Waktu sudah menunjukan pukul sebelas malam, namun dua orang dewasa yang mengurung diri didalam sebuah tempat ibadah, masih betah diam dengan posisi duduk berjauhan. Situasi macam apa itu?Siapa sangka, jika dulu, keduanya merupakan sepasang kekasih yang saling mencintai. Bahkan, nyaris melangsungkan pernikahan, jika saja mendiang Mawar tidak hadir mengacaukan. Kini, setelah enam tahun berlalu, meninggalkan penyesalan dalam hati Tiara. Andai saja, malam itu ia tidak memilih pergi, mungkin kondisi sekaku itu tidak akan terjadi.'Kita seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal, Bram.''Jangan harap, aku bisa seperti dulu, Tiara. Sekarang aku hanya ingin membencimu seumur hidupku.''Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Aku ingin menebus semua kesalahanku padamu."Keduanya seolah berkomunikasi lewat suara hati. Tanpa ada yang bergerak sedikitpun dari tempatnya, kecuali tangan Tiara yang saling meremas di atas pangkuan. Penyesalan memang selalu muncul di ak
"Kau benar-benar percaya dia sudah mati?""Jadi kamu berpikir aku berbohong? atau justru menganggap aku yang telah dibodohi?" Bram menatap datar Tiara, merasa tidak perlu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, buang-buang waktu. "Dia kecelakaan saat ingin mengunjungiku ke rumah sakit setelah melahirkan Nana. Walaupun aku tidak sempat melihat jasadnya, tapi Sari juga mengatakan jika hari itu adalah hari kematian Ziyan ""Setidaknya itu hukuman yang pantas untuknya." Merasa tidak perlu lagi mendengar omong kosong Tiara, Bram memilih menghidupkan musik dan kembali berkonsentrasi mengemudi. 'Pantaskah peristiwa naas itu kamu sebut sebagai hukuman untuk pria sebaik Ziyan? lantas, hukuman apa yang pantas untuk wanita sepertiku?' Tiara memilih kembali memandang keluar, musik bergenre Slow yang Bram pilih setidaknya bisa mempengaruhi suasana hatinya agar lebih cepat membaik. Ia benar-benar butuh hiburan, rentetan peristiwa yang terjadi kurang dari dua bulan terakhir, benar-benar telah meng
"Sungguh, kamu Tiara?" tanya seorang wanita memastikan.Tiara coba mengingat-ngingat siapa wanita yang mungkin seusia dirinya itu. Sepertinya tidak asing. Tapi siapa namanya, Tiara masih belum berhasil mengingat.Senyum kaku Tiara muncul, manakala mendengar wanita itu terus saja berbicara ngalor-ngidul tanpa jeda. Sedangkan, otaknya belum juga berhasil mengingat siapa nama dari wanita itu."Tiara! kenapa kamu hanya diam saja, ngomong dong. Gimana kabar kamu? Udah nikah kan? Terus punya anak berapa sekarang?" tanya wanita itu lagi beruntun."Maaf sebelumnya, apa kamu Wulan?" tanya Tiara tagu.Mendapati wanita itu mengangguk antusias, senyum sumringah Tiara seketika terbit. Rupanya, wanita cantik itu tak lain teman dekatnya dulu, saat masih duduk dibangku SMA.Wulan, yah, Tiara baru mengingatnya. Bagaimana ia tidak lupa tadi, temannya itu sekarang sangat jauh berbeda, terlihat lebih anggun. Dibandingkann dengan yang dulu. Wulan, memang mengalami perubahan dratis. Dulu, wanita itu lebih s
Tiara berdiri gelisah di dalam kamarnya, waktu sudah mendekati pukul tujuh malam. Itu artinya, orang suruhan Bram pasti sudah dalam perjalanan."Mama mau kemana?" tanya Nana yang berhasil mengejutkan Tiara. "Mama mau pergi?"Sambil memperhatikan penampilan Tiara, Nana berjalan mendekat."Iya sayang, mama hanya sebentar. Nana malam ini tidur dengan mbak Sari dulu ya, jangan menunggu mama pulang," jelas Tiara menampilkan senyum terbaiknya."Iya ma," jawab Nana patuh.Tiara merendahkan tubuh saat tahu Nana sudah ada di depannya. Wanita itu mengusap sayang pipi putrinya, meluapkan segenap rasa yang tidak bisa terurai lewat kata-kata.Entah mengapa, sekarang rasa bersalah selalu timbul manakala ia melihat tatapan polos putrinya. Jika dulu, ia berpikir tidak memberitahu kebenarannya adalah keputusan yang terbaik. Namun sekarang, setelah pertemuannya dengan Bram, Tiara merasa menjadi pihak yang paling bersalah.Tiara dilema, di tengah keraguan hati."Tapi janji, mama harus pulang ya … jangan
"Kenapa tidak langsung masuk, bukannya kak Bram sudah menunggumu, di dalam?" tanya Thomas."Kamu tahu dia ada di dalam?" tanya Tiara balik."Kami datang bersama tadi, dan aku pamit keluar karena ada panggilan masuk," jelas Thomas.Tiara mengangguk mengerti, bukan hal yang aneh juga jika Thomas, selalu bersama Bram kemanapun pria itu pergi. Mengingat, selain adik, Thomas juga merangkap sebagai orang kepercayaan Bram. Sehingga, wajar jika pria itu selalu mendampingi sang kakak.Tapi, bukankah malam itu hanya bertemu dengannya, perlukan kehadiran Thomas di antara mereka?Tiara masih berusaha membaca situasi yang ada, mencoba berpikir realistis. Mungkin Bram, memang tidak pernah bisa lepas dari para antek-anteknya, termasuk Thomas."Ayo masuk, jangan buat kakakku menunggu. Tentu kamu belum lupa bagaimana tabiatnya," ujar Thomas seraya membuka pintu.Tiara hanya bisa kembali mengangguk, masih jelas di ingatan, bagaimana marahnya Bram kemarin sampai akhirnya mengendarai mobil seperti orang k
Tiara tertegun, membaca apa saja yang tertulis dalam surat perjanjian yang hendak ia tandatangani. Jika dulu ia syok, begitu membaca tuntutan Bram yang fantastik, kini ia tidak bisa lagi berkata-kata saat harus kembali dihadapkan dengan rentetan keinginan pria itu.Bram, benar-benar gila!Macam mana, pria itu bisa menuntut dirinya harus melahirkan dalam waktu dua tahun sekali, dan dengan jumlah dua puluh anak. Bukankah itu permintaan di luar nalar manusia pada umumnya?Dan, apa dia pikir melahirkan semudah itu?'Rasa sakit melahirkan Nana saja, rasanya masih terasa hingga sekarang, apalagi ini?' Batin Tiara masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia baca.Bagaimana tidak, Tiara menatap ngilu banyaknya jumlah anak yang Bram inginkan, begitu dirinya setuju menjadi istri diam-diam pria itu, dua puluh. Bukan lagi angka normal, walaupun ada segelintir pasangan yang memiliki banyak anak. Tapi, apakah Tiara sanggup melahirkan anak sebanyak itu untuk Bram?"Inisih .. ternak anak," guma
"Aku tidak menyangka, kau bisa meminta anak sebanyak itu darinya, kak. Kau pikir gampang melahirkan?" cetus Thomas."Kau berbicara, seolah sudah pernah melihat wanita melahirkan saja," balas Bram acuh."Aku memang belum pernah melihatnya langsung. Tapi, setidaknya dulu pernah mendengar dari mendiang mama. Kalau melahirkan itu sakit. Makanya mama tidak mau punya anak lagi, walaupun papa ingin," jelas Thomas menggebu.Bram yang sebelumnya fokus menyetir, menoleh sebentar ke arah Thomas. Tapi tidak berkomentar apapun, ia memilih enggan menanggapi ucapan adiknya.Kini, keduanya berada di dalam mobil Bram. Mereka memutuskan pulang, setelah Tiara pergi meninggalkan restoran lebih dulu. Dan sekarang, keduanya masih di perjalanan menuju pulang ke rumah."Bahkan jika bisa, aku ingin dia melahirkan anakku setiap tahun," ujar Bram tiba-tiba, setelah hening sesaat. "Itu hukuman untuk dia, karena dulu sudah berani meninggalkan aku, dan melahirkan anak untuk pria lain," lanjutnya."Hah! salahmu Tiar
Hari semakin larut, keheningan terasa menyergap bumi, suara serangga semakin jelas di telinga. Tapi, rasa kantuk belum juga menghampiri.Tiara masih setia terjaga, meski Nana, sudah kembali pulas dalam dekapannya.Pikiran Tiara, berkelana jauh tak tentu arah. Tapi sialnya, kepingan bahagia masa lalu, datang mendominasi. Sampai akhirnya, keputusan salah menjadi pilihan, hanya karena satu alasan, peduli.Enam tahun lalu."Mawar, ibu mohon, sayang. Jangan lakukan itu, nak," ujar Suti."Kita bisa bicara baik-baik, Mawar. Tenang dulu, jangan gegabah bertindak dan kami semua menyayangimu, nak. Sungguh, bapak tidak berbohong!" seru Wisnu."Cukup! aku muak mendengarnya, kamu hanya pandai membual. Karena nyatanya, baik kamu ataupun ibu, kalian tidak pernah sayang padaku. Kalian hanya menyayangi Tiara," teriak Mawar.Kala itu, Tiara yang baru selesai berpakaian setelah mandi, buru-buru keluar dari kamarnya saat mendengar suara keributan. Terlebih, ketika ia mendengar suara Mawar yang melengking
Dua minggu berlalu, semua sudah kembali seperti semula. Sari juga sudah pulang dari satu minggu sebelumnya. Walaupun kepulangannya sempat diwarnai ketegangan, lantaran Thomas tidak mau membawa istrinya pulang karena menganggap Sari belum benar-benar sembuh. Sementara Sari sendiri sudah sangat bosan hanya berdiam diri di ranjang rumah sakit. Terlebih rasa tidak enak hati selalu menghampiri setiap kali melihat Daniel. Walaupun kedekatan mereka dulu tidak bisa dikategorikan pasangan kekasih, tapi Daniel-lah sosok yang selalu menguatkan dirinya selain Tiara. Namun, setelah mengetahui perasaan pria itu yang sebenarnya, Sari berubah canggung. Apalagi dengan statusnya istri dari pria lain yang tak lain sahabat Daniel juga. Begitu pun dengan keberadaan Thomas yang selalu menempel padanya—membuat Sari benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya memaksa pulang, walaupun Dokter senior Daniel ikut menyarankan dirinya masih harus bertahan satu atau dua hari kedepan. Tapi Sari tetap kukuh pada pendir
"Kau sudah makan?"Keharuan Bram–Tiara berakhir begitu mendengar suara Aaron, dan disaat Bram mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di samping wanita yang diketahui teman sekolah istrinya."Apa Mickey mencariku?""Iya. Tapi setelah kuberitahu kalau kau sedang arisan, dia kembali bermain dengan pengasuhnya.""Jadi dia istrimu?" sela Bram penasaran.Melihat Bram bangkit, setelah mengusap wajahnya, Tiara ikut menoleh—ingin memastikan siapa pria yang menjadi suami sahabatnya itu."Hanya saat aku ingat," celetuk Aaron tak acuh."Lantas, sekarang apa kau ingat pernah menikahiku?" serobot Wulan menahan kesal."Setidaknya dengan menyebut nama Mickey, aku ingat itu.""Cih. Dasar, Bule gila," gerutu Wulan sambil bersedekap dada.Melihat pasangan yang jauh dari kata romantis ada di depannya, Bram sempat meloloskan senyum tipis saat beradu pandang dengan sang istri."Bagaimana kondisi Anda Nyonya Wijaya, apakah ada yang serius dengan kandungan Anda?"Mengetahui Aaron ingin berbasa basi dengan
"Kakak Ipar! Kau dimana sekarang?"Thomas begitu terkejut, awalnya menganggap Bram yang menghubungi dirinya, tapi ternyata Tiara menggunakan ponsel sang kakak."Apa kalian baik-baik saja? Bagaimana dengan kakakku?"Kepanikan Thomas semakin menjadi saat mendengar suara Tiara begitu lemah di gawainya."Apa! Dimana dia sekarang?"Melihat ketegangan Thomas yang tidak diketahu tengah berbicarai dengan siapa di seberang sana, istri Aaron berpindah mendekati suaminya."Tunggu. Aku akan kesana sekarang."Melihat kecemasan Thomas, Aaron mengerti dengan siapa pria itu berbicara. Lantas, spontan menahan tangan Thomas begitu melihat pria itu akan buru-buru pergi. "Dimana mereka?"Sebaiknya Kakak pulang saja, biar aku yang menemui mereka.""Tidak. Aku tidak akan tenang sebelum memastikan keadaan mereka sendiri."Tidak ingin membuang waktu dengan perdebatan yang diyakini Aaron pasti akan tetap bersikeras dengan keputusannya. Thomas akhirnya membiarkan Aaron dan istrinya ikut pergi bersamanya. Sement
Bram masih berusaha mencari cara untuk membuka dinding kaca. Setelah melihat Damar tidak lagi bergerak, Bram semakin leluasa mencari pintu rahasia yang mungkin saja mengarah ke dalam kotak kaca tersebut."Sial. Rupanya di sini manusia keparat itu selama ini bersembunyi," dengus Bram saat membuka pintu yang ternyata kamar pribadi, dan diyakini itu pasti kamar Damar. Karena dari pintu itulah ia melihat kemunculan Damar."Astaga! Sari?" Setelah kembali menutup pintu, Bram mengetahui adik iparnya masih terikat, dan lupa belum dilepaskan. Bram pun bergegas mendekat. "Sari … ternyata dia juga tidak sadarkan diri," gumam Bram melihat tidak ada pergerakan sedikitpun, walaupun tangan Sari sudah terbebas dari tali. Bram berusaha membangunkan, tapi begitu mengetahui wajah Sari penuh lebam, umpatan Bram kembali meluncur tanpa filter. "Biadab. Bahkan dalam keadaan terikat saja mereka tega menghajarnya."Setelah sadar waktunya terlalu banyak yang terbuang untuk menyelamatkan Sari, Bram segera membar
"Tapi sayangnya saya orang yang suka membangkang, Tuan. Selama ini saya berdiri dengan kaki saya sendiri, dan saya tidak suka berada di bawah kendali orang lain.""Kalau begitu, bersiaplah menerima kehancuranmu.""Hahaha … jangan terlalu percaya diri, Tuan Aaron. Anda sekarang berada di kandang serigala. Apakah yakin bisa keluar dengan selamat? Sementara Anda hanya sendiri, tidak membawa satupun orang-orang pilihan Anda, bukan?"Aaron meringai, tanpa ada keraguan kaki panjangnya melangkah yakin dengan pandangan lurus kedepan. Mengabaikan jika di lantai itu masih ada alat peledak yang belum ditemukan, jika saja terinjak olehnya."Aku bahkan sanggup menghancurkanmu tanpa kehadiran mereka. Kau tentu tahu bagaimana sepak terjangku dalam dunia kejam kita."Spontan kaki Brandon mundur satu langkah, mengetahui jaraknya dengan Aaron semakin terkikis. Mata serta telinganya masih cukup normal, untuk mengetahui juga mendengar bagaimana peranan seorang Aaron sebagai pemimpin di dunia bawah. Tidak
"Bram!" gumam Tiara lemah dengan kesadaran yang nyaris menghilang.Namun, meski penglihatannya sudah merabun, Tiara tetap melengkungkan senyum mengetahui sosok berpakaian putih berjalan ke arahnya itu, diyakini suaminya.'Semoga ini bukan halusinasiku. Bram benar-benar datang menyelamatkan kami,' lanjutnya dalam hari. Setelah melompat turun dari celah atap yang terbuka, Bram sempat mengedarkan pandangan sejenak, sebelum akhirnya lembarkan langkah begitu mengetahui keberadaan istrinya. "Ara!" Melihat Tiara terikat dengan keadaan berdiri, darah Bram mendidih seketika. Ia juga mengutuk manusia-manusia laknat itu dan rasanya ingin segera memberi mereka pelajaran, kerena sudah begitu tega pada istrinya, meski mengetahui keadaannya tengah hamil besar."Ara, kamu masih bisa mendengarku?"Kekhawatiran Bram memuncak, begitu tali terlepas, tubuh Tiara sudah lemas begitu ia mendekapnya."Terima kasih sudah datang?" bisik Tiara hampir seperti gumaman."Bertahanlah Sayang. Kita akan segera keluar
"Siapkan diri kalian. Kita akan turun dan menghadapi mereka. Thom, buka peti di sebelahmu, itu senjata untuk kalian." Thomas yang baru melepas seat belt melirik sekilas kakaknya yang duduk di kursi belakang lewat kaca depannya. Tidak ingin membuang waktu, ia pun segera menuruti permintaan Aaron, membuka peti dan mengambil dua senjata untuknya juga Bram."Kau tahu kan bagaimana cara mengisi amunisinya?""Iya Kak, akan aku lakukan sekarang.""Bagus."Sementara Thomas sibuk mengisi amunisi di kedua pistol, Bram dan Aaron memperhatikan sekitar."Di gudang itulah markas mereka." Jari telunjuk Aaron mengacung pada satu-satunya bangunan di depan sana---masih harus berjalan puluhan meter dari tempat mobilnya berhenti. "Kali ini kalian harus mempertajam insting kalian, musuh bisa saja muncul dari tempat yang tidak kita ketahui."Sembari menerima pistol yang sudah siap dan diarahkan kepadanya, Bram berucap, "sebaiknya kita masuk dari arah yang berbeda.""Kau benar. Posisi kita sekarang ada di b
"Mereka memang menargetkan para wanita, karena tahu kau dan Thomas bisa beladiri.""Memangnya siapa mereka? Aku yakin bukan sesama bisnis sepertiku," ujar Bram penasaran."Kau benar. Mereka dari dunia bawah, sama seperti kelompokku. Hanya saja mereka tidak mengetahui jika kita berhubungan dekat. Untuk itu berani berbuat sejauh ini padamu. Karena menganggap kau dengan mudah mereka kendalikan.""Jadi kau sebenarnya sudah mengetahui mereka mengincar keluargaku?"Kini kelima pria tengah berunding di ruang tamu. Rupanya Aaron tidak datang sendiri, melainkan bersama orang kepercayaannya di dunia bawah. Setelah duduk, Pria bule itu langsung mengutarakan tujuan kedatangannya untuk membantu Bram, menemukan anak, istri juga adik iparnya yang diculik anak buah Brandon."Untuk itu aku menawarkan beberapa anak buahku padamu, karena aku tahu siapa musuhmu yang sebenarnya." Belum sempat Bram kembali membuka mulut, Aaron lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Jangan kau anggap aku tidak tahu, siapa yang
Bram akhirnya bisa tenang menyadari semua pengawalnya memang hanya berbekal tangan kosong. Berbeda dengan komplotan penyelundup yang berhasil membawa anak, istri juga adik iparnya yang diketahui semua bersenjata."Aku juga khawatir dengan keadaan Sari, Kak. Tapi kita harus berpikir jernih agar bisa menyelamatkan mereka. Ingat, jangan gegabah. Musuh bukan dari kalangan pebisnis seperti kita. Dilihat dari cara mereka menyerang, sepertinya mereka memang ahli di bidangnya."Tubuh Bram mulai melemah, benar apa yang Thomas katakan. Ia yakin, musuh mereka bukan warga sipil, maupun penegak hukum yang bisa bersikap lebih manusiawi pada korban yang mereka sandra. Melainkan komplotan yang memang sudah terbiasa berkecimpung di dunia bawah. Lantas, apakah mereka juga komplotan mafia?"Benar Tuan, jika dilihat dari cara mereka yang arogan. Saya yakin kita tidak akan menang melawan mereka, tanpa bantuan Tuan Aaron," sambung Nick.Bram semakin tercenung, benaknya seketika tertuju pada wanita-wanita te