Keputusan semalam tidak ada kepastian dari rencana pernikahan antara Faqih dan Elma. Menggantung antara ada dan tiada. Menyisakan satu tanda tanya belaka. Sebab setelahnya, nomor ponsel Faqih tidak bisa dihubungi keluarga.Hingga pagi ini selesai makan pagi yang seperti biasa Jeta hanya makan sedikit sekali. Bunyi pesan masuk di ponselnya memanggil. Segera dihampiri dan disambar untuk dibacanya."Pagi ini aku berangkat ke Austria. Jaga diri baik-baik, Jeta. Makan yang banyak. Semalam ingin menginap di rumahmu, tetapi ada dua orang tua di sana, aku malas. Saat aku kembali, kamu sudah jadi istri Jovan. Kuharap kamu makin gemuk, sekali lagi makanlah yang banyak." Tidak tahu sebabnya, Jeta merasa sedih dengan dada yang sesak. Segera dikirim balasan tetapi ponselnya kembali tidak aktif. "Hati-hati ya, Faqih. Kamu juga, jagalah kesehatan. Semalam aku juga ingin pulang ke apartemenmu, tapi segan dengan orang tua. Meski aku sudah menikah dan punya suami, tetapi aku tetap merasa punya abang
Jeta sudah tidak sabar untuk cepat duduk di meja makan. Nafsu makannya benar-benar menggila saat sore dan malam. Hingga membantu mamanya menyiapkan segala hal di dapur secara bersama-sama supaya cepat kelar."Jovan akan datang malam ini?" tanya Fani sambil meletak sup di meja."Iya, Ma. Entah jadi, entah enggak. Ini aku lapar sekali. Ntar misal Bang Jovan ngajakin makan lagi di luar, aku sih sanggup saja," ucap Jeta dengan menebak maksud Fani bertanya. Tentu saja sambil menahan tawa."Ya, iya … ikut makan atau enggak, diturutin aja. Temani calon suami kamu ke mana pun, dengan begitu kalian akan makin dekat. Mama tahu kamu tidak terlalu dekat. Entah apa yang bikin kamu kepincut dan memutuskan menikah dengannya buru-buru," ucap Fani kembali meluah perasaan. Kini mereka telah duduk dan bersiap untuk makan."Iya, Ma. Maafkan, Jeta. Apa pun alasan aku menikah cepat, doakan terus anakmu ini, Ma," ucap Jeta terlihat sendu dan pasrah. Fani menghela napas sebelum kemudian mengangguk. Lalu diam
Azrul telah percaya dengan mata kepala jika Jeta memang benar akan menikah dengan lelaki asal kepulauan Riau bernama Jovan yang tampan. Meski berat dan kecewa yang sangat, mencoba melepas Jeta sebagai gadis yang sangat ingin dinikahinya dengan rela. Bahkan berniat akan hadir pada hari pernikahan Jeta dilangsungkan."Maaf, Jeta. Aku merasa bersalah telah membuatmu gagal menikah dengan Azrul," ucap Jovan di perjalanan pulang dari fitting sepasang baju pengantin. Gadis hamil di sebelahnya terkedu menoleh. Menelusur wajah Jovan sesaat. Kemudian menunduk pada jari tangan di pangkuan. Seperti ada beban berat yang sedang melekat di kepalanya."Bang Jovan bukan penyebab kami tidak jadi menikah. Kamu sama sekali bukan penyebab. Jadi jangan merasa bersalah," ucap Jeta sambil menoleh pada lelaki di kursi kemudi."Benarkah? Lantas, apa penyebab kalian tidak bersama? Kamu bahkan pergi jauh ke Pulau Batam sini, Jeta. Kamu seperti sengaja menghindarinya?" Jovan bertanya seksama dan pandangannya pun
Sepasang insan kelewat dewasa tengah duduk menghadap meja berisi makanan di sebuah rumah makan kecil. Wanita itu tampak tidak berselera makan dan membiarkan isi piringnya tidak tersentuh sedari tadi. Berbeda dengan lelaki di depannya yang menyuap terus makanan ke dalam mulut meski terpaksa ditelannya. Sambil sesekali didorong dengan air putih yang diminum dari botol."Mi, makanlah! Nanti tenagamu habis. Kita perlu kuat dan banyak tenaga untuk tetap siaga di sini," ucap Ardi sambil menyodor piring Fani lebih dekat lagi. Bukan lalu dimakan, justru sang istri kembali menangis sesenggukan."Jeta, Piiiiii …," ratap Fani dengan disertai deras tangis. Matanya sembab hingga sangat tebal sebab tangisnya yang tidak kunjung berhenti."Minum dulu. Istighfar, Mi ... yang terpenting kita tidak berhenti mendoakan," bujuk Ardi dengan lembut. Diberikannya sebotol air mineral pada Fani. Yang diteguk cukup banyak oleh sang istri. Ardi tampak lega dan merasa puas. Kemudian disuapinya sang istri dengan s
