Hidup Julea Anastasia harus berubah 180 derajat demi menemukan sebelah sepatu heels pertamanya yang hilang di ruang meeting kantor tempo hari. Untuk mendapatkan sepatunya kembali dia harus menemani Andrew Nugraha, bosnya yang super galak dalam kencan buta. Tidak mau merelakan sepatu baru yang dia dapat dari menabung selama tiga bulan, Julea harus berulang kali terlibat dalam aksi Andrew menggagalkan perjodohannya sendiri. Namun, karena tuduhan seseorang keduanya harus menikah! Tidak mau kehilangan akal, Julea berniat membongkar kejahatan itu bersama dengan Andrew. Sifat angkuh dan sok berkuasa dari Andrew berusaha Julea lawan dengan sifat keras kepalanya. Saat dua sifat berlainan itu disatukan mungkinkah ada kisah indah bak negeri dongeng tercipta, atau selamanya hanya ada hubungan pura-pura?
View MoreSeorang perempuan berambut cokelat sebahu mengendap-endap di balik kubikel kerjanya. Matanya awas memperhatikan sekeliling, takut kalau-kalau ada yang melihat kehadirannya.
"Kamu ngapain di situ Julea?"
Pertanyaan yang tenang itu membuat gadis bernama Julea mendongak kaget, dia tersenyum kecut kepergok sembunyi oleh atasannya sendiri.
"A-anu buk saya–"
Ucapan Julea terhenti karena wanita yang berdiri di depannya ini menghela nafas panjang dan buru-buru memotong ucapannya.
"Apa Julea kamu akan katakan kalau kena macet atau kamu harus menolong Ibu kamu dulu sebelum ke kantor sehingga saat ini kamu telat hampir dua jam?" Wanita dengan setelan jas rapi dan ber name tag Sarah itu bersidekap dan melotot tajam pada Julea yang menundukkan kepalanya dalam.
"Maaf buk," jawabnya penuh sesal.
Semua orang yang ada di ruangan itu hanya diam melihat Julea yang dimarahi habis-habisan oleh atasan mereka.
"Ingat Julea kamu ini Wakil Devisi perencanaan, seharusnya kamu mencerminkan kedisiplinan di tempat ini bukan malah bertindak seenaknya!" Sarah menunjuk wajah Julea yang sudah pucat pasi.
Dia hanya menundukkan kepalanya dalam, dia menekuri lantai marmer tempat dia berdiri sekarang.
Menyadari tatapan Julea yang fokus pada lantai membuat Sarah jengah.
Dia juga ikut menoleh ke bawah dan mendapati Julea memakai sneakers putih padahal sudah jelas kalau di kantor itu semua karyawati wajib memakai heels.
"Ya Tuhan Julea Anastasia, sampai kapan saya harus katakan pada kamu untuk memakai heels saat berkerja kenapa kamu malah memakai sneakers!" Bentakan Sarah menggelegar di seluruh ruangan.
Hampir semua orang yang ada di sana terlonjak kaget, termasuk Julea sendiri. Dia menyadari kebodohannya datang ke kantor dengan memakai sneakers.
"Tidak buk, saya akan pakai heels kok. Iya saya pasti pakai heels cuma itu ada di meja saya nanti pasti saya pakai," jawabnya gugup.
Sarah menghembuskan nafasnya berat, dia mengusap-usap perutnya yang membuncit. Matanya nyalang menatap Julea yang cengar-cengir di depannya tanpa rasa berdosa.
"Jangan sampai saya lihat kamu pakai sneakers lagi hari ini dan seterusnya Julea. Saya bosan membela kamu di depan Pak CEO!" Sarah memelankan suaranya dan sedikit mencondongkan tubuhnya agar bisa berbicara jelas dengan Julea.
"Ba-baik buk," jawabnya cepat.
"Hmm baiklah, kembali bekerja!"
Mendengar perintah itu Julea langsung lari terbirit-birit menuju kubikel kerjanya dan langsung membuka laptop dan beberapa berkas yang sudah menumpuk di atas meja.
Sarah masih memperhatikan gerak-geriknya hingga ketika Julea fokus bekerja barulah dia pergi.
Menyadari kepergian Sarah, Julea mengembuskan nafasnya lega. Dia bersandar pada kursi dan mengusap wajahnya kasar.
"Argh! Bisa gila aku kalau terus-terusan begini," ucapnya bermonolog.
Hal itu memancing perhatian teman yang ada di sebelah kubikelnya. Wanita dengan rambut hitam legam yang dibiarkan terurai itu mendekati Julea dengan menarik kursinya.
"Kamu sih kenapa bikin masalah terus sama Bu Sarah?" Tanyanya kesal.
Julea menoleh padanya dan tersenyum kecut.
"Kamu pikir aku mau punya masalah sama dia?" Julea balik bertanya.
"Udahlah Jule kamu harusnya fokus sama pekerjaan dan jangan telat-telat lagi, oh ya itu kenapa kamu malah pakai sneakers lagi perasaan kemarin udah ganti pakai heels deh?" Wanita itu bertanya lagi.
