Lima hari kemudian ….Sungguh sangat disyukuri. Segalanya jadi mudah, lebih tepatnya dimudahkan. Faqih yang menikahi Jeta dalam kondisi hamil pun bukan masalah. Tidak ada satu pun personil kepengurusan masjid yang bertentangan. Meski ada, akhirnya sepakat memaklumkan. Mereka berdua bahkan menikah bersama-sama dengan sepasang pengantin yang di khitbah beberapa waktu lalu. "Jeta, kamu pulang ke mana?" Fitri terlihat anggun dengan gamis pengantin berkerudung. Sang suami yang seorang pria dari Sunda itu sedang berbicara dengan Faqih. "Aku … mungkin ke rumah dia," sahut Jeta sambil menunjuk Faqih dengan lirikan. Mereka sedang berada di latar parkir. Seluruh saksi dan pengiring pernikahan sudah pulang sedari tadi. Bahkan Mama Fani dan Om Ardi pun. Hanya Ilyas yang masih setia menunggu pengantin baru di kursi kemudi."Jaga kesehatanmu, Jeta. Tetapi jika sudah mampu, jangan menolak ajakan suami untuk berhubungan badan." Fitri tiba-tiba sudah berbisik di telinganya dengan sedikit membungkuk.
Dua orang pengantin baru duduk di meja makan dengan pakaian sepasang yang semula. Belum jadi tukar baju sebab Jeta masih terus menolak. Merasa canggung dan malu membuatnya meminta mengulur waktu. Faqih pun mengalah sejenak dan membawa istri ke ruang makan dan duduk di kursi meja makan."Salad …," tegur Faqih dengan senyum saat lagi-lagi salad buahlah yang jadi prioritas bagi Jeta."Sedikit saja," respon Jeta. Segera memakan beragam iris buah segar berbumbu mayones, keju, krim manis, susu dan air yoghurt. "Apa enak?" tanya Faqih iseng saja. Padahal juga diakuinya itu enak dan segar. Apalagi cuaca Batam sedang sangat panas hari-hari."Iya, enak sekali, ini sangat lezat. Saat itu aku tidak terpikir dengan menu sehat ini. Kamu pintar sekali memilihkannya untukku. Seperti sudah pengalaman sekali. Terima kasih, ya, Faqih," sahut Jeta dengan tersenyum. Terlihat semakin cantik mempesona dengan riasan pengantin dan gaun indahnya."Iya, Jeta," sahut Faqih singkat. Rasa mulutnya tercekat. Menyi
Jeta menyisir rambut ovale panjang rapinya yang halus dan lembut. Duduk di atas kursi roda di depan meja rias. Belasan menit lalu Faqihlah yang mengangkatkan.Meski sudah dikatakan bahwa dirinya sudah bisa sendiri bergeser dan berpindah duduk ke kursi, lelaki itu bersikeras memindahkan. Bahkan juga sudah melihat saat Jeta berpindah duduk sendiri dari kursi roda ke ranjang. Meski susah payah dan sakit, dirinya telah berulangkali mencoba dan berhasil.Kini lelaki itu sedang di kamarnya sendiri yang mungkin sedang mandi. Setelah berlibur beberapa hari, dari menjelang akan menikah hingga pagi ini, lelaki itu akan meninggalkannya pergi bekerja kembali. Entah kenapa, Jeta merasa pagi ini sangatlah bersemangat. Pagi yang biasa hanya mengelap hingga basah kulit di badan. Di hari sepagi ini bahkan sudah mandi. Faqih telah membelikan satu kursi lagi untuk mengangkat sebelah kakinya saat mandi. Agar terlindungi dan juga tidak basah. Jeta menolak memakai pembungkus kaki yang juga dibelikan khusu
Perempuan berbadan padat dan sekal dengan perut cembung di ruang makan itu baru meletak kotak salad kembali ke dalam kulkas. Rambut ovale panjang yang lembut berkilat dibiar tergerai dan indah. Pagi ini baru saja bersarapan seorang diri sebab lelaki yang seatap dengannya telah pergi bekerja lepas subuh. Entah kenapa, lelaki berstatus suaminya itu sangat rajin belakangan ini.Bell berdering terdengar tiba-tiba pertanda seorang tamu sedang berdiri di depan pintu. Mak Min sedang di dalam kamar mandi sedari tadi. Jeta kembali menaiki kursi roda dan meluncur dengan laju. Tidak ingin berjalan tertatih dan membuatnya kehilangan seorang tamu. Salah satu penghibur yang diharap datangnya sesekali. Tidak peduli sesiapa pun yang datang berkunjung sebagai tamu. Beberapa kali pun Fitri sudah datang bersembang. Tidak ketinggalan juga Mama Fani dan Om Ardi."Kak, Elma?!" Pekik Jeta terkejut. Wanita cantik berperut lebih buncut darinya sedang tersenyum masam di balik jeruji pintu besi."Assalamu'alai
"Jeta! Jeta! Jeta! Awaaas …!" Elma memekik histeris."Duh, Kak Elma! Sudah kubilang …." seru perempuan di kursi roda.Jeta hampir tergelincir dan turun laju di tangga papan khusus roda kala Elma hampir gagal menahan beban beratnya. Meski tombol rem sudah diaktifakan, kemiringan itu lebih kuat grafitasi tarikannya. Beruntung dengan tanggap, Jeta mengunci roda di bagian yang belakang dengan panik. "Kan dah kubilang, Kak Elma tuh kurus, nggak akan kuat nahan bebanku dan kursi rodaku," ucap Jeta menggerutu. Rasanya campur aduk sekali, antara kesal, panik dan gemetar. Juga berbaur dengan rasa lega penuh syukur."Maaf deh, Jeta. Maaf …. Aduh, tak kusangka, aku nggak kuat nahan kamu, kupikir nggak seberat itu. Aku ini memang sedang kurus banget kali, ya," ucap Elma bergumam dan bimbang."Iyaaaaa … kurus ituuuu ….!" Jeta menyahut gemas dengan menunjuk jari ke depan. Mereka sudah habis menuruni tangga sorong dengan selamat. Kini telah di teras sebuah kantor dengan kaca gelap yang memantulka
Wajah cantik merona merahnya terlihat semakin menawan. Menatap tajam Faqih dengan sepasang matanya yang berbulu lentik. Ada raut tidak terima di wajahnya."Aku tidak sudi menggodamu. Lagipula katamu pernikahan ini hanya sampai kakiku sembuh dan bisa berjalan normal kembali. Bukankah artinya juga akan bercerai?" Mata itu benar-benar menatap lekat. Faqih merasa gemas sekali, ingin meraupnya saja agar kedua mata bening itu terpejam. Lelaki itu mendengkus dan mendongak sejenak."Aku berubah pikiran. Tidak cukup hanya pernah menikah dan mendapat nama orang tua untuk bayi di perutmu itu. Jika bercerai buru-buru, siapa yang akan mengurusimu saat melahirkan?" ucap Faqih keberatan dan beralasan."Ada dokter, suster, mamaku, Mak Min …," ucap Jeta dengan sederet kemungkinan."Bagaimana jika tiba-tiba kamu baby blues? Siapa yang kamu inginkan selain suami, sedang suami saja tidak ada …." Faqih terlihat serius. Tetapi tidak untuk Jeta yang malah justru akan tertawa. "Kamu paham sekali baby blues
Para pekerja kantor tidak tahu siapa sebenarnya Jeta bagi Faqih. Mereka hanya tahu jika perempuan hamil itu adalah saudari bos mereka. Bahkan sebagian sudah tahu sejak di kantor yang lama. Semua merasa iba pada Jeta yang ditinggal pergi suami selamanya ketika sedang hamil.Tidak jarang beberapa pegawai Faqih bergantian menemani kala Jeta berjalan pelan dengan bergelayut di pagar besi. Berjalan hati-hati dan tertatih di pagar besi yang membatasi sepanjang teras belakang di taman. Jeta tidak masalah dengan jarangnya Faqih menemani. Sangat paham bahwa bos di perusahaan travel itu sangat sibuk. Namun, akan sangat gelisah jika waktu makan terlewatkan. Seperti siang ini, bahkan sudah lewat waktu makan hampir satu jam lamanya. Sedang lelaki itu melarang dirinya keluar dari gedung kantor.Roda kursi yang membawanya melaju berhenti seketika. Niat hati ingin segera melaju ke ruang kerja Faqih terjeda. Tiga orang dari pintu masuk juga tertegun melihatnya. Jeta baru muncul dari lorong penghubung
Perempuan hamil dengan tubuh berisi sempurna itu tampak lebih menggemaskan dengan jalan tertatih dan menyeret koper kecil. Menuju kursi roda yang ditinggalkan di depan pintu kamar."Apa sudah siap? Apa saja ini yang kamu bawa dalam koper?" Faqih bertanya sambil menyambar koper Jeta dan mendekatkan kursi roda. Perempuan itu duduk sambil memandang bingung pada Faqih."Kenapa kamu tertawa, apanya yang lucu?" tanya Jeta terheran. Faqih memang tengah tersenyum lebar dan mulai menarik kursi roda saat Jeta sudah duduk."Kamu bawa apa saja? Kenapa bawaanmu seperti akan pulang kampung ke Jawa, Jeta?" Faqih semakin lebar tersenyum. Merasa koper Jeta cukup sangat berbobot. "Terus, mana bawaan kamu sendiri, Faqih?" Jeta mengamatinya yang hanya membawa tas selempang dengan santai."Di tas sini saja. Ada bajuku di rumah mamaku," sahut Faqih dengan mempercepat langkah menuju pintu. "Mak Min!" Faqih berhenti tiba-tiba di pintu. Yang dipanggil datang tidak lama kemudian. Mengulur sebuah kantong plas