yang seorang pria dari Sunda itu sedang berbicara dengan Faqih. "Aku … mungkin ke rumah dia," sahut Jeta sambil menunjuk Faqih dengan lirikan. Mereka sedang berada di latar parkir. Seluruh saksi dan pengiring pernikahan sudah pulang sedari tadi. Bahkan Mama Fani dan Om Ardi pun. Hanya Ilyas yang masih setia menunggu pengantin baru di kursi kemudi."Jaga kesehatanmu, Jeta. Tetapi jika sudah mampu, jangan menolak ajakan suami untuk berhubungan badan." Fitri tiba-tiba sudah berbisik di telinganya dengan sedikit membungkuk.
Dua orang pengantin baru duduk di meja makan dengan pakaian sepasang yang semula. Belum jadi tukar baju sebab Jeta masih terus menolak. Merasa canggung dan malu membuatnya meminta mengulur waktu. Faqih pun mengalah sejenak dan membawa istri ke ruang makan dan duduk di kursi meja makan."Salad …," tegur Faqih dengan senyum saat lagi-lagi salad buahlah yang jadi prioritas bagi Jeta."Sedikit saja," respon Jeta. Segera memakan beragam iris buah segar berbumbu mayones, keju, krim manis, susu dan air yoghurt. "Apa enak?" tanya Faqih iseng saja. Padahal juga diakuinya itu enak dan segar. Apalagi cuaca Batam sedang sangat panas hari-hari."Iya, enak sekali, ini sangat lezat. Saat itu aku tidak terpikir dengan menu sehat ini. Kamu pintar sekali memilihkannya untukku. Seperti sudah pengalaman sekali. Terima kasih, ya, Faqih," sahut Jeta dengan tersenyum. Terlihat semakin cantik mempesona dengan riasan pengantin dan gaun indahnya."Iya, Jeta," sahut Faqih singkat. Rasa mulutnya tercekat. Menyi
Jeta menyisir rambut ovale panjang rapinya yang halus dan lembut. Duduk di atas kursi roda di depan meja rias. Belasan menit lalu Faqihlah yang mengangkatkan.Meski sudah dikatakan bahwa dirinya sudah bisa sendiri bergeser dan berpindah duduk ke kursi, lelaki itu bersikeras memindahkan. Bahkan juga sudah melihat saat Jeta berpindah duduk sendiri dari kursi roda ke ranjang. Meski susah payah dan sakit, dirinya telah berulangkali mencoba dan berhasil.Kini lelaki itu sedang di kamarnya sendiri yang mungkin sedang mandi. Setelah berlibur beberapa hari, dari menjelang akan menikah hingga pagi ini, lelaki itu akan meninggalkannya pergi bekerja kembali. Entah kenapa, Jeta merasa pagi ini sangatlah bersemangat. Pagi yang biasa hanya mengelap hingga basah kulit di badan. Di hari sepagi ini bahkan sudah mandi. Faqih telah membelikan satu kursi lagi untuk mengangkat sebelah kakinya saat mandi. Agar terlindungi dan juga tidak basah. Jeta menolak memakai pembungkus kaki yang juga dibelikan khusu
Perempuan berbadan padat dan sekal dengan perut cembung di ruang makan itu baru meletak kotak salad kembali ke dalam kulkas. Rambut ovale panjang yang lembut berkilat dibiar tergerai dan indah. Pagi ini baru saja bersarapan seorang diri sebab lelaki yang seatap dengannya telah pergi bekerja lepas subuh. Entah kenapa, lelaki berstatus suaminya itu sangat rajin belakangan ini.Bell berdering terdengar tiba-tiba pertanda seorang tamu sedang berdiri di depan pintu. Mak Min sedang di dalam kamar mandi sedari tadi. Jeta kembali menaiki kursi roda dan meluncur dengan laju. Tidak ingin berjalan tertatih dan membuatnya kehilangan seorang tamu. Salah satu penghibur yang diharap datangnya sesekali. Tidak peduli sesiapa pun yang datang berkunjung sebagai tamu. Beberapa kali pun Fitri sudah datang bersembang. Tidak ketinggalan juga Mama Fani dan Om Ardi."Kak, Elma?!" Pekik Jeta terkejut. Wanita cantik berperut lebih buncut darinya sedang tersenyum masam di balik jeruji pintu besi."Assalamu'alai
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap