Kendaraan meluncur tenang meninggalkan area rumah sakit. Setelah melar dari rencana yang hanya satu malam menjadi tiga malam, mereka pun meninggalkan Kota Batu Ampar siang itu.Niat berangkat pagi-pagi juga terhambat sebab hujan turun deras. Hingga bergeser menjadi siang belum juga tanda akan habis hujan. Maka habis dzuhur pun benar-benar diterabas.Dengan rasa sedikit tenang meninggalkan sang ibu kandung bersama keluarganya. Dokter menyatakan kondisi ibunya terus stabil dan berungsur membaik. Bahkan Faqih sudah bisa mengajaknya berbicara. Meski sang ibu hanya merespon dengan isyarat mata dan gerakan tangannya.Faqih melaju bersemangat. Kota Batu Ampar pun telah tamat. Bukan jalan semula yang ditempuh, tetapi jalan lain yang bukan menuju ke arah Kota Nagoya. Yakni jalur jalan menuju arah Jembatan Barelang lah yang kini sedang Faqih susurindan tempuh. Menduga ini akan ke mana, perasaan Jeta berdebar sangat senang. "Kita akan ke rumah Mbah Ranti?" Jeta tidak menyembunyikan ekspresi ge
Jeta telah mendengar dari wanita yang selama dua puluh tiga tahun lebih ini merawat dan membesarkan dirinya sebagaimana ibu kandung. Nyatanya, sang mama yang demikian sayang dan mencurahkan kasihnya selama ini, bukanlah wanita yang melahirkan dirinya saat bayi. Ada rahim lain yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan menghadirkannya ke dunia dengan selamat dan sempurna."Lepaskan, aku!" Jeta menepis saat Faqih mencoba menenangkan dengan memeluk. Kebenaran yang membuat sangat terkejut dan kecewa. Teramat sedih dan sakit. Jika tidak memikirkan keadaan Mama Fani yang berubah lebih kritis setelah menyampaikan hal sesungguhnya, saat itu juga dirinya memilih terbang dan pulang ke Jawa. Demi menyimpuh dan mendoa untuk sang ibu kandung di sana. Dengan tubuh yang sudah bersemayam lama dan tenang di bawah pusara."Sudahi saja menangisnya Jeta. Sabarlah, semangatlah. Jangan putus berdoa, agar Mama Fani segera terlepas dari keadaan kritisnya." Faqih kembali membujuk Jeta setelah kembali
Kepalanya sangat berat dengan mata yang susah sekali dibuka, Faqih pun memutuskan untuk pergi istirahat ke paviliun. Meninggalkan sang papa yang demikian setia menunggu istrinya di bangku tunggu ruang opname. Sang papa juga sungguh-sungguh menyuruh anak lelaki untuk menyusul tidur istrinya di paviliun.Hawa dingin malam di luaran ternyata lebih menggigit kulit begitu membuka pintu paviliun dan Faqih masuk ke dalamnya. Mendekati sofa dan mendapati Jeta yang meringkuk dan melipat kakinya hingga di perutnya yang mengganjal. Selimut yang tadi ditutupkan, telah berserakan di belakang tubuhnya. Wajah indah itu memejam rapat meski dengan dahi yang sedikit berkernyit. Terlihat gelisah dan kedinginan dengan tarikan nafas yang cepat.Faqih merasa iba dan trenyuh. Mengakui jika Jeta adalah gadis yang tabah dan tangguh. Telah banyak kali diuji oleh masalah bertubi dan berat, tetapi tidak menunjuk reaksi berlebihan yang di luar batas. Menyikapi dengan tenang dan bijak. Meski caranya yang sering k
Tiga bulan menuju empat bulan pun berlalu demikian cepat. Kehamilan yang melewati lima bulan itu sudah sangat terlihat dan jelas. Kaki yang beberapa minggu lalu masih tertatih, kini berjalan lurus sempurna meskipun dengan langkah yang pelan. Orang melihat akan menyangka sebab perut membuncit itu yang membuatnya berjalan santai, bukan sebab dari kakinya yang lamban.Jeta yang baru kembali dari menginap di rumah Fani, sedang berdiri di almari pendingin dengan pintu yang terbuka. Bibirnya cemberut dengan ekspresi yang kecewa."Mak Min, apa Faqih tidak membelikanku salad buah?" Jeta menegur pada wanita yang sedang berbenah di dapur, tetapi dengan perasaan kecewa pada Faqih. "Belum, Nyah. Kemarin sudah aku ingatkan. Bilangnya, iya. Jika Nyah Jeta sudah datang akan dibelikan …," ucap Mak Min sambil mencuci perkakas di wastafel.Bukan hanya kecewa jika ini berhubungan dengan salad buah, terapi juga kesal. Sudah beberapa kali lelaki itu lupa tidak membelikannya salad buah. Hingga stok dalam
Mukena yang sudah dilipat rapi dan diselip di tengah sajadah, telah diletak kembali di atas bangku kamar. Maghrib berlalu cepat hingga akan datang adzan Isya. Jeta baru selesai makan malam dan menghadap piring kosong bersama mamanya. Ardi masih belum kembali dari urusan jual beli mega properti dan proyek miliknya di Kota Sekupang."Pukul berapa Om Ardi pulang, Ma?" Jeta masih betah duduk di meja makan dan merasa enggan beranjak. Ada satu yang kurang dan rasanya tidak mungkin ada dalam waktu dekat ini. Ya, salad buah lah yang sedang sangat Jeta inginkan. Hingga liurnya seperti terus saja merembes."Papamu bisa jadi pulang tengah malam nanti, Jeta. Beberapa rekan dan custumer dari luar negara paling suka mengambil penerbangan malam. Ya demi kelancaran, papamu ikut juga ke bandara," ucap Fani sambil menghela napas kencang."Mama harus segera pulih lagi sehatnya. Seneng kan bisa ikut suami ke mana-mana. Kalo kayak gini, Mama akan sering sendirian di rumah," ucap Jeta sedih."Iya … Mama s
Begitu sulit bernapas. Antara mengambil dan menghempas, teramat sama susahnya. Sungguh sesak rasa di dadanya. Meski Faqih tidak lagi menahan, tangan Jeta kian lekat sendiri di dada dan perut suaminya. Kulit yang mula-mula terasa dingin sehabis mandi, kini berubah sangat hangat di telapak tangannya. Jeta bahkan kehilangan kata-kata saat tangan kekar itu mengalung di pinggang dan punggungnya. Menarik mendekat dan akhirnya membawa kedua tubuh merapat. Terasa kian kesulitan saja Jeta bernapas."Pandang aku, Jeta," tegur Faqih. Jeta telah berpaling dari menatapnya. Melurus wajah dengan pandangan yang berlabuh di dada suaminya."Ada … apa?" respon Jeta gugup sambil mendongak. "Aku hanya ingin kamu pandang dengan lama," ucap Faqih beralasan. Jeta pun terdiam, merasa tidak salahnya menatap dalam wajah itu. Yang tidak akan dilihatnya lagi dalam waktu sangat lama. Atau justru mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Jeta menatap wajah berkulit cerah itu sepuas dan sedetail inginnya.Alis hitam
Tidak biasa hingga lewat waktu isya, Jeta belum juga tampak batang hidungnya. Yang sebelum ini selalu datang saat siang atau sebelum maghrib dari menginap di rumah Fani. Bahkan kini makanan beragam di atas meja yang sudah disiapkan Mak Min untuk makan malam, telah benar-benar menjadi dingin. “Mau ke mana, Tuan?!” seru Mak Min saat Faqih keluar dari kamar, kemudian menyambar kunci mobil.“Menyusul Jeta ke Batam Centre, Mak Min. Panggilanku selalu dia alihkan. Assalamu'alaikum!” Faqih melesat melewati pintu besi.“Wa'alaikumsalam!” Mak Min menjawab dengan rasa ikut bertanya. Khawatir akan kelambatan kedatangan Jeta ke apartemen. Memahami perasaan sang tuan yang waswas. Mak Min bergegas mengambil tudung saji lebar dan besar. Menutup segala hidangan di meja makan dengan sedih. Makanan banyak menu yang dia masak sebagaimana yang diinginkan Faqih, terancam bernasib sia-sia dan mubadzir. Sebab wanita yang ditunggu untuk diharap makan malam berdua dengan sang tuan tidak datang.Tidak memerl
Rumah asri berhalaman luas dengan pohon tanjung besar dan tinggi terlihat lengang pagi ini. Tidak terlihat penghuninya berseliwer di halaman rindang rumah itu. Yang mana halamannya tampak bersih bekas disapu dan diairi basah rata. Dengan aroma khas tanah lembabnya pagi hari.Seorang perempuan berkerudung dengan gamis biru tua dan anggun, terlihat gusar saat berbicara dengan seorang wanita tengah baya. Mereka berbincang di depan pagar dengan membawa sayur hijau masing-masing.“Sudah, Jeta, abaikan yang suka nanya-nanya itu. Yang penting suami kamu ada dan nanti datang menyusul. Biar mereka malu sendiri dan menyesal suka nyinyir.” Wanita tengah baya berbicara."Iya, terima kasih pengertian Anda," ucap Jeta sopan. "Emh, kapan Anda mulai datang dan berkemas, Bu?" tanya Jeta sopan sambil menunduk. Wanita tengah baya itu bertubuh semampai, yang artinya adalah semeter tidak sampai. Bertubuh pendek dan tambun.“Nanti ibu datang ke rumahmu agak siangan saja, Jeta. Nunggu anak pulang sekolah. B