"Nduk, kamu baru pindah ya?" tanya wanita paruh baya itu dengan kedua matanya yang tampak berbinar.
Esmeralda tidak langsung menyahuti. Ia menatap wanita yang telah dipenuhi dengan kerutan wajahnya itu dengan tatapan heran. Kedua alisnya tampak sedikit mengerut."Ibu siapa ya?" tanyanya hendak memastikan."Nama ibu, Valentina. Rumah ibu ada di ujung sana!" sahutnya sambil menunjuk ke arah sebuah jalan yang cukup jauh dari rumah mertua Esmeralda.Wanita itu menoleh sebentar, menatap ke arah yang ditunjuk oleh Bu Valentine."Oh!" Esmeralda manggut-manggut. Pandangannya kembali ia alihkan pada wanita paruh baya itu yang masih berdiri di hadapannya."Kamu baru pindah ya? Datang dari mana, nduk?" Bu Valentine kembali mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab oleh Esmeralda."Saya datang dari kota, Bu," sahut wanita itu dengan nada suara yang terdengar lembut sambil mengulas senyuman tipis di bibirnya yang sedikit tebal."Kamu masih gadis? Atau sudah menikah?" tanya Bu Valentine lagi. Kali ini pertanyaan yang diajukannya membuat Esmeralda sedikit tidak nyaman. Ia pikir, untuk apa wanita itu bertanya demikian? Apakah hal itu sangat penting?"Memangnya kenapa ya, Bu?" Esmeralda kembali tersenyum. Kali ini ia memperlihatkan barisan giginya yang putih."Sebaiknya kamu pasang bambu kuning di depan pintu, nduk. Terlebih lagi jika kamu masih gadis," ucap wanita paruh baya itu dengan nada yang terdengar sedikit memperingati."Oh! Saya sudah menikah, Bu," sahut Esmeralda masih mengulum senyuman di bibirnya."Nggak apa-apa, nduk. Pasang saja bambu kuning di depan pintu, supaya lebih aman.""Lebih aman dari apa ya, Bu?" Kedua alis Esmeralda tampak mengerut. Ia terlihat penasaran menunggu jawaban dari wanita yang masih berdiri di hadapannya itu.Bu Valentine hanya tersenyum tipis. "Kalau kata orang kampung sini, lakukan saja apa yang tetua katakan, nggak usah banyak tanya." Wanita itu menepuk-nepuk bahu Esmeralda dengan perlahan, masih mengulum senyuman di bibirnya."Ibu permisi dulu ya, nduk. Ibu masih ada urusan. Ibu mau cepat-cepat pergi ke pasar sebelum malam," ucap wanita itu lagi sebelum ia beranjak pergi dari hadapan Esmeralda yang masih tampak terbengong menatap punggungnya yang semakin hilang dalam pandangannya.***"Esme!" Suara teriakan Bu Edith terdengar sangat keras dari luar kamar.Wanita itu terperanjat. Ia segera beranjak dari tempat tidurnya, dan bergegas keluar kamar untuk menemui ibu mertuanya yang berada di dapur."Iya, Bu?" sahutnya dengan nada suara yang terdengar cukup lembut. Ia menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah ibu mertuanya terlalu lama."Sedang apa kamu di kamar? Tidur? Enak banget ya jadi kamu? Tidur paling cepat, bangun juga siang!" cerocos Bu Edith dengan nada yang sedikit membentak.Esmeralda semakin menundukkan pandangannya. Ia tidak berani menjawab sepatah kata pun pada ibu mertuanya."Tuh! Bersihkan ikan yang aku beli di pasar! Ingat ya, sampah bekas ikan langsung buang ke depan! Jangan ditumpuk di sini! Nanti bau busuk. Kalau sudah selesai, masukkan ikannya ke freezer supaya nggak rusak!" ucap wanita tua itu memberi perintah dengan nada yang tegas."Baik, Bu." Esmeralda menganggukkan kepalanya pelan. Ia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat wanita tua itu yang berlalu pergi dari hadapannya.Bu Edith masuk ke dalam kamar, dan membanting pintu dengan cukup keras, yang telah membuat Esmeralda tersentak hingga kedua bahunya secara spontan terangkat.Wanita itu menarik nafas panjang, kemudian ia menghela nafasnya lagi dengan kasar.Esmeralda menatap ikan beku itu dengan enggan. Ia mulai bergerak mengambil pisau untuk membersihkan sisik dari tubuh ikan.Setelah mencuci bersih ikan yang telah ia keluarkan insang dan perutnya, Esmeralda memasukkan ikan tersebut ke dalam wadah, dan meletakkannya di freezer.Wanita itu membersihkan sampah ikan, dan mengumpulkannya menjadi satu ke dalam sebuah kantong berwarna hitam.Sebelum melangkah keluar, Esmeralda menatap jam yang tergantung di dinding kayu, yang berada di ruang tamu. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam lewat sepuluh menit.Esmeralda mematung selama beberapa saat di depan pintu. Ia menatap gagang pintu dengan tatapan kosong. Ia sedikit ragu-ragu untuk membukanya.Meskipun berkali-kali ia meyakinkan hatinya bahwa tidak ada apa-apa di depan sana, tapi tetap saja jantungnya berdetak kencang seolah akan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.Esmeralda menarik nafas panjang. Ia menghembuskan kembali nafasnya dengan perlahan.Setelah mengatur nafasnya yang mulai memburu, Esmeralda dengan penuh percaya diri membuka pintu rumahnya.Baru satu langkah ia keluar dari rumah, ia menatap ke sekeliling yang tampak gelap dan sepi. Pada halaman depan hanya diterangi lampu yang tampak temaram, yang seolah tidak ada fungsinya. Bahkan meskipun lampu itu ada atau tidak ada, tidak merubah apa-apa. Halaman tetap tampak gelap.Dengan perlahan, Esmeralda menuruni anak tangga."Nggak ada apa-apa di sana," ucapnya berulang kali seolah ia sedang berusaha melenyapkan perasaan takut yang mulai menguasai dirinya.Esmeralda berjalan dengan cepat membuang sampah bekas ikan di lubang sampah yang berada di halaman depan rumah. Jaraknya hanya beberapa meter saja dari pohon beringin yang selama ini ia takutkan.Setelah membuang sampah, Esmeralda buru-buru masuk ke dalam rumahnya.Ia berlari menuju ke rumah panggung, tanpa menoleh lagi ke belakang.Tapi anehnya, meskipun ia sudah berlari kencang, ia tidak kunjung sampai ke rumah yang ia tuju. Padahal jarak antara rumah dan tempat sampah di halaman depan, tidak terlalu jauh."Ada apa ini? Kok nggak sampai-sampai?" Esmeralda yang mulai merasa capek, menghentikan langkahnya.Kresek!Sebuah suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakang wanita itu, telah membuatnya mematung selama beberapa saat. Ia melirik ke belakang tanpa menolehkan wajahnya. Ia tidak bisa melihat apapun."Bukan apa-apa! Mungkin saja itu suara anjing liar yang menginjak ranting pohon," gumamnya mencoba meyakinkan pada dirinya sendiri.Saat Esmeralda hendak melangkahkan kedua kakinya untuk meninggalkan tempat itu, ia merasa bahwa kedua kakinya tidak bisa bergerak.Seketika wanita itu menjadi panik.Hembusan semilir angin yang tiba-tiba membelai belakang leher Esmeralda, yang terasa dingin menusuk tulang, semakin membuat kengerian di hati wanita itu."Esme...." Terdengar suara bisikan lirih yang tiba-tiba muncul memanggil nama wanita itu.Esmeralda mulai gemetar ketakutan. Ia memejamkan kedua matanya, berusaha mengalihkan pikirannya bahwa apa yang ia dengar itu hanyalah halusinasi saja."Esme...." Sekali lagi, suara itu kembali terdengar lirih seperti sebuah bisikan.Wanita itu menarik nafas panjang, lalu ia hembuskan secara perlahan. Ia berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menoleh ke belakang, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa selain dirinya.Saat ia menoleh, kedua matanya membelalak dengan lebar.***Sosok bertubuh besar dan tinggi, serta memiliki bulu yang lebat di sekujur tubuhnya, berdiri tepat di belakang Esmeralda yang tampak mematung dengan mulut menganga. Sosok itu menatap wanita itu dengan kedua mata yang berwarna merah menyala. Sorot matanya terlihat tajam. Esmeralda terjatuh. Tubuhnya ia rasakan menggigil. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh yang tampak kaku. Ini adalah kali pertama ia melihat sosok itu dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa centimeter saja. Sosok itu bergerak. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Esmeralda yang segera memejamkan kedua matanya dengan sangat rapat. Ia merasakan takut setengah mati, saat ia merasakan desah nafas makhluk yang berdiri di hadapannya. Hawa panas menyeruak di sekitar wajahnya. "Esme!" Suara teriakan keras Bu Edith terdengar memanggil wanita itu yang masih memaksa kedua matanya untuk terpejam. "Esme!" Sekali lagi, ia mendengar suara itu semakin keras memanggil namanya. Pemilik nama itu berusaha mengu
