Jeta menyisir rambut ovale panjang rapinya yang halus dan lembut. Duduk di atas kursi roda di depan meja rias. Belasan menit lalu Faqihlah yang mengangkatkan.Meski sudah dikatakan bahwa dirinya sudah bisa sendiri bergeser dan berpindah duduk ke kursi, lelaki itu bersikeras memindahkan. Bahkan juga sudah melihat saat Jeta berpindah duduk sendiri dari kursi roda ke ranjang. Meski susah payah dan sakit, dirinya telah berulangkali mencoba dan berhasil.Kini lelaki itu sedang di kamarnya sendiri yang mungkin sedang mandi. Setelah berlibur beberapa hari, dari menjelang akan menikah hingga pagi ini, lelaki itu akan meninggalkannya pergi bekerja kembali. Entah kenapa, Jeta merasa pagi ini sangatlah bersemangat. Pagi yang biasa hanya mengelap hingga basah kulit di badan. Di hari sepagi ini bahkan sudah mandi. Faqih telah membelikan satu kursi lagi untuk mengangkat sebelah kakinya saat mandi. Agar terlindungi dan juga tidak basah. Jeta menolak memakai pembungkus kaki yang juga dibelikan khusu
Perempuan berbadan padat dan sekal dengan perut cembung di ruang makan itu baru meletak kotak salad kembali ke dalam kulkas. Rambut ovale panjang yang lembut berkilat dibiar tergerai dan indah. Pagi ini baru saja bersarapan seorang diri sebab lelaki yang seatap dengannya telah pergi bekerja lepas subuh. Entah kenapa, lelaki berstatus suaminya itu sangat rajin belakangan ini.Bell berdering terdengar tiba-tiba pertanda seorang tamu sedang berdiri di depan pintu. Mak Min sedang di dalam kamar mandi sedari tadi. Jeta kembali menaiki kursi roda dan meluncur dengan laju. Tidak ingin berjalan tertatih dan membuatnya kehilangan seorang tamu. Salah satu penghibur yang diharap datangnya sesekali. Tidak peduli sesiapa pun yang datang berkunjung sebagai tamu. Beberapa kali pun Fitri sudah datang bersembang. Tidak ketinggalan juga Mama Fani dan Om Ardi."Kak, Elma?!" Pekik Jeta terkejut. Wanita cantik berperut lebih buncut darinya sedang tersenyum masam di balik jeruji pintu besi."Assalamu'alai
"Jeta! Jeta! Jeta! Awaaas …!" Elma memekik histeris."Duh, Kak Elma! Sudah kubilang …." seru perempuan di kursi roda.Jeta hampir tergelincir dan turun laju di tangga papan khusus roda kala Elma hampir gagal menahan beban beratnya. Meski tombol rem sudah diaktifakan, kemiringan itu lebih kuat grafitasi tarikannya. Beruntung dengan tanggap, Jeta mengunci roda di bagian yang belakang dengan panik. "Kan dah kubilang, Kak Elma tuh kurus, nggak akan kuat nahan bebanku dan kursi rodaku," ucap Jeta menggerutu. Rasanya campur aduk sekali, antara kesal, panik dan gemetar. Juga berbaur dengan rasa lega penuh syukur."Maaf deh, Jeta. Maaf …. Aduh, tak kusangka, aku nggak kuat nahan kamu, kupikir nggak seberat itu. Aku ini memang sedang kurus banget kali, ya," ucap Elma bergumam dan bimbang."Iyaaaaa … kurus ituuuu ….!" Jeta menyahut gemas dengan menunjuk jari ke depan. Mereka sudah habis menuruni tangga sorong dengan selamat. Kini telah di teras sebuah kantor dengan kaca gelap yang memantulka
Wajah cantik merona merahnya terlihat semakin menawan. Menatap tajam Faqih dengan sepasang matanya yang berbulu lentik. Ada raut tidak terima di wajahnya."Aku tidak sudi menggodamu. Lagipula katamu pernikahan ini hanya sampai kakiku sembuh dan bisa berjalan normal kembali. Bukankah artinya juga akan bercerai?" Mata itu benar-benar menatap lekat. Faqih merasa gemas sekali, ingin meraupnya saja agar kedua mata bening itu terpejam. Lelaki itu mendengkus dan mendongak sejenak."Aku berubah pikiran. Tidak cukup hanya pernah menikah dan mendapat nama orang tua untuk bayi di perutmu itu. Jika bercerai buru-buru, siapa yang akan mengurusimu saat melahirkan?" ucap Faqih keberatan dan beralasan."Ada dokter, suster, mamaku, Mak Min …," ucap Jeta dengan sederet kemungkinan."Bagaimana jika tiba-tiba kamu baby blues? Siapa yang kamu inginkan selain suami, sedang suami saja tidak ada …." Faqih terlihat serius. Tetapi tidak untuk Jeta yang malah justru akan tertawa. "Kamu paham sekali baby blues
Para pekerja kantor tidak tahu siapa sebenarnya Jeta bagi Faqih. Mereka hanya tahu jika perempuan hamil itu adalah saudari bos mereka. Bahkan sebagian sudah tahu sejak di kantor yang lama. Semua merasa iba pada Jeta yang ditinggal pergi suami selamanya ketika sedang hamil.Tidak jarang beberapa pegawai Faqih bergantian menemani kala Jeta berjalan pelan dengan bergelayut di pagar besi. Berjalan hati-hati dan tertatih di pagar besi yang membatasi sepanjang teras belakang di taman. Jeta tidak masalah dengan jarangnya Faqih menemani. Sangat paham bahwa bos di perusahaan travel itu sangat sibuk. Namun, akan sangat gelisah jika waktu makan terlewatkan. Seperti siang ini, bahkan sudah lewat waktu makan hampir satu jam lamanya. Sedang lelaki itu melarang dirinya keluar dari gedung kantor.Roda kursi yang membawanya melaju berhenti seketika. Niat hati ingin segera melaju ke ruang kerja Faqih terjeda. Tiga orang dari pintu masuk juga tertegun melihatnya. Jeta baru muncul dari lorong penghubung
Perempuan hamil dengan tubuh berisi sempurna itu tampak lebih menggemaskan dengan jalan tertatih dan menyeret koper kecil. Menuju kursi roda yang ditinggalkan di depan pintu kamar."Apa sudah siap? Apa saja ini yang kamu bawa dalam koper?" Faqih bertanya sambil menyambar koper Jeta dan mendekatkan kursi roda. Perempuan itu duduk sambil memandang bingung pada Faqih."Kenapa kamu tertawa, apanya yang lucu?" tanya Jeta terheran. Faqih memang tengah tersenyum lebar dan mulai menarik kursi roda saat Jeta sudah duduk."Kamu bawa apa saja? Kenapa bawaanmu seperti akan pulang kampung ke Jawa, Jeta?" Faqih semakin lebar tersenyum. Merasa koper Jeta cukup sangat berbobot. "Terus, mana bawaan kamu sendiri, Faqih?" Jeta mengamatinya yang hanya membawa tas selempang dengan santai."Di tas sini saja. Ada bajuku di rumah mamaku," sahut Faqih dengan mempercepat langkah menuju pintu. "Mak Min!" Faqih berhenti tiba-tiba di pintu. Yang dipanggil datang tidak lama kemudian. Mengulur sebuah kantong plas
Rumah megah bergaya ala Jepang itu terlihat kian mentereng dengan rinai hujan. Air kembali jatuh dari langit yang kian lama tercurah sangat deras.Koper silver dan kecil tetapi berat, diseret oleh Faqih bersama Jeta di kursi rodanya. Melewati teras dan kini berdiri di depan pintu. Mengetuk beberapa kali hingga terdengar sahutan dari dalam."Wa'alaikumsalam! Eih, Bang Faqih …?!" Seorang gadis muda yang cantik dan berambut pirang serta berkulit putih, memekik sambil menubruk Faqih. Merangkul lelaki itu dengan erat. Perlahan Faqih pun melepas rangkulannya."Mana yang lain, Zahra?" tanya Faqih pada gadis itu."Ada di dalam, belajar. Kalo Bang Zidan di kamarnya." Zahra sambil bergerak lincah membuka lebar-lebar pintu rumah. Gerakannya terhenti. Sadar jika Faqih membawa seseorang."Abang, siapa?" Zahra menunjuk Jeta dengan lirikan matanya."Istri," sahut Faqih cepat."Hah …?!" Zahra sangat terkejut. Namun, serta merta juga menyalami tangan Jeta."Tumben bawa koper. Baguslah kalo abang bakal
Hujan kian deras. Tetapi tanpa bunyi petir menggelegar. Hanya cahaya kilat sesekali berkelebat. Entah sangkut di manakah hingga cahaya kilat yang terang di langit Batam petang itu tanpa diiringi gelegar petirnya. Dua insan manusia sedang mendesah berbaur dengan bunyi hujan yang lebat tercurah. Kamar yang menghadap ke taman dengan tirai tertutup seluruhnya, menyimpan rapat semua rahasia yang ada di dalamnya."Ah, Faqih!" jerit histeris perempuan."Ah, Jeta!" Suara mengeluh lelaki terdengar memekik tertahan. Hampir jatuh dari ranjang. "Kenapa tiba-tiba mendorongku?" tanya lelaki yang bukan lain adalah Faqih. Terheran memandang Jeta yang sedang meringis dan memejam. Lelaki itu sambil menyentuh lengan perempuan itu dengan cemas."Kakiku ketimpa kakimu. Sakit sekali, seperti patah kembali rasanya." Jeta masih memajam dan meringis. Tentu dengan menahan nafas di dada. Sakit sekali ekspresinya. Bahkan merembes air bening dari celah kelopak mata yang merapat."Benarkah, Jeta?! Ayo kita perg
Tangis bayi riuh bersahutan pagi ini. Terdengar dari kamar di luar yang berlainan. Entah di mana ibu para bayi masing-masing. Yang jelas tangis lolong pilu mereka terus membahana dan lama. “Bayi-bayi konser itu, pada ke mana mominya masing-masing?” bisik Faqih di telinga Jeta yang sedang dalam dekapan dadanya. “Aku tidak tahu. Lagi shalat subuh mungkin …,” sahut Jeta menebak asal. Sisa napas masih menderu di dadanya. Faqih baru saja selesai menyentuhnya kembali pagi-pagi. “Ini belum datang waktu subuh, belum adzan, Sayang. Apa jangan-jangan lagi ehem ehem juga kayak kita …?” Faqih tersenyum menggoda. Rambut di pucuk kepala sang istri diciuminya ulang-ulang. “Bisa jadi, ya …,” sahut Jeta membenarkan, lalu menggigiti kecil dada suaminya dengan gemas. Faqih menahan suara pekiknya dan mengaduh lirih kegelian. “Jangan nakal, Jeta. Aku bisa berteriak.” Faqih menjauhkan sedikit kepala istrinya. “Jeta, itu yang sudah kita kasih angpau di dapur semalam, yang siapa? Aku nggak bisa b
Setelah merasa malas untuk beranjak dan pergi ke kamar mandi, Jeta terpaksa bersedia saat diajak untuk menemani. Mereka berdua pun mandi bersama dengan penuh kebisingan. Entah apa saja yang dimainkan dan dilakukan di dalam sana, yang jelas waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari pada mandi biasanya. “Mak Mah belum datang?” tanya Faqih sambil merebah lagi di ranjang. Masih dengan baju koko dan sarungnya. Mereka sambung shalat subuh berjamaah setelah mandi pun bersama.“Belum, ini kepagian. Biasanya habis anak bungsunya pergi ke sekolah,” sahut Jeta sambil melipat mukena dan sajadah. Ingin hati menyusul suami ke pembaringan. Tetapi ingat jika melahirkan konon butuh ekstra perjuangan, Jeta memilih gerak keluar kamar. Seperti biasa, mencabut kotak salad buah dari kulkas. Seleranya benar-benar tidak peduli waktu dan kondisi.“Jeta, ayo ikut ke Hotel Tugu! Aku lupa, Ahmad akan pergi ke Juanda pagi ini!” Ajakan Faqih yang tiba-tiba sangat mengejutkan. Untung Jeta tidak tersedak. “Sebent
Faqih dan Jeta meninggalkan masjid besar di ujung gang yang buka hingga dua puluh empat jam sepanjang hari dan tanpa dijaga satpam. Beberapa pengurus dan jamaah masih terlihat duduk i'tikaf di sana, baik di dalam maupun di serambi. Meski malam sudah merangkak, mereka terlihat nyaman dan tenang di sana. “Ada apa …?” Faqih yang dari kamar mandi dan kini menutup pintu berpapasan dengan Jeta. Sudah berganti baju tidur dan tidak lagi berkerudung. Namun, tampak terkejut memandang Faqih.“Aku … Ingin makan salad dulu. Apa keberatan?” Suara Jeta terdengar kikuk. Faqih berjalan mendekati.“Meski tidak sabar lagi untuk jenguk anak, aku tetap tidak keberatan. Daripada nanti di atas ranjang yang kamu pandang aku, tetapi yang kamu pikir dan sebut justru salad buah,” jawab Faqih tersenyum menggoda sang istri.“Gombal …!” seru Jeta dengan raut yang malu. Faqih hanya diam dan tersenyum. Diikutinya Jeta keluar kamar dan berjalan ke dapur.“Sebenarnya aku pun ingin sesuatu darimu, Jeta,” ucap Faqih sa
Setelah dari klinik kandungan, mereka bukan lantas langsung pulang. Melainkan pergi ke arah berlawanan dari jalur jalan pulang. Jeta membawa Faqih ke Ramayana Mall di depan alun-alun Kota Malang. Berbalanja berbagai makanan dan barang. Oleh-oleh Faqih untuk seseorang yang harus dikunjungi. Sebab memang sudah janji ingin silaturahim dan berkenalan saat dirinya bertandang ke Malang di Jawa. Yang mana niat itu sudah dia sampaikan pada Jeta jauh-jauh hari sebelumnya. “Ayo di makan dulu, ngapain pulang cepet-cepet?” Seorang wanita berdaster longgar dengan menggendong bayi, menyuruh Faqih dan Jeta untuk lekas makan. Ada satu panci besar berisi bakso berkuah yang masih panas dan berkebul asap di meja makan. Juga ada sayur daun katu serta ikan sambal yang tidak lagi tampak panas. Meski sangat suka, Jeta mengambil sayur daun katu yang tampak hijau dan segar itu sedikit. Ingat jika Riri sedang masa menyusui. Daun katu sangat bagus untuk memperlancar produksi air susu ibu. Dan Jeta merasa
Batu nisan bentuk persegi dari keramik dengan nama Ny Arlita tertulis di sana, diusap tangan saat awal datang dengan sebuah salam. Faqih mengakhiri doa ziarah kubur pada makam almarhum ibu mertua pun dengan usapan tangan di batu nisan. Serta sebuah salam kembali di akhirnya.Jeta juga berdiri mengikuti gerak suaminya. Berpamit lirih dengan caranya dan kemudian mengulur tangannya pada Faqih. Mereka berdua bergandeng tangan meninggalkan lokasi makam sang ibu dengan berjalan hati-hati dan lurus. Mengikuti tapak jalan sempit di antara makam-makam. “Angkatlah, Jeta,” ucap Faqih. Ponsel Jeta sudah banyak kali berdering di dalam tasnya sejak masih di dalam lokasi makam. Kini mereka sudah di luar dan Faqih sedang mencuci kaki, tangan dan membasuh wajah. Sambil menyimak tenang percakapan sang istri yang terdengar seru di panggilan.“Ada apa?” Faqih mengelap wajah dengan sapu tangan dan Jeta pun menatapnya, panggilan ponsel telah ditutup beberapa detik yang lalu.“Aku ada undangan pesta nikaha
Pria tampan itu tampak frustasi meski akur dengan penolakan halus sang istri. Meski sama-sama penuh desir dengan gelombang meninggi, keduanya bersepakat menunda.“Faqih, apa kamu marah?” Jeta bertanya segan dengan ekspresi khawatir. Mendongak menatap Faqih yang masih menata napas memburu dan terengah. Menutup mata rapat sambil memeluk Jeta dengan pakaian yang sama-sama lepas berantakan. “Faqih, maaf, bukan aku tidak mau. Tapi aku sangat takut. Bukan aku tidak percaya padamu, tapi aku akan menanyakan pada dokter kandungan, apa kondisiku baik dan tidak bermasalah untuk menerima servis apa pun dari suamiku. Apa kamu mau mengerti?” Jeta kembali bertanya segan dengan menahan rasa malu. Tapi bukan rasa waswas dan cemas, sangat percaya jika Faqih adalah lelaki berwawasan dan bijak. Bukan melulu nafsu dan hasrat yang dikejar.“Faqih …,” panggil Jeta lagi yang mulai tidak sabar dengan kebungkaman pria yang sedang memeluk eratnya. “Hemm … tetapi aku tidak puas, Jeta. Aku sangat ingin membuat
Jeta membawa Faqih mendekati pintu kamar dengan jantung berdebum keras jumpalitan. Segala khayal dan bayang dalam kepala silih berganti meresahkan. Menduga apa yang akan dilakukan Faqih dalam kamar membuat hati jadi liar berdebar. Lelaki itu bersikeras meminta ditemani hingga ke dalam saat Jeta hanya menunjukkan daun pintu kamarnya dari jauh.“Sudah masuklah. Akan tetapi, di dalam tidak ada kamar mandi. Di situ kamar mandinya,” ucap Jeta menunjuk kamar mandi di pojok ruangan. Faqih hanya sekilas melihat. Mereka sudah berhenti tepat di depan pintu kamar.“Aku ingin kamu juga masuk ke dalam kamar denganku. Apa masih kurang paham juga?" ucap Faqih dengan berdiri tegak di depan Jeta. “Aku ingin kembali ke meja makan, masih ingin makan salad sekotak lagi. Mak Mah pun belum pulang, Faqih,” ucap Jeta menolak halus dengan mencoba beralasan.“Dia pulang? Apa dia tidak menginap juga di sini?” tanya Faqih yang merasa salah terka. “Tidak. Rumah kontraknya ada di belakang masjid. Anak-anaknya ma
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap