Perempuan hamil dengan tubuh berisi sempurna itu tampak lebih menggemaskan dengan jalan tertatih dan menyeret koper kecil. Menuju kursi roda yang ditinggalkan di depan pintu kamar."Apa sudah siap? Apa saja ini yang kamu bawa dalam koper?" Faqih bertanya sambil menyambar koper Jeta dan mendekatkan kursi roda. Perempuan itu duduk sambil memandang bingung pada Faqih."Kenapa kamu tertawa, apanya yang lucu?" tanya Jeta terheran. Faqih memang tengah tersenyum lebar dan mulai menarik kursi roda saat Jeta sudah duduk."Kamu bawa apa saja? Kenapa bawaanmu seperti akan pulang kampung ke Jawa, Jeta?" Faqih semakin lebar tersenyum. Merasa koper Jeta cukup sangat berbobot. "Terus, mana bawaan kamu sendiri, Faqih?" Jeta mengamatinya yang hanya membawa tas selempang dengan santai."Di tas sini saja. Ada bajuku di rumah mamaku," sahut Faqih dengan mempercepat langkah menuju pintu. "Mak Min!" Faqih berhenti tiba-tiba di pintu. Yang dipanggil datang tidak lama kemudian. Mengulur sebuah kantong plas
Rumah megah bergaya ala Jepang itu terlihat kian mentereng dengan rinai hujan. Air kembali jatuh dari langit yang kian lama tercurah sangat deras.Koper silver dan kecil tetapi berat, diseret oleh Faqih bersama Jeta di kursi rodanya. Melewati teras dan kini berdiri di depan pintu. Mengetuk beberapa kali hingga terdengar sahutan dari dalam."Wa'alaikumsalam! Eih, Bang Faqih …?!" Seorang gadis muda yang cantik dan berambut pirang serta berkulit putih, memekik sambil menubruk Faqih. Merangkul lelaki itu dengan erat. Perlahan Faqih pun melepas rangkulannya."Mana yang lain, Zahra?" tanya Faqih pada gadis itu."Ada di dalam, belajar. Kalo Bang Zidan di kamarnya." Zahra sambil bergerak lincah membuka lebar-lebar pintu rumah. Gerakannya terhenti. Sadar jika Faqih membawa seseorang."Abang, siapa?" Zahra menunjuk Jeta dengan lirikan matanya."Istri," sahut Faqih cepat."Hah …?!" Zahra sangat terkejut. Namun, serta merta juga menyalami tangan Jeta."Tumben bawa koper. Baguslah kalo abang bakal
Hujan kian deras. Tetapi tanpa bunyi petir menggelegar. Hanya cahaya kilat sesekali berkelebat. Entah sangkut di manakah hingga cahaya kilat yang terang di langit Batam petang itu tanpa diiringi gelegar petirnya. Dua insan manusia sedang mendesah berbaur dengan bunyi hujan yang lebat tercurah. Kamar yang menghadap ke taman dengan tirai tertutup seluruhnya, menyimpan rapat semua rahasia yang ada di dalamnya."Ah, Faqih!" jerit histeris perempuan."Ah, Jeta!" Suara mengeluh lelaki terdengar memekik tertahan. Hampir jatuh dari ranjang. "Kenapa tiba-tiba mendorongku?" tanya lelaki yang bukan lain adalah Faqih. Terheran memandang Jeta yang sedang meringis dan memejam. Lelaki itu sambil menyentuh lengan perempuan itu dengan cemas."Kakiku ketimpa kakimu. Sakit sekali, seperti patah kembali rasanya." Jeta masih memajam dan meringis. Tentu dengan menahan nafas di dada. Sakit sekali ekspresinya. Bahkan merembes air bening dari celah kelopak mata yang merapat."Benarkah, Jeta?! Ayo kita perg
Kendaraan meluncur tenang meninggalkan area rumah sakit. Setelah melar dari rencana yang hanya satu malam menjadi tiga malam, mereka pun meninggalkan Kota Batu Ampar siang itu.Niat berangkat pagi-pagi juga terhambat sebab hujan turun deras. Hingga bergeser menjadi siang belum juga tanda akan habis hujan. Maka habis dzuhur pun benar-benar diterabas.Dengan rasa sedikit tenang meninggalkan sang ibu kandung bersama keluarganya. Dokter menyatakan kondisi ibunya terus stabil dan berungsur membaik. Bahkan Faqih sudah bisa mengajaknya berbicara. Meski sang ibu hanya merespon dengan isyarat mata dan gerakan tangannya.Faqih melaju bersemangat. Kota Batu Ampar pun telah tamat. Bukan jalan semula yang ditempuh, tetapi jalan lain yang bukan menuju ke arah Kota Nagoya. Yakni jalur jalan menuju arah Jembatan Barelang lah yang kini sedang Faqih susurindan tempuh. Menduga ini akan ke mana, perasaan Jeta berdebar sangat senang. "Kita akan ke rumah Mbah Ranti?" Jeta tidak menyembunyikan ekspresi ge
Jeta telah mendengar dari wanita yang selama dua puluh tiga tahun lebih ini merawat dan membesarkan dirinya sebagaimana ibu kandung. Nyatanya, sang mama yang demikian sayang dan mencurahkan kasihnya selama ini, bukanlah wanita yang melahirkan dirinya saat bayi. Ada rahim lain yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan menghadirkannya ke dunia dengan selamat dan sempurna."Lepaskan, aku!" Jeta menepis saat Faqih mencoba menenangkan dengan memeluk. Kebenaran yang membuat sangat terkejut dan kecewa. Teramat sedih dan sakit. Jika tidak memikirkan keadaan Mama Fani yang berubah lebih kritis setelah menyampaikan hal sesungguhnya, saat itu juga dirinya memilih terbang dan pulang ke Jawa. Demi menyimpuh dan mendoa untuk sang ibu kandung di sana. Dengan tubuh yang sudah bersemayam lama dan tenang di bawah pusara."Sudahi saja menangisnya Jeta. Sabarlah, semangatlah. Jangan putus berdoa, agar Mama Fani segera terlepas dari keadaan kritisnya." Faqih kembali membujuk Jeta setelah kembali
Kepalanya sangat berat dengan mata yang susah sekali dibuka, Faqih pun memutuskan untuk pergi istirahat ke paviliun. Meninggalkan sang papa yang demikian setia menunggu istrinya di bangku tunggu ruang opname. Sang papa juga sungguh-sungguh menyuruh anak lelaki untuk menyusul tidur istrinya di paviliun.Hawa dingin malam di luaran ternyata lebih menggigit kulit begitu membuka pintu paviliun dan Faqih masuk ke dalamnya. Mendekati sofa dan mendapati Jeta yang meringkuk dan melipat kakinya hingga di perutnya yang mengganjal. Selimut yang tadi ditutupkan, telah berserakan di belakang tubuhnya. Wajah indah itu memejam rapat meski dengan dahi yang sedikit berkernyit. Terlihat gelisah dan kedinginan dengan tarikan nafas yang cepat.Faqih merasa iba dan trenyuh. Mengakui jika Jeta adalah gadis yang tabah dan tangguh. Telah banyak kali diuji oleh masalah bertubi dan berat, tetapi tidak menunjuk reaksi berlebihan yang di luar batas. Menyikapi dengan tenang dan bijak. Meski caranya yang sering k
Tiga bulan menuju empat bulan pun berlalu demikian cepat. Kehamilan yang melewati lima bulan itu sudah sangat terlihat dan jelas. Kaki yang beberapa minggu lalu masih tertatih, kini berjalan lurus sempurna meskipun dengan langkah yang pelan. Orang melihat akan menyangka sebab perut membuncit itu yang membuatnya berjalan santai, bukan sebab dari kakinya yang lamban.Jeta yang baru kembali dari menginap di rumah Fani, sedang berdiri di almari pendingin dengan pintu yang terbuka. Bibirnya cemberut dengan ekspresi yang kecewa."Mak Min, apa Faqih tidak membelikanku salad buah?" Jeta menegur pada wanita yang sedang berbenah di dapur, tetapi dengan perasaan kecewa pada Faqih. "Belum, Nyah. Kemarin sudah aku ingatkan. Bilangnya, iya. Jika Nyah Jeta sudah datang akan dibelikan …," ucap Mak Min sambil mencuci perkakas di wastafel.Bukan hanya kecewa jika ini berhubungan dengan salad buah, terapi juga kesal. Sudah beberapa kali lelaki itu lupa tidak membelikannya salad buah. Hingga stok dalam
Mukena yang sudah dilipat rapi dan diselip di tengah sajadah, telah diletak kembali di atas bangku kamar. Maghrib berlalu cepat hingga akan datang adzan Isya. Jeta baru selesai makan malam dan menghadap piring kosong bersama mamanya. Ardi masih belum kembali dari urusan jual beli mega properti dan proyek miliknya di Kota Sekupang."Pukul berapa Om Ardi pulang, Ma?" Jeta masih betah duduk di meja makan dan merasa enggan beranjak. Ada satu yang kurang dan rasanya tidak mungkin ada dalam waktu dekat ini. Ya, salad buah lah yang sedang sangat Jeta inginkan. Hingga liurnya seperti terus saja merembes."Papamu bisa jadi pulang tengah malam nanti, Jeta. Beberapa rekan dan custumer dari luar negara paling suka mengambil penerbangan malam. Ya demi kelancaran, papamu ikut juga ke bandara," ucap Fani sambil menghela napas kencang."Mama harus segera pulih lagi sehatnya. Seneng kan bisa ikut suami ke mana-mana. Kalo kayak gini, Mama akan sering sendirian di rumah," ucap Jeta sedih."Iya … Mama s