Tujuh hari berlalu semenjak kecelakaan naas itu. Jeta duduk di kursi roda yang bisa diatur ketinggiannya sesuai momen dan keperluan. Papa tiri telah membelikan kursi roda paling baik dari Kota Nagoya untuknya.Ini adalah hari pertama duduk di kursi roda setelah sangat lelah dilayani segalanya oleh Fani tiap hari. Merasa jenuh dan tidak ingin tergolek terlalu lama di ranjang. Sungguh iba dengan mamanya yang tampak lelah dan sedih. Jeta susah payah menahan rasa sakit dan segan saat Ardi membantu dan mengangkatnya ke kursi roda. Namun, mamanya tampak bahagia saat mendorongnya dengan kursi roda menuju ruang makan.Kini, gadis itu duduk menghadap meja makan dan mengambil sarapan dengan Ardi dan Fani di depannya. Sekotak salad buah sudah berada dekat juga di meja. "Mama sangat senang, Jeta sudah bisa kembali makan sama-sama di meja ini. Semangat, ya, Nak," ucap Fani dengan raut sedih yang berusaha ditutupi dengan senyum. Sambil membuka tutup salad untuk Jeta.Semenjak kehamilan Jeta dipub
Dua lelaki hampir bersamaan keluar dari dalam mobil. Satu keluar dari pintu kiri dan satu keluar dari pintu kanan. Jeta nanar melihat kedatangan mereka dengan tangan memegang erat pada pegangan kursi roda. Langkah mereka kian dekat dan kini menghampiri lantai teras. "Assalamu'alaikum!" Ilyas adalah lelaki yang melempar salam."Wa'alaikumsalam!" Azrul menjawab keras dan lugas. Diikuti Jeta yang menjawab salam Ilyas sangat lirih. Pandangan matanya tertuju lurus pada lelaki di samping Ilyas yang juga terus menatapnya termangu. Jeta membuang pandangan perlahan dengan menunduk. Mata yang sedari awal sudah berkaca-kaca itu kini berair sungai mengalir di pipi. Melihat pria itu, membuatnya merasa sedih dan pilu. Rasa hati ingin sekali mengadu segala hal, tetapi tertahan sebab merasa ragu dan malu. Bukan hanya dirinya saja yang di sana. Sekuat mata dan hati ditahan untuk berhenti jatuh air matanya. Sekilas Jeta merasa jika kepala berkerudungnya disentuh tangan seseorang dengan lembut. Ad
Keluarga almarhum calon suami benar-benar datang sebagaimana yang sudah dikabarkan mereka di hari sebelumnya. Pasangan suami istri Afan dan Alma, serta seorang anak lagi yang tersisa, Elma.Keluarga mantan calon besan sebagai tuan rumah membawa keluarga Afan ke meja makan. Fani telah menyiapkan sedemikian rupa dengan dibantu seorang asisten baru di rumahnya. Faqih yang kini bersikap baik seperti semula, telah memaksa untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga. Tidak tega melihat calon mertua sekaligus ibu tiri yang sebetulnya dia sayang itu jadi kelelahan. Apalagi sambil merawat Jeta sendirian. Dari ruang makan mereka bergeser ke ruang sofa. Jeta pun melaju bersama kursi roda dengan di dorong Faqih perlahan. Menolak dipindah ke sofa sebab akan terasa sakit pada kaki. Maka diikutinya perbincangan serius dua keluarga itu dengan tetap duduk di atas kursi roda. Faqih telah menyampaikan niat seriusnya untuk menikahi Jeta dan kini sedang dalam perdebatan."Aku tidak tahu bagaimana mengo
Lima hari kemudian ….Sungguh sangat disyukuri. Segalanya jadi mudah, lebih tepatnya dimudahkan. Faqih yang menikahi Jeta dalam kondisi hamil pun bukan masalah. Tidak ada satu pun personil kepengurusan masjid yang bertentangan. Meski ada, akhirnya sepakat memaklumkan. Mereka berdua bahkan menikah bersama-sama dengan sepasang pengantin yang di khitbah beberapa waktu lalu. "Jeta, kamu pulang ke mana?" Fitri terlihat anggun dengan gamis pengantin berkerudung. Sang suami yang seorang pria dari Sunda itu sedang berbicara dengan Faqih. "Aku … mungkin ke rumah dia," sahut Jeta sambil menunjuk Faqih dengan lirikan. Mereka sedang berada di latar parkir. Seluruh saksi dan pengiring pernikahan sudah pulang sedari tadi. Bahkan Mama Fani dan Om Ardi pun. Hanya Ilyas yang masih setia menunggu pengantin baru di kursi kemudi."Jaga kesehatanmu, Jeta. Tetapi jika sudah mampu, jangan menolak ajakan suami untuk berhubungan badan." Fitri tiba-tiba sudah berbisik di telinganya dengan sedikit membungkuk.