Tok Tok Tok
Suara ketukan pintu yang cukup keras, telah menyita perhatian Esmeralda yang sedang memasak di dapur, untuk makan malam suaminya.Wanita yang memiliki rambut panjang dan sedikit ikal itu bergegas mematikan kompor. Ia setengah berlari menuju ke pintu depan sambil menguncir rambutnya.Saat Esmeralda membuka pintu, ia sedikit terkejut saat melihat wanita bertubuh gemuk yang sudah sangat familiar baginya."Bu Hilda? Hehe, ada apa ya Bu bertamu malam-malam?" tanya wanita itu hendak memastikan. Ia tampak tersenyum kaku."Esme, kamu nggak lupa kan? Hari ini sudah jatuh tempo untuk bayar kontrakan," sahutnya dengan nada yang tegas."Maaf ya, Bu! Suami saya belum pulang. Nanti kalau sudah pulang, uangnya saya antar ke rumah ya, Bu?" ucap Esmeralda berusaha untuk negosiasi pada si empu pemilik kontrakan, tempat tinggalnya selama beberapa tahun ini.Wanita itu tidak langsung menyahuti. Ia tampak berpikir dengan serius."Masa ibu nggak percaya sama saya? Saya sudah lama lho tinggal di kontrakan ibu, dan nggak pernah nunggak bayar," ucapnya lagi mencoba meyakinkan wanita yang masih berdiri di hadapannya."Baiklah, saya tunggu kamu ke rumah," sahut wanita itu sebelum ia beranjak dari hadapan Esmeralda yang terlihat menghela nafas lega.Ia memperhatikan sebentar langkah Bu Hilda yang semakin menjauh dari pandangannya. Ia pun kembali menutup pintu dengan raut wajah yang tampak lesu.Esmeralda telah kehilangan semangatnya untuk menyiapkan makan malam. Ia duduk di sofa berwarna cream yang berada di ruang tamu dengan pikiran yang gelisah.Sesekali ia menatap jam yang tergantung di dinding. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam kurang lima belas menit."Mas Franky ke mana sih? Tumben banget jam segini belum pulang." Esmeralda mendengus merasa kesal.Baru saja ia hendak beranjak dari sofa, terdengar suara ketukan pintu yang nyaring.Esmeralda cepat-cepat membuka pintu rumahnya. Dan benar saja dugaannya. Suaminya telah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang tampak kusut."Mas Franky? Kok baru pulang? Gajinya masih belum turun ya, mas? Bu Hilda barusan datang menagih uang kontrakan," ucap Esme dengan panjang dan lebar.Lelaki bertubuh gemuk itu seolah seperti tidak menggubris keluhan istrinya. Ia berjalan masuk melewati Esme yang tampak terbengong.Lelaki itu duduk di sofa dengan wajah yang terlihat frustasi. Kepalanya ia sandarkan pada sofa sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Esme duduk di sebelah lelaki itu, menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat bahwa situasinya tidak baik-baik saja."Ada apa, mas? apa ada masalah di kantor?" tanya wanita itu dengan penasaran. Pandangan matanya masih belum beralih dari wajah suaminya."Aku kena PHK, dek." Ucapan singkat itu telah membuat raut wajah Esme berubah. Kedua matanya tampak membelalak dengan lebar."Kok bisa, mas?""Perusahaan mengalami kebangkrutan dan mem-PHK karyawannya besar-besaran," sahutnya dengan lirih."Jadi, bagaimana dengan nasib kita, mas?"Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia tampak menarik nafas panjang, dan menghembuskan secara perlahan.Franky menatap wajah wanita yang masih duduk di sampingnya. Wanita yang telah ia nikahi selama lima tahun lebih."Kita pulang ke kampung mas, ya?" tanya lelaki itu meminta persetujuan dari istrinya yang terlihat mematung selama beberapa saat."Kenapa mas tidak mencoba mencari pekerjaan lain? Aku juga akan mencari pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarga kita, mas. Atau aku bisa meminta temanku untuk kembali memasukkan aku ke perusahaan lama tempat aku kerja dulu," ucap Esme dengan antusias.Franky menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kamu lupa ya? Alasan mas dulu meminta kamu berhenti bekerja?" Lelaki itu menatap wajah Esme dengan tatapan mata yang dalam.Esme mendadak bungkam. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam."Mas nggak mau kamu kecapean. Kita sudah sepakat kan? Kamu juga mau memiliki momongan kan?"Esme menganggukkan kepalanya dengan lemah. Ia menarik nafas panjang, lalu menghembuskan lagi secara kasar."Tapi situasinya berbeda, mas. Hanya sementara saja sampai mas mendapatkan pekerjaan pengganti," ucap wanita itu masih berharap mendapatkan persetujuan dari suaminya.Franky kembali menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak. Lebih baik kita pulang ke kampung mas saja, dek. Ibu sama bapak juga sudah mendengar kabar bahwa mas di PHK. Mereka meminta mas pulang ke kampung mengurusi usaha kelontong bapak. Kan kamu juga bisa bantu-bantu ibu di kampung. Apalagi dia sudah tua, dek."Esme terdiam. Ia tak bisa lagi berkata-kata.***Perjalanan yang ditempuh sangat jauh. Kampung Franky berada di dalam hutan yang jauh dari kota.Selama perjalanan, Esme menatap jalanan melalui jendela mobil travel yang ia naiki dengan tatapan mata yang kosong.Ini bukan kali pertama Esme datang ke kampung halaman suaminya. Tapi sudah beberapa kali saat hari raya, juga saat Ibu mertuanya sakit, ia pulang untuk membantu suaminya mengurus ibu.Di Kampung Sukameneng, jaringan internet tidak ada. Jangankan internet, sinyal untuk menelpon dan berkirim pesan lewat SMS pun tidak bisa karena tidak berada dalam jangkauan. Jadi percuma saja memiliki handphone di tempat seperti itu.Bahkan untuk pergi ke pasar, harus keluar lewat hutan.Suasana di kampung itu juga sangat sepi. Terlebih lagi setelah azan magrib. Tempat itu benar-benar seperti tempat yang tidak berpenghuni.Mobil travel yang ditumpangi oleh Franky dan Esme berhenti di Pasar Sukameneng. Untuk masuk ke Kampung Sukameneng, mereka harus naik ojek melewati hutan-hutan.Selama perjalanan, Esme tidak banyak berbicara. Ia hampir menyesal menikah dengan lelaki yang berasal dari kampung itu.Setibanya di rumah panggung yang terbuat dari papan kayu, keduanya langsung disambut oleh ibu dan bapak Franky. Mereka terlihat sangat bersemangat saat anak bungsu mereka telah kembali ke rumah."Pasti capek kan? Yuk makan dulu, ibu sudah masak banyak untuk kalian," ucap Bu Edith sambil merangkul tubuh putranya, menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah yang tampak sederhana."Seharusnya ibu nggak perlu repot-repot begitu, Esme kan bisa masak untuk bapak sama ibu," sahut Franky merasa sungkan."Nggak apa-apa. Ayo duduk sini!" Wanita itu menempatkan Franky di kursi makan yang telah terhidang cukup banyak makanan.Esme duduk di sebelah Franky dengan perasaan canggung."Kamu terlihat sangat kurus sekarang, nak!" ucap wanita itu lagi sambil menuangkan nasi ke piring Franky. "Makan yang banyak ya?""Iya, Bu." Lelaki itu hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Ia merasa sikap ibunya sedikit berlebihan."Bagaimana istrimu? Apakah dia sudah hamil?" Pertanyaan yang tiba-tiba diajukan oleh wanita itu membuat keduanya tercengang. Baik Franky, maupun Esme, keduanya saling menatap satu sama lain."Kalian sudah menikah lebih dari lima tahun lho! Kenapa belum bisa memberikan ibu cucu?"Esme terdiam membisu. Baru saja ia datang ke kampung itu, ia telah dibuat tidak nyaman dengan ibu mertuanya.Selera makan Esme mendadak hilang. Ia segera beranjak dari kursi makan."Kamu mau ke mana, dek?" tegur Franky saat melihat istrinya meninggalkan ruangan."Mau ambil barang yang tertinggal di depan mas," sahut Esme berbohong.Esme duduk di tangga depan rumah. Ia menopang dagu sambil melihat-lihat ke sekelilingnya yang mulai terlihat gelap.Tiba-tiba saja Esme menangkap sekelebat bayangan yang lewat kebun kosong yang berada di seberang rumah mertuanya.Pandangan Esme terpusat menatap sebuah pohon beringin paling besar yang baru pertama kali ia lihat. Seketika bulu kuduknya berdiri.***Sebuah tepukan halus di bahu Esmeralda, telah membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, menatap Franky telah berdiri di belakangnya sambil memandangi wanita itu dengan tatapan yang sedikit aneh. "Dek, kamu ngapain magrib-magrib begini duduk di depan pintu? Masuk, yuk!" ucapnya menegur dengan suara yang terdengar lembut. Esmeralda tak menyahuti suaminya. Ia menatap sebentar ke arah lelaki itu yang telah melenggang masuk ke dalam rumahnya. Pandangan Esmeralda beralih pada pohon beringin yang berada di seberang rumah mertuanya. Ia berusaha mencari sosok yang cukup jelas ia lihat, meskipun hanya sekelebatan saja. "Dek, kamu belum masuk?" Suara teriakan Franky dari dalam rumah, telah membuat wanita itu tersadar. Ia segera beranjak dari tangga depan untuk menghampiri pemilik suara. "Mas..." Suara Esmeralda terdengar lirih saat ia berdiri di samping Franky yang kini telah berada di dalam kamarnya. Lelaki itu terlihat berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku. Kehadiran Esmeral
Sosok itu perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mendekat ke arah Esmeralda yang masih membeku. Semakin dekat dan dekat, yang membuat wanita itu menyadari bahwa ia hanyalah makhluk yang sangat kecil. Semakin dekat, Esmeralda semakin jelas melihat bahwa tubuh sosok itu dipenuhi dengan bulu. Gigi-giginya tajam dan saling tumpang tindih. Semakin dekat, Esmeralda terduduk lemas. Kedua kakinya terasa lumpuh. Meskipun otaknya memberikan perintah untuk segera lari dari tempat itu, tapi ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya. Saat sosok itu sudah berdiri di hadapan Esmeralda, sosok itu menunjukkan tangan besarnya yang memiliki kuku yang panjang dan juga runcing, seolah-olah sosok itu ingin melukai dirinya. Esmeralda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia berteriak histeris. Ia berteriak sangat keras. Teriakannya terdengar sampai ke rumah-rumah tetangga di dekatnya. Sebuah tepukan keras yang menyentuh bahunya, membuat Esmeralda semakin berteriak
"Nduk, kamu baru pindah ya?" tanya wanita paruh baya itu dengan kedua matanya yang tampak berbinar. Esmeralda tidak langsung menyahuti. Ia menatap wanita yang telah dipenuhi dengan kerutan wajahnya itu dengan tatapan heran. Kedua alisnya tampak sedikit mengerut. "Ibu siapa ya?" tanyanya hendak memastikan."Nama ibu, Valentina. Rumah ibu ada di ujung sana!" sahutnya sambil menunjuk ke arah sebuah jalan yang cukup jauh dari rumah mertua Esmeralda. Wanita itu menoleh sebentar, menatap ke arah yang ditunjuk oleh Bu Valentine. "Oh!" Esmeralda manggut-manggut. Pandangannya kembali ia alihkan pada wanita paruh baya itu yang masih berdiri di hadapannya. "Kamu baru pindah ya? Datang dari mana, nduk?" Bu Valentine kembali mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab oleh Esmeralda. "Saya datang dari kota, Bu," sahut wanita itu dengan nada suara yang terdengar lembut sambil mengulas senyuman tipis di bibirnya yang sedikit tebal. "Kamu masih gadis? Atau sudah menikah?" tanya Bu Valentine l
Sosok bertubuh besar dan tinggi, serta memiliki bulu yang lebat di sekujur tubuhnya, berdiri tepat di belakang Esmeralda yang tampak mematung dengan mulut menganga. Sosok itu menatap wanita itu dengan kedua mata yang berwarna merah menyala. Sorot matanya terlihat tajam. Esmeralda terjatuh. Tubuhnya ia rasakan menggigil. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh yang tampak kaku. Ini adalah kali pertama ia melihat sosok itu dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa centimeter saja. Sosok itu bergerak. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Esmeralda yang segera memejamkan kedua matanya dengan sangat rapat. Ia merasakan takut setengah mati, saat ia merasakan desah nafas makhluk yang berdiri di hadapannya. Hawa panas menyeruak di sekitar wajahnya. "Esme!" Suara teriakan keras Bu Edith terdengar memanggil wanita itu yang masih memaksa kedua matanya untuk terpejam. "Esme!" Sekali lagi, ia mendengar suara itu semakin keras memanggil namanya. Pemilik nama itu berusaha mengu
Sentuhan tangan lembut yang secara tiba-tiba menyentuh bahu Esmeralda, membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, dan melihat suaminya telah berdiri di belakangnya. Esmeralda buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Sesekali ia kembali menatap ke arah pohon beringin. Tidak ada apapun di sana. Ia berpikir bahwa ia mulai berhalusinasi karena ia sering diteror sosok Genderuwo penunggu pohon besar itu. Esmeralda menarik nafasnya dengan berat. Pandangannya kembali ia arahkan pada Franky yang balas menatapnya dengan heran. "Dek, kamu ngapain duduk di depan sini?" tanyanya mulai membuka suara. "Nggak ada mas, aku cuma mencari udara segar. di dalam soalnya panas," sahut Esmeralda sekenanya. "Jangan sering melamun di depan pintu, dek. Pamali." Suara Franky terdengar tegas memberikan peringatan pada istrinya yang hanya tersenyum tipis. "Iya, mas." Esmeralda menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Bikinkan mas kopi, dek. Sebentar lagi Mas sama bapak mau pergi ke toko kelontong di pasar. Har
Esmeralda melangkah meninggalkan dapur. Ia membiarkan gelas yang telah berisi gula dan kopi di dekat wastafel. Langkahnya terseok menuju ke depan pintu, memperhatikan suaminya yang telah pergi bersama dengan bapak mertuanya. Raut wajah Esmeralda seketika berubah menjadi tegang, saat ibu mertuanya membalik tubuh. Tanpa bisa dihindari, keduanya saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum Esmeralda memilih untuk mengalihkan pandangannya. Ia buru-buru beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke kamar. Baru saja ia hendak meraih gagang pintu, rambutnya ditarik oleh Bu Edith dari belakang. "Kamu mau ngapain? hah?" "Aduh, Bu! sakit!" Esmeralda merintih sambil berusaha melepaskan cengkraman ibu mertuanya. "Aku bisa kena stroke menghadapi menantu seperti kamu!" Wanita tua itu mulai melepaskan tangannya dari rambut Esmeralda yang hanya tertunduk. "Aku mau pergi dulu! Kamu bersihkan semua rumah ini, dan jangan sampai ada yang terlewat! Kalau sampai aku pulang, kamu belum selesai me
Wajah Franky tampak pucat. Ia tidak menyahut sambutan istrinya. Lelaki itu melengos masuk begitu saja, melewati istrinya yang tampak mematung selama beberapa saat. Esmeralda segera menutup pintu. Ia berjalan mengikuti langkah Franky menuju ke kamar mereka berdua. "Mas, kamu sendiri? Mana bapak?" Meskipun semula ia tampak ragu-ragu, pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya juga pada lelaki itu. "Mas?" Kedua alis Esmeralda mengerut. Ia menatap wajah suaminya dengan heran saat ia menyadari bahwa lelaki itu hanya diam saja, dan sama sekali tak menyahutnya. Franky berjalan menghampiri istrinya yang masih tampak terbengong menatap keanehan dirinya. Hanya dengan sekali sentuhan, handuk yang menutupi tubuh bugil Esmeralda, terlepas dan menampakkan setiap lekuk tubuhnya yang putih dan mulus. Lelaki itu masih diam dan tanpa ekspresi menatap tubuh istrinya yang polos. Ia menarik tangan Esmeralda dengan lembut, dan menuntunnya untuk berbaring di atas tempat tidur, sementara lelaki itu mula
"Mas...." Suara Esmeralda terdengar lirih. Ia menatap raut wajah suaminya dengan tidak percaya. "Kenapa, dek? Mas benar-benar capek. Boleh nggak, mas tidur sebentar?" Lelaki itu balas menatap wajah Esmeralda yang terlihat seperti linglung. "Mas, semalam mas ada pulang kan?" tanyanya hendak memastikan kembali. "Duh, dek. Berapa kali lagi sih, mas harus ngomong ke kamu, kalau mas nggak ada pulang? Kamu tahu sendiri kan? Kalau malam, nggak ada ojek yang mau masuk hutan? Lagian kamu kenapa sih?" Lelaki itu mulai terlihat sedikit kesal. Ia membalikkan tubuhnya dan mulai tak menghiraukan istrinya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya, untuk beristirahat melepaskan lelahnya. "Jadi semalam itu apa?" gumam Esmeralda dalam hati. Tatapannya tampak kosong. Ia mencoba untuk berpikir dengan jernih. "Apakah aku hanya bermimpi saja?" Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, seolah antara hati dan pikirannya tidak sejalan. "Tapi itu terlalu nyata untuk dikatakan mimpi." Esmeralda m