Sebuah tepukan halus di bahu Esmeralda, telah membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, menatap Franky telah berdiri di belakangnya sambil memandangi wanita itu dengan tatapan yang sedikit aneh.
"Dek, kamu ngapain magrib-magrib begini duduk di depan pintu? Masuk, yuk!" ucapnya menegur dengan suara yang terdengar lembut.Esmeralda tak menyahuti suaminya. Ia menatap sebentar ke arah lelaki itu yang telah melenggang masuk ke dalam rumahnya.Pandangan Esmeralda beralih pada pohon beringin yang berada di seberang rumah mertuanya. Ia berusaha mencari sosok yang cukup jelas ia lihat, meskipun hanya sekelebatan saja."Dek, kamu belum masuk?" Suara teriakan Franky dari dalam rumah, telah membuat wanita itu tersadar. Ia segera beranjak dari tangga depan untuk menghampiri pemilik suara."Mas..." Suara Esmeralda terdengar lirih saat ia berdiri di samping Franky yang kini telah berada di dalam kamarnya. Lelaki itu terlihat berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku.Kehadiran Esmeralda telah membuat perhatiannya tersita. Ia menoleh menatap wanita yang raut wajahnya tampak sedikit gelisah."Ada apa, Dek?" Kedua alis Franky tampak mengerut. Ia menutup buku bacaan yang sedang ia baca.Esmeralda tidak langsung menjawab. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan mata yang sama sekali tidak beralih dari suaminya."Mas tahu pohon beringin yang ada di seberang rumah?" tanya Esmeralda hendak memastikan. Raut wajahnya tampak serius menatap lelaki yang membenahi sandaran bantal di punggungnya.Franky menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Memangnya kenapa dengan pohon beringin itu, dek?" Lelaki itu tampak menunggui jawaban istrinya dengan penasaran."Aku merasa ada yang aneh dengan pohon itu, mas," sahut Esmeralda lirih. Ia terdiam selama beberapa saat untuk menunggu reaksi dari suaminya.Franky hanya mengerutkan kedua alisnya. "Aneh bagaimana, dek?""Tadi aku lihat ada sekelebat bayangan hitam di sana," sahut wanita itu dengan antusias."Ah! Mungkin itu hanya perasaanmu saja, dek. Atau mungkin itu pemilik kebun yang sedang melihat-lihat kebunnya," sanggah Franky dengan datar."Tapi, mas...." Belum sempat Esmeralda melanjutkan ucapannya, lelaki itu telah lebih dulu memotongnya. "Sudahlah, dek! Jangan terlalu memikirkan hal aneh. Apa yang kamu pikir ada di pohon beringin itu? Hantu? Hantu itu tidak ada, dek. Hanya sugesti kita saja. Kalau kamu berpikir negatif terus, kamu yang nantinya ketakutan sendiri," ucap Franky dengan panjang dan lebar.Esmeralda hanya terdiam. Ia tidak pernah bisa membantah ucapan suaminya."Kamu belum makan malam kan? Makan dulu sana! Kalau tidak mau makan, kamu bersihkan meja makan, dan cuci piring kotor. Nggak enak sama ibu kalau dia lihat ruang makan masih berantakan," ucap lelaki itu lagi yang telah menyadarkan lamunan Esmeralda."Iya mas," sahutnya dengan lirih sambil beranjak dari dalam kamar.Franky yang telah melihat kepergian istrinya, hanya geleng-geleng kepala. Ia kembali melanjutkan aktivitas bacanya yang sempat terganggu oleh wanita itu.***Klontang!Sebuah suara yang cukup keras, yang berasal dari luar kamar, telah membangunkan Esmeralda dari tidur nyenyaknya.Wanita itu mengusap kedua matanya dengan perlahan, menatap jam di dinding kayu yang baru menunjukkan pukul empat pagi lewat lima belas menit."Siapa ya?" gumam Esmeralda sambil membuka selimut tebalnya, dan beranjak keluar dari kamar. Ia menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan suaminya.Esmeralda termangu selama beberapa saat ketika ia melihat Bu Edith sedang mencuci piring di dapur. Wanita itu seperti sengaja membuat kegaduhan agar dirinya bangun.Esmeralda menghela nafasnya dengan kasar. Ia menghampiri ibu mertuanya yang segera menyadari kehadirannya.Wanita itu menoleh, menatap wajah Esmeralda dengan sorot mata yang tajam."Jangan dibiasakan hidup di kota, Esme! Sebagai menantu seharusnya kamu malu karena bangun lebih lambat dari ibu mertuamu," cerocos Bu Edith dengan kasar. "Ini juga! Kenapa tempat nasi nggak langsung dicuci? Kenapa harus direndam-rendam segala? Kalau kerja itu jangan setengah-setengah!" lanjutnya mengomel panjang dan lebar yang membuat Esmeralda semakin jengah."Iya, Bu. Aku minta maaf!" sahutnya dengan datar."Maaf, maaf! Entah pelet apa yang kamu gunakan untuk anak bungsuku? Kenapa dia bisa memilih kamu, dari pada wanita pilihan ibunya sendiri? Wanita mandul, pemalas, dan nggak tahu sopan santun!" Wanita tua itu terus mengoceh sambil tetap mencuci tempat nasi.Sementara Esmeralda masih berdiri mematung di sampingnya, dengan kedua mata yang berkaca-kaca."Ngapain kamu masih di sini? Sana! Sapu halaman depan! Harus disuruh saja, nggak punya inisiatif sendiri," teriak wanita tua itu memberikan perintah. Ia beranjak dari wastafel untuk mengambil beras yang berada di kolong kompor.Esmeralda bergegas pergi dari hadapan wanita itu. Ia duduk di tangga depan rumahnya sambil menangis terisak.Kata-kata yang diucapkan oleh ibu mertuanya, telah melukai hati wanita itu. Padahal sebelum menikah dengan Franky, karirnya cemerlang. Ia menjadi sekretaris di Perusahaan Berlian yang sangat terkenal di Kota. Dengan gaji puluhan juta. Tapi setelah menikah, semuanya berubah. Ia harus rela melepaskan karirnya yang sudah berada di puncak. Karena dokter mengatakan bahwa ia tidak boleh terlalu capek, jika ingin memiliki anak.Pengorbanan besar Esmeralda seolah tidak berarti sama sekali di mata ibu mertuanya."Disuruh menyapu halaman malah duduk di sini!" Teriakan yang muncul secara tiba-tiba dari arah belakang Esmeralda, telah membuat wanita itu tersentak.Ia buru-buru mengusap kedua matanya yang basah sambil beranjak dari tempat ia duduk."Kamu kenapa? Menangis?" Bu Edith memperhatikan kedua mata Esmeralda yang masih menyisakan airmata. "Nggak usah lebay! Dinasehati sedikit, menangis. Nanti mengadu yang bukan-bukan sama Franky. Terus dia tegur aku sebagai ibu yang telah melahirkannya," lanjut wanita tua itu dengan ketus."Nggak, Bu. Aku nggak pernah bilang apa-apa ke Mas Franky," sahut Esmeralda menjelaskan kesalahpahaman pada ibu mertuanya."Sudahlah! Jangan banyak drama! Cepat sapu halaman depan sebelum langit terang!" tukas Bu Edith sebelum ia berlalu dari hadapan Esmeralda yang masih memperhatikan langkahnya, yang semakin hilang dalam pandangannya.Wanita itu menghela nafasnya dengan kasar. Ia beranjak dari depan pintu, menuruni anak tangga, mengambil sapu lidi yang berada di bawah panggung.Halaman rumah yang ia tinggali, cukup luas. Terdapat pohon rambutan yang memiliki banyak daun, sehingga daun-daun kering yang berjatuhan, terlihat berserakan di mana-mana.Esmeralda mulai menyapu dari ujung ke ujung, mengumpulkan sampah daun di tengah-tengah.Suasana di Kampung Sukameneng masih sepi. Tidak ada seorang pun yang terlihat lewat, sejauh mata memandang. Langit yang masih gelap, menambah kengerian yang dirasakan oleh wanita itu.Saat Esmeralda telah selesai mengumpulkan daun-daun yang berserakan di halaman depan rumahnya, perhatiannya tak sengaja beralih ke arah pohon beringin besar yang berada cukup dekat di hadapannya.Kedua mata Esmeralda membelalak dengan lebar. Ia sangat jelas melihat sosok tinggi besar dan kekar berwarna hitam legam dengan sorot mata yang tajam berwarna merah menyala. sosok itu seolah menatap Esmeralda yang mulai gemetar ketakutan.***Sosok itu perlahan-lahan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia berjalan mendekat ke arah Esmeralda yang masih membeku. Semakin dekat dan dekat, yang membuat wanita itu menyadari bahwa ia hanyalah makhluk yang sangat kecil. Semakin dekat, Esmeralda semakin jelas melihat bahwa tubuh sosok itu dipenuhi dengan bulu. Gigi-giginya tajam dan saling tumpang tindih. Semakin dekat, Esmeralda terduduk lemas. Kedua kakinya terasa lumpuh. Meskipun otaknya memberikan perintah untuk segera lari dari tempat itu, tapi ia sama sekali tidak bisa menggerakkan kakinya. Saat sosok itu sudah berdiri di hadapan Esmeralda, sosok itu menunjukkan tangan besarnya yang memiliki kuku yang panjang dan juga runcing, seolah-olah sosok itu ingin melukai dirinya. Esmeralda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia berteriak histeris. Ia berteriak sangat keras. Teriakannya terdengar sampai ke rumah-rumah tetangga di dekatnya. Sebuah tepukan keras yang menyentuh bahunya, membuat Esmeralda semakin berteriak
"Nduk, kamu baru pindah ya?" tanya wanita paruh baya itu dengan kedua matanya yang tampak berbinar. Esmeralda tidak langsung menyahuti. Ia menatap wanita yang telah dipenuhi dengan kerutan wajahnya itu dengan tatapan heran. Kedua alisnya tampak sedikit mengerut. "Ibu siapa ya?" tanyanya hendak memastikan."Nama ibu, Valentina. Rumah ibu ada di ujung sana!" sahutnya sambil menunjuk ke arah sebuah jalan yang cukup jauh dari rumah mertua Esmeralda. Wanita itu menoleh sebentar, menatap ke arah yang ditunjuk oleh Bu Valentine. "Oh!" Esmeralda manggut-manggut. Pandangannya kembali ia alihkan pada wanita paruh baya itu yang masih berdiri di hadapannya. "Kamu baru pindah ya? Datang dari mana, nduk?" Bu Valentine kembali mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab oleh Esmeralda. "Saya datang dari kota, Bu," sahut wanita itu dengan nada suara yang terdengar lembut sambil mengulas senyuman tipis di bibirnya yang sedikit tebal. "Kamu masih gadis? Atau sudah menikah?" tanya Bu Valentine l
Sosok bertubuh besar dan tinggi, serta memiliki bulu yang lebat di sekujur tubuhnya, berdiri tepat di belakang Esmeralda yang tampak mematung dengan mulut menganga. Sosok itu menatap wanita itu dengan kedua mata yang berwarna merah menyala. Sorot matanya terlihat tajam. Esmeralda terjatuh. Tubuhnya ia rasakan menggigil. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh yang tampak kaku. Ini adalah kali pertama ia melihat sosok itu dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa centimeter saja. Sosok itu bergerak. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Esmeralda yang segera memejamkan kedua matanya dengan sangat rapat. Ia merasakan takut setengah mati, saat ia merasakan desah nafas makhluk yang berdiri di hadapannya. Hawa panas menyeruak di sekitar wajahnya. "Esme!" Suara teriakan keras Bu Edith terdengar memanggil wanita itu yang masih memaksa kedua matanya untuk terpejam. "Esme!" Sekali lagi, ia mendengar suara itu semakin keras memanggil namanya. Pemilik nama itu berusaha mengu
Sentuhan tangan lembut yang secara tiba-tiba menyentuh bahu Esmeralda, membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, dan melihat suaminya telah berdiri di belakangnya. Esmeralda buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Sesekali ia kembali menatap ke arah pohon beringin. Tidak ada apapun di sana. Ia berpikir bahwa ia mulai berhalusinasi karena ia sering diteror sosok Genderuwo penunggu pohon besar itu. Esmeralda menarik nafasnya dengan berat. Pandangannya kembali ia arahkan pada Franky yang balas menatapnya dengan heran. "Dek, kamu ngapain duduk di depan sini?" tanyanya mulai membuka suara. "Nggak ada mas, aku cuma mencari udara segar. di dalam soalnya panas," sahut Esmeralda sekenanya. "Jangan sering melamun di depan pintu, dek. Pamali." Suara Franky terdengar tegas memberikan peringatan pada istrinya yang hanya tersenyum tipis. "Iya, mas." Esmeralda menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Bikinkan mas kopi, dek. Sebentar lagi Mas sama bapak mau pergi ke toko kelontong di pasar. Har