Tentu itu membuat Julea makin frustasi mengingat kemungkinan resiko yang akan dia hadapi beberapa hari kedepan tanpa sepatu itu.
"Sialnya sepatu itu hilang Marsha," tukasnya lalu cemberut.
Wanita bernama Marsha itu membulatkan matanya sempurna.
"Serius, kok bisa. Hilang di mana?"
"Terkahir kali aku pakai sepatu itu pas meeting tempo hari. Aku yakin heels itu masih ada di sana, tapi gimana cara buat masuk ke sana lagi?" Julea menatap sahabatnya cemas.
Marsha memijit pelipisnya perlahan dia juga ikut pusing menghadapi masalah Julea ini. Karena semakin banyak masalah yang ditimbulkan gadis itu maka satu devisi akan terkena imbasnya termasuk dirinya.
"Bisa-bisanya sih kamu lepas sepatu pas lagi meeting kantor makanya hilang kan!" Marsha kesal dan itu memancing emosi Julea yang memang sejak tadi pagi sudah ingin meluap.
"Kok malah kamu yang marah sih Mar, harusnya yang kesel dan marah-marah itu aku. Karena itu sepatu aku! Mana masih baru lagi," cicitnya.
Mereka lalu terdiam dan hanyut dengan pikiran masing-masing.
Terutama Julea yang masih memikirkan bagaimana mendapatkan sepatu barunya lagi untuk menghindari omelan dari Sarah atasannya di devisi perencanaan.
Sebuah ide gila lalu muncul di kepala Julea, dia menyunggingkan senyum miring dan menatap Marsha penuh arti.
"Ngapain lihat-lihat begitu sih," ucap Marsha yang geli melihat ekspresi temannya.
"Kamu teman aku kan Marsha Wijaya, mau ya bantuin aku?" Julea bertanya dengan nada manis yang dibuat-buat.
"Iya aku teman kamu tapi –"
"Ah teman jadi harus saling bantu iya kan? Kamu harus bantuin aku buat cari sebelah sepatuku hari ini. Sebelum ketahuan lagi sama Bu Sarah ya mau ya?" Julea memohon.
Dia menangkupkan tangannya di depan dada dan membuat ekspresi menyedihkan di wajahnya agar Masrha iba dan mau menolongnya.
"Ck kenapa harus cari sepatu itu sih Julea, mendingan kamu beli yang baru lagi. Itu lebih simpel!" Marsha memberi jawaban yang paling tepat dan tanpa resiko.
Bukan tanpa sebab dia mengatakan itu karena meeting room di kantor mereka bersebelahan dengan ruang CEO mereka yang terkenal sangat dingin dan galaknya luar biasa.
Marsha tidak mau berurusan dengannya hanya karena menolong Julea mencari sepatu.
"Simpel dari mana hah! Aku beli sepatu itu aja perlu perjuangan. Aku harus nabung selama tiga bulan, memangkas uang makan dan hidup sangat pas-pasan demi sepatu heels impian. Kamu tidak ingat hak itu?" Julea mengerutkan keningnya.
Marsha menghela nafasnya berat, dia menarik kursinya lagi agar lebih dekat dengan Julea.
"Tapi itu jauh lebih baik dan aman dari pada kamu cari sepatu itu di meeting room. Kamu mau ketemu Pak CEO dan dapat masalah lagi," nasehatnya yang membuat Julea dilema.
Apa yang di katakan Marsha memang seratus persen benar tapi merelakan sepatu heels pertamanya bukanlah hal yang mudah. Julea ingat bagaimana perjuangannya mendapatkan sepatu itu.
"Ingat Julea Pak CEO itu galak dia persis seperti kulkas dua pintu dingin banget. Kamu mau kena masalah, dengar-dengar pak CEO juga sering duduk di meeting room sendirian. Yakin kamu mau ke sana?" Marsha mengingatkannya lagi.
Sontak bulu kuduk Julea berdiri dia ingat bagaimana tatapan tajam dan menusuk dari pria itu juga jangan lupakan soal aura mendominasi yang dimilikinya.
Julea pernah bertemu dengan CEO itu sekitar satu bulan yang lalu, itu juga dia lakukan karena ada meeting penting antara CEO dan juga para ketua devisi dan Julea datang untuk menggantikan Sarah karena wanita itu sering bolak-balik rumah sakit selama hamil.
Dia tidak akan melupakan kesan pertama yang dia dapatkan dengan pria dingin dan arogan sepertinya.
"Tapi bagaimana dengan sepatuku Marsha?" Julea merengek dan menarik-narik tangan Marsha sebagai pelampiasan amarahnya.
Saat tengah sibuk memikirkan bagaimana cara mendapatkan sepatunya kembali, seorang karyawan datang menemuinya dengan langkah terburu-buru.
"Bu Wakil Devisi, anda di panggil oleh Pak CEO untuk segera menemuinya di ruangan." Karyawan itu mengatakannya dengan nada yang tenang.
Berbanding terbalik dengan keadaan hati Jueka yang sudah jungkir balik tidak karuan mendapatkan perintah itu.
"Apa?"
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments