Setelah bertahun-tahun kabur dengan janin yang dikandungnya, Tiara akhirnya memutuskan untuk kembali setelah mendapat undangan pernikahan dari sang kakak tiri. Meski sakit hati karena sang kakak akan menikahi Bram--mantan kekasih yang hampir menikah dengannya--tetapi Tiara berusaha tegar. Sayangnya, kehadiran Tiara di resepsi itu justru menimbukkan kekacauan, hingga sang kakak meninggal dunia. Murka Bram jelas meningkat. Pria itu bahkan membawa surat tuntutan ganti rugi untuk keluarga wanita itu--biaya resepsi 1 Miliar dikembalikan dalam waktu dua bulan. Sebuah ide gila pun muncul, Tiara menawarkan diri sebagai istri ganti rugi uang resepsi. Lantas, akankah Bram menerimanya, atau justru menolak keinginannya? Terlebih, pria itu sepertinya mengira Tiara memiliki anak dari pria lain...?
view more"Jadi, kamu adiknya?
Tiara berusaha menyembunyikan tubuhnya yang bergetar karena takut. Sudah lama, ia tidak mendengar pria yang dulu menjadi kekasihnya, bicara dengan nada serendah ini.Meskipun dengan suara pelan, Tiara kemudian menjawab pertanyaan itu, "Iya. Dia kakakku."BRAK!Bramantyo seketika menggebrak kuat meja di hadapannya, begitu mendengar jawaban singkat Tiara.Degup jantung Tiara semakin kencang.Bertahun-tahun tak bertemu, sepertinya Bram sudah berubah. Pria itu tampak semakin kasar setelah Tiara pergi semalam sebelum pernikahan mereka."Kalian ternyata benar-benar keluarga penipu!" pekik Bram dengan tatapan tajam bak belati yang siap menghujam siapa saja, "Dulu, adiknya yang ingin menikahiku, tetapi kabur. Lalu, aku nyaris saja menghabiskan hidupku sebagai suami sang kakak. Apa kalian pikir aku akan bersimpati setelah kematian Mawar, begitu?!”“Jangan harap!"Ucapan pedas Bram membuat Tiara tertegun.Bagaimana bisa pria yang dulunya penuh kasih itu berkata demikian tentang istri yang baru dinikahinya kemarin?Memang, kakak tiri Tiara itu tidak pernah memberitahu hubungan persaudaraan mereka. Namun, apakah pria itu tidak punya hati menyerang keluarga mereka yang baru saja kehilangan Mawar?"Apa maksudmu dengan mengatakan keluargaku penipu?" ucap Tiara tak kalah tegas, “kakakku mati terkena serangan jantung dan meninggal bersama calon anakmu di rahimnya. Kamu pikir kami mau kehilangan dia?”“Ck!” decak Bram malas. Pria itu kemudian menatap sinis Tiara. "Apa perlu aku jelaskan, bagaimana liciknya keluargamu menguras uangku dengan mengatasnamakan pesta pernikahan?""Ah, tapi setidaknya sekarang aku bersyukur. Kakakmu itu mati sebelum menjadi Nyonya Bramantyo," sarkasnya tanpa iba--meski ia tahu kesedihan masih jelas menyelimuti keluarga itu.Tangan Tiara sontak mengepal. Perempuan itu bahkan langsung berdiri karena ucapan Bram sudah sangat keterlaluan."Jaga bicaramu, Bram! Jika kau ingin marah, lakukan itu padaku. Jangan pernah libatkan kedua orang tuaku apalagi mendiang kak Mawar," sentak perempuan itu.Dengan berani, Tiara menantang Bram--walaupun ia tahu, pria itu tak gentar sedikit pun.Prok! Prok!Alih-alih tersentuh, Bram justru bertepuk tangan--membuat Tiara terperangah tak mengerti."Rupanya, kau masih saja banyak bicara, Tiara," sinis Bram seraya bersilang kaki dan menyandarkan punggungnya. "Kau bahkan sangat total dalam memainkan peranmu sebagai perempuan baik-baik."Geram, Tiara ingin membalasnya. Namun, belum sempat membuka mulut, Tiara kembali terkejut saat merasakan baju belakangnya ditarik.Ditemukannya sang ibu sambung tengah menatapnya sendu sambil menggeleng samar--seolah meminta Tiara untuk mengalah dan kembali duduk."Kenapa?! Mau membela diri, atau ingin mengumpatku? Silakan, lakukan saja sesukamu."'Toh, setelah ini, kamu akan datang dan mengemis padaku, Tiara,' lanjut Baram dalam hati disertai seringai licik."Nak Bram, sebelumnya bapak minta maaf kalau sudah membuat nak Bram kecewa." Pria paruh baya yang tak lain Wisnu--ayah Tiara--akhirnya ikut angkat bicara."Bapak juga tahu, nak Bram pasti merasa sangat kehilangan atas kematian Mawar yang tiba-tiba. Karena kami juga merasakan hal yang sama," tuturnya, "Jadi, bapak mohon sangat, agar nak Bram lebih bisa menahan diri. Hati kami juga sakit–""--Sudah cukup," sela Bram seraya mengangkat tangan kanannya. "Mungkin takdirku saja yang buruk karena harus terjebak ke dalam permainan licik keluarga kalian.""Kamu seperti manusia tak berhati, Bram!" Tiara balik menyerang saat tahu pria itu ingin kembali menghina keluarganya. "Kamu tega berbicara seperti itu, saat kesedihan masih kami rasakan," ucapnya mengabaikan rasa sakit akibat cengkraman kuat di lengan kiri yang dilakukan oleh ibunya."Ternyata benar, jika tampilan rapi dan kedudukan tinggi seseorang. Belum tentu menjadi jaminan jika orang tersebut juga memiliki attitude yang baik. Dan sekarang, aku melihat itu dalam dirimu," tegasnya sengaja menekan setiap kata yang diucapkan."Ck! Mulutmu benar-benar pedas, Tiara. Kau berbicara seolah kalianlah yang paling tersakiti," decit Bram seraya menegakkan tubuh. "Baiklah, aku akan langsung pada intinya saja mengenai tujuan sebenarnya datang kemari. Karena aku sudah cukup muak menyaksikan drama keluarga kalian.""Aku hanya ingin menyerahkan ini." BRAK!Bram membanting sebuah map berwarna coklat yang baru saja ia terima dari salah satu pengawalnya, tepat di hadapan Tiara. "Silakan baca, dan pahami isinya. Waktumu lima belas menit dari sekarang," terang Bram.Merasa penasaran dengan isi map tersebut, Tiara segera meraih dan membukanya. Namun, baru mengetahui tulisan di lembaran pertama, kedua matanya langsung membola serta mulut yang menganga.[ SURAT GUGATAN GANTI RUGI RESEPSI. ]Walaupun hatinya langsung meronta tidak terima dengan nominal yang Bram tuntut, tapi Tiara tetap membaca lembar demi lembar kertas yang ada di dalam map itu hingga selesai."Ini sangat tidak masuk akal," gumam Tiara dengan pandangan masih tertuju pada kertas di tangannya.Sejujurnya, ia merasa tidak habis pikir dengan isi kepala pria itu.Kenapa tega menuntut keluarganya dengan jumlah yang sangat fantastis?Selesai membaca Tiara diam sejenak untuk mengatur detak jantungnya, serta meredam amarah agar tidak meledak di hadapan kedua orang tuanya.Selain menuntut ganti rugi biaya resepsi yang nominalnya sangat besar, Bram juga memberikan tenggang waktu pelunasan yang sangat mustahil bisa terpenuhi.''Ini sangat mustahil bisa aku penuhi, jika tenggang waktunya saja hanya dua bulan dari sekarang. Dari mana aku bisa mendapatkan uang 1 Miliar dalam waktu sesingkat itu?' batin Tiara menatap nanar banyaknya angka nol di kertas itu."Apa isi map itu, Tiara?" Suara parau Wisnu–sang ayah–menyadarkan Tiara dari lamunannya."Bukan apa-apa, pak." Ia buru-buru memasukan lagi lembaran kertas ke dalam map, lalu beranjak berdiri."Kita perlu bicara berdua Bram. Di luar."Pria itu hanya menanggapi dengan mengangkat sebelah alisnya.Bram tersenyum licik. ‘Ini yang aku tunggu, Tiara,’ batin pria itu dalam hati.Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments