Julea menggeleng-geleng pelan, dia masih sangat sayang dengan gajinya. Dia juga tidak mau kehilangan mereka dengan mudah setelah bekerja sangat keras.
Mendapatkan jawaban yang memuaskan Andrew akhirnya tersenyum puas dan melepaskan mulut Julea yang tadi dia bekap.
"Bagus itu adalah jawaban yang tepat Julea," ucapnya lengkap dengan senyum manis.
Julea hanya mengangguk lesu dia merutuki kebodohannya sendiri yang mau saja tergiur tawaran dari Andrew.
Kalau sudah begini akan repot lagi urusannya.
"Tapi Pak kenapa harus saya?" Julea menoleh hendak protes tapi Andrew sudah tidak ada lagi di sampingnya.
Julea menoleh ke sana-sini untuk mencari pria yang telah membawanya, akan tetapi dia tidak menemukannya di atas metromini ini. Atau jangan-jangan dia sengaja mengerjainya dan ditinggal begitu saja?
"Mbak cari pacarnya ya?" Tanya seorang kondektur yang melihat wajah kebingungan Julea.
"Ah itu bukan pacar saya pak dia–"
"Dia sudah turun mbak, itu sedang menunggu mbak di pinggir jalan," tunjuk kondektur tadi.
Julea melihatnya dan dia menghela nafas lega. Tidak mau ditinggal buru-buru Julea turun dan membayar ongkos. Dia berlari kecil ke arah Andrew yang tengah memeriksa pesan masuk di ponselnya.
"Bapak kenapa malah ninggalin saya sih?" Julea menatapnya tajam, dia ngos-ngosan karena harus berlari.
Andrew menggedikan bahunya acuh dia lalu berjalan masuk ke dalam toko mengabaikan Julea yang asik berteriak-teriak menggerutu.
Karena sudah terlanjur di sini Julea akhirnya ikut masuk. Dia juga tidak mau di hukum untuk beberapa hari ke depan karena tidak memakai heels. Butuh waktu yang cukup lama sampai gajiannya turun padahal ini masih awal bulan. Julea baru saja menerimanya minggu lalu.
"Kamu mau berdiri di situ saja Julea?" Andrew menginterupsi agar dia ikut masuk dan melihat-lihat.
Julea tergagap dibuatnya dia mengangguk lalu kembali mengekor di belakang Andrew.
Kemudian seorang pramuniaga datang menghampiri keduanya dan bersikap sangat sopan namun sudah terlihat akrab dengan Andrew.
Mungkin dia sering datang ke tempat ini. Julea terperangah melihat isi toko yang sangat cantik, interior yang mewah tapi tetap elegan serta beberapa pasang sepatu yang di tata rapi dalam lemari kaca membuatnya tidak bisa berhenti berdecak kagum.
Andrew yang menyadari itu tersenyum tipis. "Dasar kampungan, kenapa dia malah senyum-senyum melihat sepatu itu?" gumamnya.
"Julea," panggil Andrew dengan nada yang lembut. Tidak mungkin dia marah-marah atau berteriak memanggil gadis itu di tempat ini.
Bisa rusak reputasinya sebagai pria baik nan menawan.
Julea menolehkan kepalanya dan tersenyum canggung. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Iya Pak," jawabnya.
"Kamu pilihlah sepatu yang kamu inginkan, ingat kamu bebas memilih sepatu yang seperti apapun." Andrew tersenyum dan menunjuk seluruh isi toko pada padanya.
Julea membulatkan matanya, jika di kisah Cinderella sang putri akan menemukan sebelah sepatunya lagi karena pangeran. Di kisah Julea dia justru dibelikan sepatu bagus tapi bersyarat oleh bosnya sendiri.
"Ayo pilih kenapa masih diam?" Andrew mengerutkan keningnya mendapati Julea yang hanya diam.
"Ba-baik Pak," jawabnya lalu berjalan-jalan untuk melihat sepatu apa yang dia inginkan, eh tidak sepatu yang dia butuhkan.
Dibantu dengan pramuniaga dia memilih sepatu yang paling nyaman.
"Mbak, kenapa kita tidak mencari di rak sebelah sana sepertinya di sana bagus-bagus?" Julea bertanya dan menunjuk rak sepatu yang berada di pojok ruangan dan berada di barisan bawah.
"Itu rak sepatu untuk harga orang-orang menengah mbak, Pak Andrew meminta saya untuk menunjukkan sepatu-sepatu yang punya kualitas bagus di sini jadi saya–"
Ucapan pramuniaga itu terhenti karena Julea justru berjalan mendekati rak sepatu itu. Dia cukup sadar diri, bisa mendapatkan sepatu heels lagi saja sudah menjadi hal yang bagus untuknya. Dia tidak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Mbak saya mau yang ini," ucap Julea dengan cepat, dia menunjuk sepatu heels hitam dengan hak yang tidak terlalu tinggi.
Sepatu itu sangat biasa dan cukup lumrah di pakai oleh karyawati. Jadi Julea mengambilnya, toh itu juga hampir mirip dengan sepatunya yang hilang sebelah hanya berbeda warna saja.
"Jangan ambil yang ini."
Andrew menarik tangan Julea agar menjauh dari rak tersebut dan mengajaknya duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
Sepaham Julea tempat tersebut hanya diperuntukkan bagi orang-orang kaya. Itu jelas-jelas bukan tempatnya.
"Tapi Pak saya suka sama sepatu itu," ucap Julea lirih.
"Saya tidak suka di bohongi Julea lagi pula saya tidak pernah menerima penolakan. Saat saya katakan jangan berarti jangan, sudah diam dan duduklah. Coba saja sepatu-sepatu yang diberikan pramuniaga itu dan pilih yang kamu suka," jelasnya tegas lalu duduk bersandar di sofa.
Belum sempat Julea mengajukan protes pramuniaga toko itu sudah menyiapkan benyak sepatu yang cocok untuknya. Julea mencoba beberapa dan pada akhirnya dia memilih sepatu yang paling sederhana.
"Ck kenapa pilihanmu kuno sekali Julea, hidup di jaman apa kamu ini?" Andrew gemas sendiri melihat selera buruk Julea dalam berbelanja.
Andrew berdiri dan membenarkan jasnya. "Saya ambil semua sepatu yang terbaik di tempat ini dan kirimkan ke kantor saya, dan pastikan itu sesuai dengan ukuran kaki gadis ini!"
Pramuniaga itu menganggu hormat sementara Julea masih terperangah tidak percaya. Begini kah cara orang kaya menyuap mangsanya?
"Pak apa itu tidak berlebihan?" Julea menyusul Andrew yang berjalan keluar dari toko.
"Tidak, karena saya tidak mau mendengar alasan-alasan klasik darimu saat melanggar aturan kantor soal sepatu heels." Andrew menjawabnya tegas, dia lalu memakai kacamata hitam yang entah sejak kapan dia bawa.
Sesaat kemudian sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan mereka, sopirnya pun langsung turun dan membukakan pintu penumpang untuk Andrew.
"Silahkan Pak," ucapnya.
Andrew masuk dengan gayanya seperti biasa, angkuh.
"Kau juga masuk Julea!" Perintahnya saat dia sudah berhasil duduk di atas mobil.
Mau tidak mau akhirnya Julea ikut juga dengan Andrew dan duduk bersebelahan dengannya. Suasana canggung langsung terasa, apalagi pria itu tiba-tiba hanyut dengan perkejaannya dan sibuk mengecek iPad miliknya.
Mobil mewah itu membawa keduanya kembali ke kantor. Sebelum Julea turun dari mobil Andrew lebih dulu mencegahnya.
"Nanti jam setengah empat sore akan ada mobil yang menjemputmu. Jangan takut dan ikuti saja kemana mereka membawamu. Tugasmu sederhana Julea hanya diam dan menurut, tinggalkan pekerjaan kantor hari ini." Andrew berkata dingin dia bahkan tidak menoleh sedikitpun pada Julea yang masih terkejut dengan semua perlakuan ini.
"Tapi Pak–"
"Diam dan menurut apa itu susah?" Andrew yang tengah mengetik di atas Ipad-nya berhenti.
Melihat gelagat marah dari atasannya Julea akhirnya mengangguk paham. Dia lalu turun dari mobil dan kembali ke kantor.
Masih ada sekitar dua jam sebelum jam setengah empat dan Julea tidak mau membuang waktu. Meskipun Andrew mengatakan untuk meninggalkan perkejaan kantor, akan tetapi Julea masih punya tugas membenarkan proposal yang di sebut sebagai kotoran oleh Andrew pagi tadi.
"Julea, kenapa hidupmu harus berat dan berurusan dengan Dewa Kerja itu? Ini semua karena sepatu, entah kemana perginya." Julea bergumam sambil terus berjalan masuk ke kantor.
Dia tidak memperdulikan orang-orang yang menatapnya aneh karena berbicara sendiri. Saat dia akan menekan tombol lift dan naik ke lantai di mana ruang kerjanya berada sebuah tamparan keras mendarat begitu saja di wajahnya.
Plak!
"Lancang sekali kamu perempuan murahan!"
Suara yang melengking itu membuat Julea menoleh dia memegangi pipinya yang kini sudah pasti memerah karena tamparan itu.
"Maaf tapi saya tidak mengenal anda," Ucap Julea yang masih berusaha sopan.
"Hah! Tidak mungkin kamu tidak mengenal saya, dasar perempuan murahan!" Wanita tadi menunjuk-nunjuk wajah Julea.
Sementara dia sendiri tidak tahu apa yang dikatakan wanita di depannya ini.
"Memangnya apa yang sudah saya lakukan?" Tanya Julea.
"Kamu menggoda kekasih saya Andrew!"
Julea masih mengerjapkan matanya untuk kembali fokus dengan apa yang dia dengar barusan. Perempuan tadi mengatakan bahwa dia telah merebut Andrew, sedangkan kabar yang santer terdengar dari pria itu adalah dia merupakan pria lajang. "Saya tidak tahu apa yang anda katakan, tapi yang jelas saya tidak bersalah jadi berhenti memanggil saya dengan sebutan perempuan murahan!" Julea memandang perempuan itu sama sengitnya. Julea membenarkan posisi jas kerja yang dia kenakan dan mengalihkan berkas proposal yang di bawa dari tangan kiri ke tangan kanannya. "Hah! Perempuan seperti kamu memang pantas di sebut seperti itu. Memangnya sebutan apa lagui yang pantas untuk perempuan perusak hubungan orang?" Perempuan itu menunjuk wajah Julea dengan jarinya yang lentik lengkap dengan kukunya yang berkuteks.Dari penilaian Julea dia bisa tahu kalau lawan bicaranya bukan orang sembarangan. Perempuan itu bukanlah karyawan biasa seperti dirinya, dilihat dari cara berpakaiannya dan juga barang-barang yang
Marsha tertegun dia tidak bisa menjawab apapun perkataan Julea. Memang benar bahwa tidak ada alasan khusus agar bisa menjadi objek asal tuduh dari perempuan arogan seperti Pricilla. "Aku tidak tahu bagaimana bisa Pricilla tahu kalau aku pergi dengan Pak CEO," ucap Julea lirih. Marsha manggut-manggut tangannya dia letakkan untuk menopang dagunya memperhatikan Julea. Mereka berdua diam sama-sama hanyut dalam pikiran masing-masing. "Ah aku tahu!" Marsha berseru sambil memukul ringan paha Julea hingga gadis itu nengaduh mengusap-usap bekas pukulan dari sahabatnya. "Apa?" Tanya Julea masih dengan meringis menahan sakit. "Mungkin saja ada karyawan yang iri padamu Julea, dan dia memanfaatkan kejadian tadi untuk mempermalukan kamu di depan penghuni kantor ini dengan mengimpori Nona Pricilla," jelas Marsha memberikan alasan yang paling logis.Julea mengangguk mengiyakan. "Itu benar juga, tapi siapa?" Marsha menggedikan bahunya, dia tidak bisa memberikan jawaban. "Kita harus cari itu Jule
Julea mengangguk mengiyakan dia menghela nafas panjang. Kemudian menarik tasnya dan juga mengambil ponsel yang teronggok di atas meja. "Aku pergi dulu Marsha, dan kau harus ingat satu hal. Jangan pernah menceritakan hal ini pada siapapun!" Jule memperingatkan sambil menunjuk wajah Marsha. Gadis itu mengangguk-angguk patuh. Sedetik kemudian Julea berbalik dan pergi meninggalkan kantor. Saat melihat kepergian Julea banyak karyawan yang langsung menoleh pada Marsha untuk meminta penjelasan. "Kenapa Bu Wakil Katua Devisi pulang cepat, bukannya masih ada setengah jam lagi untuk bekerja. Dia juga terbiasanya lembur kan?" Tanya salah satu karyawan yang seperti juru bicara karyawan lain. Marsha memijit pelipisnya perlahan, pusing juga menghadapi sikap pada karyawan lain yang suka sekali kepo. Ingin tahu urusan orang lain dengan detail. Bahkan mereka bertanya seperti seorang wartawan saja."Aku tidak tahu, Julea hanya mengatakan kalau dia akan pergi untuk urusan penting." Marsha memberika
Andrew menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. Kenapa Julea tiba-tiba mengehentikan aktifitas mereka yang tanggung sekali untuk dihentikan. Kalau orang bilang, Andrew itu sudah terlanjur masuk tapi tidak ditawari duduk. Sedikit waktu lagi Andrew bisa memuaskan keinginannya mencicipi bibir manis milik Julea. "Ada apa?" Andrew bertanya pelan, dia memegang pundak Julea. Julea tampak gelisah dia menundukkan kepalanya dalam. "Saya mau ke toilet Pak," ujarnya diselingi senyum kecut. Plak! Andrew memukul jidatnya sendiri. Bisa-bisanya Julea memotong adegan romantis mereka hanya karena kebelet. "Ya sudah sana, nanti kamu malah ngompol di sini. Kan tidak lucu juga!" Andrew beralih untuk duduk di kursinya dan memasang wajah kesal. Sementara Julea langsung berlari kecil menuju toilet yang paling dekat dari tempat yang sudah Andrew pesan. Buru-buru Julea menutup pintu dan berjalan ke arah wastafel. Dia menatap pantulan dirinya di cermin, wajahnya bersemu merah. "Pak Andrew sialan! Mana
Julea mematung dia memegangi lehernya yang pasti ada jejak sialan di sana. Sementara itu Andrew yang menjadi pelaku atas bekas merah-merah itu malah menatapnya santai. "Jul kenapa malah berdiri di situ?" Andrew melambaikan tangannya agar Julea mendekat ke arahnya. Dan apa tadi yang dia katakan? Andrew memanggilnya dengan sebutan 'Jul'. Julea yang mendengarnya malah melotot tajam. Dia tidak suka di panggil seperti itu!Karena kesal Julea akhirnya mendekati Andrew dan sengaja menginjak kaki pria itu cukup keras. Andrew mengaduh karenanya dan menatap tajam wajah Julea. "Maaf nggak sengaja Pak," ucap Julea disertai senyuman mengejek. Andrew ingin sekali marah-marah padanya akan tetapi di sana masih ada pelayan dan dia juga melihat ada seorang mata-mata ayahnya yang bersembunyi di sudut ruangan itu.Dengan terpaksa Andrew akhirnya menyunggingkan senyum manis yang amat sangat dia paksakan. Tangannya justru menarik Julea yang hendak duduk. Hingga gadis itu jatuh ke pangkuannya, Julea lan
Merasa kalau Andrew mulai terbuai dengan apa yang dia lakukan Julea justru berhenti dan langsung berdiri. Dia tersenyum penuh arti pada pria yang sangat dia jauhi sebelumnya. "Sudah Andrew, aku sudah melakukan apa yang kamu minta." Julea mengatakannya santai dia juga sengaja mengarahkan pandangannya ke arah di mana sang mata-mata berada. Julea sudah melihat ada yang mengawasi mereka saat melakukan sedikit permainan panas dengan Andrew. Sedangkan pria itu justru sedang mengatur nafasnya yang sempat tersengal karena ulah Julea. "Julea kamu ini kalau melakukan apa-apa suka yang setengah-setengah, ini belum tuntas malah udahan!" Andrew menggerutu dan mengatakan uneg-unegnya dengan jujur. Padahal dia tipe orang yang punya gengsi besar. Tapi kali ini tidak di temukan sifat yang seperti itu dalam dirinya. "Loh memangnya kamu mintanya bagaimana?" Julea mencondongkan tubuhnya ke arah Andrew yang masih duduk, keringat bercucuran di keningnya hingga membasahi pelipisnya. Andrew diam k
Julea menggeliat pelan karena merasa tidak nyaman, sinar matahari yang masuk ke matanya sudah mengganggu tidurnya. Tangan gadis itu meraba-raba ranjang dengan mata yang setengah terbuka dia mencari letak ponselnya. Akan tetapi dia menyadari sesuatu, ini bukan kamar apartemennya. Karena bau ruangan itu sangatlah berbeda. "Tunggu, tidur di mana aku ini?" Julea langsung membuka matanya sempurna dan terduduk. Ini bukanlah kamar apartemennya, dan jika dilihat dari interiornya kamar ini sepertinya adalah kamar pria. Sangat kentara dengan perabot dan juga warna-warna di sana dominan hitam. "Ini kamar pria, aku ada di mana dan bagaimana bisa aku tidur di kamar orang lain?" Julea mengusap wajahnya kasar.Dia juga mengecek pakaian yang dia kenakan, dan Julea baru menyadari kalau dia sudah berganti pakaian. Kemarin malam dia masih sangat ingat kalau mengenakan dress tapi pagi ini dia malah mengenakan baju tidur. "Aku juga sudah berganti pakaian, lalu siapa yang mengganti nya?" Julea bertany
Julea membulatkan matanya sempurna, jantungnya seperti ingin melesat dari tempatnya. Apa-apaan Andrew ini sebenarnya!"Jangan buat orang salah paham dengan ucapan konyol mu itu Andrew Nugraha!" Julea memalingkan wajahnya, dia kesal.Sungguh dia benar-benar kesal dengan sikap Andrew yang semakin kacau saja jika di teruskan. "Loh memangnya kenapa? Kamu dan aku kan pasangan kencan buta, apa salahnya jika memanggil dengan sebutan itu?" Andre bertanya dengan memasang wajah tanpa dosa. Julea menggeram, dia kesal saat ini. Kalau saja bukan karena sepatu sialan itu dia pasti tidak akan terjebak dengan Andrew Nugraha si bos dingin. "Tapi kita melakukan itu atas dasar kesepakatan Andrew, kalau hal-hal lain yang kau minta itu tidak ada poinnya di perjanjian kita!" Julea menaikan suaranya satu oktaf dari sebelumnya. Andrew malah tersenyum lebar melihat tingkah Julea yang mudah sekali terpancing emosi. "Hei tenanglah Julea Anastasia. Itu hanya hal kecil yang aku minta, toh itu hanyalah sebuah
Lagi-lagi dia menatap tak percaya. Dengan tatapannya yang bergerak-gerak gelisah dan bibir yang mengatup rapat menahan tangis. Dipandanginya lagi wajah itu dengan seksama. Tak ada lagi senyum manis atau seringainya yang dulu dia benci, muram dan tak lagi bercahaya seperti biasanya. Sungguh! Biar pun kali ini dia harus melihat hal-hal yang tidak dia sukai dari sosok didepannya. Akan dia terima dengan senang hati, asalkan sosok itu kembali. Lama bertarung pada pikirannya sendiri, dia sentuh wajah itu dengan tangan yang gemetaran. Berulang kali tak sempat jarinya menyentuh kulit yang telah memucat itu. Dia tak sanggup! Atau bahkan masih tak percaya. Dia tak percaya pada suratan takdir, tapi inilah kenyataannya. Dengan perasaan terguncang, dia coba lagi memegang wajah manis yang pernah memerintahkannya pergi. Dan kali ini tangisnya benar-benar pecah. Tangisnya meraung-raung disamping tubuh yang telah terbujur kaku itu. Dia peluk erat-erat tubuh itu, dia usap lagi pundak kecil yang
Julea masih tetap merengek, dia menampilkan ekspresi paling memelas untuk menyakinkan Andrew. "Ayolah Andrew aku mohon, sebentar saja." Julea berkata lirih, dia masih berusaha membujuk Andrew. Sedangkan Andrew hanya melihat datar ke arah Julea, entah kenapa hari ini Julea sangat menguji kesabarannya. padahal sebelumnya perempuan itu tak akan melawan jika Andrew berkata tidak. "Jule, kau bisa ke taman dan melihat bintang kapan saja. Karena masih ada banyak waktu lain, untuk malam ini kau tidur saja ya. Besok kau haris operasi," ucap Andrew berusaha memberikan pengertian. Tapi Julea adalah Julea, dia tidak akan berhenti begitu saja hanya karena ucapan Andrew. Perempuan itu malah mendecik sebal, dia menyilangkan kedua tangannya didepan dada. Andrew yang melihat itu hanya bisa menghela nafas kasar, menghadapi Julea yang tengah marah memang membutuhkan kesabaran yang lebih. "Julea, ku mohon dengarkan aku ya... ini semua juga demi kebaikan mu," Ucapnya lagi. kali ini dengan mengusap l
Herfiza mengusap punggung putranya dengan lembut, dia merangkulnya penuh kasih sayang dan kehangatan. "Nak, apa yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu sama seperti apa yang kita inginkan. Tuhan selalu punya rencana yang indah dibalik ujian ini, yakinlah." Herfiza mengatakannya dengan tenang, meskipun dia masih khawatir dan kalut akan kesehatan Julea. Andrew menoleh, dia mengerutkan keningnya. "Tapi apa ini ujian yang baik untuk ku? Aku terlalu banyak menimbulkan masalah di hidup Julea sehingga berimbas pada kesehatannya. ini bukan sekedar takdir Tuhan mam, ini salahku." Herfiza menarik diri, dia menggenggam tangan Andrew erat-erat. "Sekali lagi berhenti menyalahkan dirimu sendiri, jika pun kau merasa bersalah seharusnya tidak seperti ini caranya!""Lalu apa yang bisa aku lakukan?" tanya Andrew dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Herfiza menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. "Bangkit, berikan kekuatan pada Julea agar dia bisa segera sembuh. K
Hampir satu jam lamanya Jukea berada di dalam UGD, sedangkan keluarganya sduah harap-harap cemas menunggu kabar baik dari dokter yang menanganinya. Andreas sendiri yang masih tercengang dengan fakta penyakit sang kakak ipar masih terdiam menenangkan diri. Sedangkan Andrew sudah hilir mudik di depan pintu UGD. "Apa tadi semuanya lancar Andreas?" Tanya Marsha dengan lirih, dia juga menepuk pundak Andreas perlahan. Pria itu menoleh, dia mengangguk samar. Mereka berbincang dengan nada yang rendah, tak ingin menganggu anggota keluarga yang lain. Marsha juga tidak mau dianggap tak tahu situasi dan kondisi di saat yang genting seperti ini malah membicarakan hal yang lain. "Semuanya berjalan lancar, Pricilla juga sudah diamankan polisi tadi. Semua orang tak ada yang menentang pembelaan dari kami, bahkan Tuan Gardian yang ayah Pricilla juga diam. Dia tertunduk malu atas sikap putrinya itu," jelas Andreas sembari menunduk. Marsha manggut-manggut paham, dia lega setidaknya usaha Julea untuk
Setelah melihat Pricilla yang digandeng polisi untuk diamankan, Julea merasakan sakit kepala yang luar biasa. sebenarnya dia telah merasa kepalanya berat sejak dua jam lalu, tapi dengan sekuat tenaga dua bertahan. "Aka, apa kau baik-baik saja?" tanya Andreas yang melihat Julea meringis menahan sakit. Julea menoleh dan menggeleng, dia hanya memegangi kepalanya dan mulai berjalan menjauh dari tempat pesta. "Tidak Andreas, aku baik-baik saja. Jadi ayo pulang," ajaknya. tak mau membuat Julea kesakitan, Andreas mulai berjalan cepat. Dia lekas mengeluarkan mobilnya dan membawa Julea pergi dari mansion mewah keluarga Pricilla. Ditengah jalan tiba-tiba Julea menyemburkan isi perutnya dengan tidak sengaja. 'Hoek!'Sontak itu membuat Andreas panik, apalagi saat melihat wajah Julea yang pucat. "kak kau kenapa, apa tadi kau sempat minum? apa kau mabuk kak?" cecarnya yang khawatir. "Engh! Tidak, aku tidak ingat." Julea menjawabnya lemas, dia sebenarnya tak minum alkohol. Tapi entah bagaiman