Esmeralda melangkah meninggalkan dapur. Ia membiarkan gelas yang telah berisi gula dan kopi di dekat wastafel. Langkahnya terseok menuju ke depan pintu, memperhatikan suaminya yang telah pergi bersama dengan bapak mertuanya. Raut wajah Esmeralda seketika berubah menjadi tegang, saat ibu mertuanya membalik tubuh. Tanpa bisa dihindari, keduanya saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum Esmeralda memilih untuk mengalihkan pandangannya. Ia buru-buru beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke kamar. Baru saja ia hendak meraih gagang pintu, rambutnya ditarik oleh Bu Edith dari belakang. "Kamu mau ngapain? hah?" "Aduh, Bu! sakit!" Esmeralda merintih sambil berusaha melepaskan cengkraman ibu mertuanya. "Aku bisa kena stroke menghadapi menantu seperti kamu!" Wanita tua itu mulai melepaskan tangannya dari rambut Esmeralda yang hanya tertunduk. "Aku mau pergi dulu! Kamu bersihkan semua rumah ini, dan jangan sampai ada yang terlewat! Kalau sampai aku pulang, kamu belum selesai me
Wajah Franky tampak pucat. Ia tidak menyahut sambutan istrinya. Lelaki itu melengos masuk begitu saja, melewati istrinya yang tampak mematung selama beberapa saat. Esmeralda segera menutup pintu. Ia berjalan mengikuti langkah Franky menuju ke kamar mereka berdua. "Mas, kamu sendiri? Mana bapak?" Meskipun semula ia tampak ragu-ragu, pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya juga pada lelaki itu. "Mas?" Kedua alis Esmeralda mengerut. Ia menatap wajah suaminya dengan heran saat ia menyadari bahwa lelaki itu hanya diam saja, dan sama sekali tak menyahutnya. Franky berjalan menghampiri istrinya yang masih tampak terbengong menatap keanehan dirinya. Hanya dengan sekali sentuhan, handuk yang menutupi tubuh bugil Esmeralda, terlepas dan menampakkan setiap lekuk tubuhnya yang putih dan mulus. Lelaki itu masih diam dan tanpa ekspresi menatap tubuh istrinya yang polos. Ia menarik tangan Esmeralda dengan lembut, dan menuntunnya untuk berbaring di atas tempat tidur, sementara lelaki itu mula
"Mas...." Suara Esmeralda terdengar lirih. Ia menatap raut wajah suaminya dengan tidak percaya. "Kenapa, dek? Mas benar-benar capek. Boleh nggak, mas tidur sebentar?" Lelaki itu balas menatap wajah Esmeralda yang terlihat seperti linglung. "Mas, semalam mas ada pulang kan?" tanyanya hendak memastikan kembali. "Duh, dek. Berapa kali lagi sih, mas harus ngomong ke kamu, kalau mas nggak ada pulang? Kamu tahu sendiri kan? Kalau malam, nggak ada ojek yang mau masuk hutan? Lagian kamu kenapa sih?" Lelaki itu mulai terlihat sedikit kesal. Ia membalikkan tubuhnya dan mulai tak menghiraukan istrinya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya, untuk beristirahat melepaskan lelahnya. "Jadi semalam itu apa?" gumam Esmeralda dalam hati. Tatapannya tampak kosong. Ia mencoba untuk berpikir dengan jernih. "Apakah aku hanya bermimpi saja?" Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, seolah antara hati dan pikirannya tidak sejalan. "Tapi itu terlalu nyata untuk dikatakan mimpi." Esmeralda m
Esmeralda bergegas menutup pintu, saat ia melihat ibu mertuanya menoleh ke arah kamarnya. Ia bergegas naik ke atas ranjang, dan berpura-pura tertidur dengan pulas. Dan benar saja firasatnya. Sayup-sayup ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka secara perlahan. Wanita tua itu berdiri di depan pintu, menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Dalam kegelapan di dalam kamarnya, Esmeralda masih bisa mengintip apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya. Wanita tua itu seolah mengawasi dirinya. Cukup lama ia berdiri di sana, yang membuat Esmeralda ketakutan. Blam! Suara pintu ditutup dengan cukup keras, yang membuat wanita itu tersentak. Suasana mendadak hening. Esmeralda mengintip untuk melihat situasi di dalam kamarnya. Wanita tua itu sudah tidak mengawasinya lagi. Hal itu membuat ia bisa bernafas dengan lega. "Apa yang dilakukan ibu ya? Kenapa dia kelihatan lebih menakutkan dari biasanya," gumamnya dengan lirih. ***Suasana makan siang, terlihat tegang dan kaku. Tak ada pembicaraan sel