Sentuhan tangan lembut yang secara tiba-tiba menyentuh bahu Esmeralda, membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, dan melihat suaminya telah berdiri di belakangnya. Esmeralda buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Sesekali ia kembali menatap ke arah pohon beringin. Tidak ada apapun di sana. Ia berpikir bahwa ia mulai berhalusinasi karena ia sering diteror sosok Genderuwo penunggu pohon besar itu. Esmeralda menarik nafasnya dengan berat. Pandangannya kembali ia arahkan pada Franky yang balas menatapnya dengan heran. "Dek, kamu ngapain duduk di depan sini?" tanyanya mulai membuka suara. "Nggak ada mas, aku cuma mencari udara segar. di dalam soalnya panas," sahut Esmeralda sekenanya. "Jangan sering melamun di depan pintu, dek. Pamali." Suara Franky terdengar tegas memberikan peringatan pada istrinya yang hanya tersenyum tipis. "Iya, mas." Esmeralda menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Bikinkan mas kopi, dek. Sebentar lagi Mas sama bapak mau pergi ke toko kelontong di pasar. Har
Esmeralda melangkah meninggalkan dapur. Ia membiarkan gelas yang telah berisi gula dan kopi di dekat wastafel. Langkahnya terseok menuju ke depan pintu, memperhatikan suaminya yang telah pergi bersama dengan bapak mertuanya. Raut wajah Esmeralda seketika berubah menjadi tegang, saat ibu mertuanya membalik tubuh. Tanpa bisa dihindari, keduanya saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum Esmeralda memilih untuk mengalihkan pandangannya. Ia buru-buru beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke kamar. Baru saja ia hendak meraih gagang pintu, rambutnya ditarik oleh Bu Edith dari belakang. "Kamu mau ngapain? hah?" "Aduh, Bu! sakit!" Esmeralda merintih sambil berusaha melepaskan cengkraman ibu mertuanya. "Aku bisa kena stroke menghadapi menantu seperti kamu!" Wanita tua itu mulai melepaskan tangannya dari rambut Esmeralda yang hanya tertunduk. "Aku mau pergi dulu! Kamu bersihkan semua rumah ini, dan jangan sampai ada yang terlewat! Kalau sampai aku pulang, kamu belum selesai me
Wajah Franky tampak pucat. Ia tidak menyahut sambutan istrinya. Lelaki itu melengos masuk begitu saja, melewati istrinya yang tampak mematung selama beberapa saat. Esmeralda segera menutup pintu. Ia berjalan mengikuti langkah Franky menuju ke kamar mereka berdua. "Mas, kamu sendiri? Mana bapak?" Meskipun semula ia tampak ragu-ragu, pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya juga pada lelaki itu. "Mas?" Kedua alis Esmeralda mengerut. Ia menatap wajah suaminya dengan heran saat ia menyadari bahwa lelaki itu hanya diam saja, dan sama sekali tak menyahutnya. Franky berjalan menghampiri istrinya yang masih tampak terbengong menatap keanehan dirinya. Hanya dengan sekali sentuhan, handuk yang menutupi tubuh bugil Esmeralda, terlepas dan menampakkan setiap lekuk tubuhnya yang putih dan mulus. Lelaki itu masih diam dan tanpa ekspresi menatap tubuh istrinya yang polos. Ia menarik tangan Esmeralda dengan lembut, dan menuntunnya untuk berbaring di atas tempat tidur, sementara lelaki itu mula
"Mas...." Suara Esmeralda terdengar lirih. Ia menatap raut wajah suaminya dengan tidak percaya. "Kenapa, dek? Mas benar-benar capek. Boleh nggak, mas tidur sebentar?" Lelaki itu balas menatap wajah Esmeralda yang terlihat seperti linglung. "Mas, semalam mas ada pulang kan?" tanyanya hendak memastikan kembali. "Duh, dek. Berapa kali lagi sih, mas harus ngomong ke kamu, kalau mas nggak ada pulang? Kamu tahu sendiri kan? Kalau malam, nggak ada ojek yang mau masuk hutan? Lagian kamu kenapa sih?" Lelaki itu mulai terlihat sedikit kesal. Ia membalikkan tubuhnya dan mulai tak menghiraukan istrinya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya, untuk beristirahat melepaskan lelahnya. "Jadi semalam itu apa?" gumam Esmeralda dalam hati. Tatapannya tampak kosong. Ia mencoba untuk berpikir dengan jernih. "Apakah aku hanya bermimpi saja?" Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, seolah antara hati dan pikirannya tidak sejalan. "Tapi itu terlalu nyata untuk dikatakan mimpi." Esmeralda m
Esmeralda bergegas menutup pintu, saat ia melihat ibu mertuanya menoleh ke arah kamarnya. Ia bergegas naik ke atas ranjang, dan berpura-pura tertidur dengan pulas. Dan benar saja firasatnya. Sayup-sayup ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka secara perlahan. Wanita tua itu berdiri di depan pintu, menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Dalam kegelapan di dalam kamarnya, Esmeralda masih bisa mengintip apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya. Wanita tua itu seolah mengawasi dirinya. Cukup lama ia berdiri di sana, yang membuat Esmeralda ketakutan. Blam! Suara pintu ditutup dengan cukup keras, yang membuat wanita itu tersentak. Suasana mendadak hening. Esmeralda mengintip untuk melihat situasi di dalam kamarnya. Wanita tua itu sudah tidak mengawasinya lagi. Hal itu membuat ia bisa bernafas dengan lega. "Apa yang dilakukan ibu ya? Kenapa dia kelihatan lebih menakutkan dari biasanya," gumamnya dengan lirih. ***Suasana makan siang, terlihat tegang dan kaku. Tak ada pembicaraan sel
Esmeralda diam selama beberapa saat. Ia menatap wajah suaminya yang balas menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Ya, ada sesuatu yang terjadi, mas," sahut wanita itu dengan lirih. Franky masih bungkam, menunggu istrinya melanjutkan ucapannya. "Benar seperti katamu. Aku terlalu banyak berhalusinasi. Bahkan aku berhalusinasi bahwa kamu pulang pada malam itu. Halusinasi itu terasa seperti nyata. Kamu tahu kenapa, mas?" Esmeralda menatap wajah suaminya dengan tatapan mata yang dalam, hingga Franky menjadi melemah. Lelaki itu tidak menyahut. Ia hanya menarik nafas panjang, dan membuangnya secara kasar. "Karena kamu terlalu sibuk memikirkan keluargamu. Tapi kamu sama sekali tidak mempedulikan bagaimana perasaanku, mas," lanjut Esmeralda setelah ia menyadari bahwa suaminya hanya diam saja, tidak memberikan respon. "Maafkan mas ya, dek? Mas stress dengan hidup mas yang seperti ini. Mas belum bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan mas yang sekarang. Selama ini, mas memiliki pekerjaan
Esmeralda beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan mengendap menuju ke pintu kamar. Ia membukanya secara perlahan, dan mengintip dari sedikit celah. Wanita itu tampak tersentak. Ia melihat Bu Edith berjalan melewati kamarnya. "Wanita tua itu dari mana?" gumamnya dalam hati dengan penasaran. Sudah beberapa kali ia menemukan ibu mertuanya berkeliaran pada tengah malam. Esmeralda kembali menutup pintu kamarnya. Ia berjalan kembali menuju ke tempat tidur untuk kembali membaringkan tubuhnya. Sambil menatap langit-langit, ia terus berusaha untuk berpikir. Kedua matanya yang mulai terasa berat, membuat ia memutuskan untuk kembali tidur. Pikiran-pikiran yang telah mengganggunya, ia tepis untuk sementara waktu. Baru beberapa menit ia tertidur, ia telah dikejutkan suara yang cukup nyaring, yang berasal dari dapur. Klontang! Hal itu membuat Esmeralda kembali membuka kedua matanya. Seketika, kantuknya menjadi Hilang.Segera ia beranjak dari tempat tidur, dan keluar dari kamarnya untuk