Mukena yang sudah dilipat rapi dan diselip di tengah sajadah, telah diletak kembali di atas bangku kamar. Maghrib berlalu cepat hingga akan datang adzan Isya. Jeta baru selesai makan malam dan menghadap piring kosong bersama mamanya. Ardi masih belum kembali dari urusan jual beli mega properti dan proyek miliknya di Kota Sekupang."Pukul berapa Om Ardi pulang, Ma?" Jeta masih betah duduk di meja makan dan merasa enggan beranjak. Ada satu yang kurang dan rasanya tidak mungkin ada dalam waktu dekat ini. Ya, salad buah lah yang sedang sangat Jeta inginkan. Hingga liurnya seperti terus saja merembes."Papamu bisa jadi pulang tengah malam nanti, Jeta. Beberapa rekan dan custumer dari luar negara paling suka mengambil penerbangan malam. Ya demi kelancaran, papamu ikut juga ke bandara," ucap Fani sambil menghela napas kencang."Mama harus segera pulih lagi sehatnya. Seneng kan bisa ikut suami ke mana-mana. Kalo kayak gini, Mama akan sering sendirian di rumah," ucap Jeta sedih."Iya … Mama s
Begitu sulit bernapas. Antara mengambil dan menghempas, teramat sama susahnya. Sungguh sesak rasa di dadanya. Meski Faqih tidak lagi menahan, tangan Jeta kian lekat sendiri di dada dan perut suaminya. Kulit yang mula-mula terasa dingin sehabis mandi, kini berubah sangat hangat di telapak tangannya. Jeta bahkan kehilangan kata-kata saat tangan kekar itu mengalung di pinggang dan punggungnya. Menarik mendekat dan akhirnya membawa kedua tubuh merapat. Terasa kian kesulitan saja Jeta bernapas."Pandang aku, Jeta," tegur Faqih. Jeta telah berpaling dari menatapnya. Melurus wajah dengan pandangan yang berlabuh di dada suaminya."Ada … apa?" respon Jeta gugup sambil mendongak. "Aku hanya ingin kamu pandang dengan lama," ucap Faqih beralasan. Jeta pun terdiam, merasa tidak salahnya menatap dalam wajah itu. Yang tidak akan dilihatnya lagi dalam waktu sangat lama. Atau justru mereka tidak akan pernah bertemu lagi. Jeta menatap wajah berkulit cerah itu sepuas dan sedetail inginnya.Alis hitam
Tidak biasa hingga lewat waktu isya, Jeta belum juga tampak batang hidungnya. Yang sebelum ini selalu datang saat siang atau sebelum maghrib dari menginap di rumah Fani. Bahkan kini makanan beragam di atas meja yang sudah disiapkan Mak Min untuk makan malam, telah benar-benar menjadi dingin. “Mau ke mana, Tuan?!” seru Mak Min saat Faqih keluar dari kamar, kemudian menyambar kunci mobil.“Menyusul Jeta ke Batam Centre, Mak Min. Panggilanku selalu dia alihkan. Assalamu'alaikum!” Faqih melesat melewati pintu besi.“Wa'alaikumsalam!” Mak Min menjawab dengan rasa ikut bertanya. Khawatir akan kelambatan kedatangan Jeta ke apartemen. Memahami perasaan sang tuan yang waswas. Mak Min bergegas mengambil tudung saji lebar dan besar. Menutup segala hidangan di meja makan dengan sedih. Makanan banyak menu yang dia masak sebagaimana yang diinginkan Faqih, terancam bernasib sia-sia dan mubadzir. Sebab wanita yang ditunggu untuk diharap makan malam berdua dengan sang tuan tidak datang.Tidak memerl
Rumah asri berhalaman luas dengan pohon tanjung besar dan tinggi terlihat lengang pagi ini. Tidak terlihat penghuninya berseliwer di halaman rindang rumah itu. Yang mana halamannya tampak bersih bekas disapu dan diairi basah rata. Dengan aroma khas tanah lembabnya pagi hari.Seorang perempuan berkerudung dengan gamis biru tua dan anggun, terlihat gusar saat berbicara dengan seorang wanita tengah baya. Mereka berbincang di depan pagar dengan membawa sayur hijau masing-masing.“Sudah, Jeta, abaikan yang suka nanya-nanya itu. Yang penting suami kamu ada dan nanti datang menyusul. Biar mereka malu sendiri dan menyesal suka nyinyir.” Wanita tengah baya berbicara."Iya, terima kasih pengertian Anda," ucap Jeta sopan. "Emh, kapan Anda mulai datang dan berkemas, Bu?" tanya Jeta sopan sambil menunduk. Wanita tengah baya itu bertubuh semampai, yang artinya adalah semeter tidak sampai. Bertubuh pendek dan tambun.“Nanti ibu datang ke rumahmu agak siangan saja, Jeta. Nunggu anak pulang sekolah. B
Sore itu Jeta baru kembali dari area pemakaman dengan becak seperti biasa, tetapi dengan akang becak yang berbeda. Sedang duduk santai di teras rumah setelah mandi sore dan merasa sangat segar. Sebab merasa aman dan di area rumah sendiri, rambut dan kepala basahnya tidak dikerudungi. Menikmati angin semilir yang mulai terasa dingin menghembus Kota Malang dengan santai. Bunyi pesan masuk mencuri atensinya. Diletaknya kaleng keripik usus kesukaan di meja. Jeta menyambar ponsel dari saku gamis dan membuka menu pesan di layar. Grup chat dan pesan alumni kampus di sama fakultas yang lama tidak memberi notifikasi pesan masuk, tiba-tiba aktif dan berbunyi. Sebuah pesan foto dan video terkirim di sana.Terkejut bukan main, isi tokoh dalam foto dan video adalah Jeta sendiri. Diambil saat dirinya naik ojek becak di pangkalan sore ini. Jadi gosip ini masih baru dan original. Yang isi keterangan di caption foto dan video sungguh mengesalkan.*Masih ingat dia, kan? Baru lulus sudah segini.
Meski tiap hari mendapat pesan dengan isi yang sama dan waktu pun tidak mundur atau maju, Jeta tidak lantas mengadu dan mengeluh. Tetap saja rasanya segan dan gengsi untuk meluah rasa dalam hati.“Bagaimana kabarmu?” Ini adalah pesan Faqih untuk malam-malam setelahnya dan selalu seperti itu isinya. “Kabarku sangat baik.”Selalu hanya seperti ini juga Jeta memberikan pesan balasan. Pasti berhenti begitu, sebab setelahnya tidak ada lagi pesan yang datang dari seberang. Jeta merasa cukup puas dan senang mendapat pesan dari Faqih sedemikian tiap malam. Akan tetapi pada awal saja, setelahnya merasa kecewa. Menganggap jika lelaki itu hanya sebatas rutinitas berkirim pesan untuknya. Jeta menduga jika pesan rutin yang dikirim sekadar dioperasikan oleh bot sistem pada gadget.“Bagaimana kabarmu hari ini, Faqih?” Penasaran yang susah ditahan lagi, Jeta pun berkirim pesan mendahului sebelum pukul sepuluh. Namun, tidak serta merta mendapat balasan.“Alhamdulillah, cukup baik hari ini, Jeta."
Mak Mah baru saja selesai menyiapkan makan malam dan sedang mengepel basah lantai dapur. Sangat fokus akan kerjanya dan tampak berjalan mundur mengepel dengan langkah hati-hati. Blak! “Ah …!” Suara mengejutkan diikuti jerit kaget, membuat Mak Mah seketika menoleh. “Jeta …!” Mak Mah mendekat sangat panik. “Aku tidak apa-apa, Mak. Hanya terpeleset sedikit. Nggak jatuh, kok!” Jeta menjelaskan dengan terengah dan masih merasa terkejut. Mak Mah sudah mengelusi punggung Jeta yang berposisi melengkung jongkok.“Tapi kan kaget. Perutnya, apa terasa sakit?” tanya Mak Mah cemas.“Alhamdulillah enggak, Mak. Aku sempat pegangan meja. Cuma kursinya saja yang jatuh ketendang kakiku, Mak,” terang Jeta.Kemudian bergeser dan menghenyak pantatnya di kursi. Mak Mah membungkuk meraih kursi yang ambruk ke lantai menjadi ke posisi berdiri semula.“Maaf, Jeta. Mak pikir kamu tidak akan keluar kalo nggak dipanggil.” Mak Mah memang selalu memanggil Jeta untuk keluar kamar jika meja makan sudah siap.“Tap
Shalat maghrib bahkan dilakukan dengan lebih cepat. Juga tidak mengenakan apa pun di kulit wajah polosnya. Namun, sedikit pengorbanan itu seperti tanpa arti saat salad buah di atas meja makan sudah sangat sempurna tersajikan.“Bang Ahmad cepat sekali buatnya,” ucap Jeta sambil duduk dengan pandangan yang takjub. Tetapi, ada nada kecewa pada ucapannya.Telah menunggu dua kotak salad siap eksekusi di atas meja. Desta tidak sungkan-sungkan mendekapnya. Lelaki itu masih sibuk mengemas irisan salad buah di panci besar ke dalam wadah kotak untuk di taburi parutan keju dengan cepat. Mengabaikan keinginan Jeta untuk mengamatinya. Ahmad tidak ingin kehilangan waktu maghrib.“Dia sudah terlatih, Jeta. Kamu lihat pun juga sama cara buatnya. Tetapi hasilnya ya pasti saja jauh beda. Sudah, kamu sekarang tinggal makan saja,” ucap Mak Mah yang paham arti ucapan dan ekspresi Jeta. Mengerti jika wanita hamil itu sangat ingin melihat proses pembuatannya.“Iya, Mak Mah. Aku akan makan saja banyak-banyak