Mata semua orang terbelalak tak percaya, tak sedikit dari mereka bahkan menutup mulutnya dengan tangan. Apa yang disampaikan Andreas malam ini adalah kejutan yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pengakuan Andreas itu juga membuat Pricilla kaget bukan main. Pasalnya, dia telah menggoda pria yang salah. "Pantas saja respon yang diberikannya berbeda, ternyata dia bukan Andrew." Pricilla membatin, dia tertunduk malu. Gardian memalingkan wajahnya, malu atas apa yang dilakukan sang putri. Lalu dengan cepat dia menarik tangan Pricilla dan mendorongnya hingga jatuh terjerembab di taman yang berumput. "Argh! Papa sakit," cicit Pricilla dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau memang pantas mendapatkannya Pricilla, bahkan seharusnya kau mendapatkan hukuman yang jauh lebih besar daripada ini! Aku malu telah menjadi ayahmu!" Gardian berkata marah, deru nafasnya memburu seiring dengan darahnya yang mendidih. Di saat yang bersamaan, ada sorotan proyektor yang menampilkan apa saja yang sudah dila
Temaram lampu taman menyinari tubuh Pricilla yang terpantul di air kolam renang yang jernih. Perempuan berambut panjang itu menoleh saat mendengar langkah kaki Andreas yang mendekat ke arahnya. Senyuman tipis terbit diwajahnya yang terpoles apik dengan make up bold. "Akhirnya kau datang juga Andrew," ucapnya senang. Andreas tak menanggapi, dia hanya tersenyum sekilas saat mendengar Pricilla menyebut nama sang kakak. Beruntung jika perempuan yang menjadi rivalnya malam ini tak mengenali dirinya. "Si jalang itu tertipu juga, sama seperti sang ayah!" Andreas membatin, dia merasa satu langkah lebih dekat menuju kemenangan. Pricilla melangkahkan kakinya mendekat saat Andreas memilih untuk berhenti. Dia lekas mengalungkan tangannya ke leher Andreas dengan tanpa malu. "Aku senang kau mau datang ke sini dan mengabaikan Julea," ucap Pricilla dan menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Andreas. Pria itu merasa jijik atas sikap agresif dari perempuan yang nyaris menjadi kakak iparnya. Tapi A
Andreas sempat menoleh pada Julea sebelum mereka turun dari mobil. Andreas cemas, karena mau bagaimana pun kalau dia gagal malam ini maka masalahnya akan bertambah besar. "Kak," cicitnya. Julea menoleh dan mengangguk serta mengepalkan tangannya, bermaksud memberinya kekuatan. "Kau pasti bisa Andreas, yakin lah!" Perintahnya. Lalu Andreas menghela nafas kasar beberapa kali, setelahnya dia turun dari mobil terlebih dahulu. Pintu mobil dibukakan oleh Andreas untuk membantu Julea, tangan kanannya juga dengan sigap terulur untuk memberikan kesan yang kuat kalau dia adalah Andrew. Di halaman mansion mewah milik keluarga Pricilla, ada banyak orang yang sudah datang dan menjadi tamu di sana. Hari ini adalah hari ulang tahun Pricilla, dan keluarga Nugraha memang mendapatkan undangan, khususnya Andrew. Pria itu memang diundang secara personal oleh Pricilla. Ah tidak-tidak! Lebih tepatnya Andrew diancam. Jika dia tidak datang malam ini, maka Pricilla akan melakukan hal yang lebih gila lagi
Andrew rupanya menemui sang adik, Andreas secara diam-diam. Tidak ada yang tahu kalau keduanya tengah bertemu sekarang. Keduanya kini berada di salah satu restoran Chinese yang cukup jauh dari pusat kota. "Jadi, apa yang kau rencanakan sebenarnya Andreas? Kali ini apa yang kau inginkan dariku?" Cecar Andrew dengan tatapan yang nyalang pada sang adik yang duduk di depannya. Terhalang oleh meja berbentuk persegi panjang, Andrew dan Andreas saling perang dingin dengan memberikan tatapan tajam ke arah masing-masing. Mendapatkan pertanyaan seperti itu, Andreas menghela nafasnya kasar, dia kemudian bersidekap dengan tenang. "Aku tidak menginginkan apapun, toh apa yang bisa kau berikan padaku?" Andreas malah memberikan jawaban yang terkesan meremehkan. Padahal sebenarnya tidak demikian. "Hah! Rupanya kau masih sama saja, sama-sama sombong seperti biasanya!" Andrew mendecik, dia menyeringai. "Sama seperti dengan mu juga, kita sama-sama sombong. Bedanya, aku menyadari dan mengakuinya seda