Sosok bertubuh besar dan tinggi, serta memiliki bulu yang lebat di sekujur tubuhnya, berdiri tepat di belakang Esmeralda yang tampak mematung dengan mulut menganga.
Sosok itu menatap wanita itu dengan kedua mata yang berwarna merah menyala. Sorot matanya terlihat tajam.Esmeralda terjatuh. Tubuhnya ia rasakan menggigil. Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh yang tampak kaku.Ini adalah kali pertama ia melihat sosok itu dengan jarak yang sangat dekat. Hanya beberapa centimeter saja.Sosok itu bergerak. Ia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Esmeralda yang segera memejamkan kedua matanya dengan sangat rapat. Ia merasakan takut setengah mati, saat ia merasakan desah nafas makhluk yang berdiri di hadapannya. Hawa panas menyeruak di sekitar wajahnya."Esme!" Suara teriakan keras Bu Edith terdengar memanggil wanita itu yang masih memaksa kedua matanya untuk terpejam."Esme!" Sekali lagi, ia mendengar suara itu semakin keras memanggil namanya.Pemilik nama itu berusaha mengumpulkan segenap keberaniannya untuk membuka kedua matanya.Sosok yang ia takuti itu telah menghilang, lenyap begitu saja.Sebuah sentakan di kepala bagian belakang Esmeralda dengan cukup keras, telah membuat wanita itu terkejut. Ia menoleh, melihat ibu mertuanya telah berdiri di belakangnya sambil berkacak pinggang menatap wanita itu dengan sorot mata yang tajam.Entah sejak kapan wanita tua itu telah berada di sana, Esmeralda sama sekali tidak mendengar suara langkah kakinya."Kenapa sih, kamu selalu saja lamban? Aku hanya menyuruhmu membuang sampah bekas ikan, kamu malah enak-enak duduk di sini?" Suara wanita tua itu terdengar sedikit lantang.Esmeralda buru-buru beranjak dari rerumputan berwarna hijau yang sedikit basah. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam, berusaha menyembunyikan airmatanya. Ia sangat bersyukur, ibu mertuanya datang tepat waktu."Saya minta maaf, Bu!" ucapnya dengan lirih. Suaranya terdengar sedikit terisak yang membuat Bu Edith sedikit kebingungan."Kamu kenapa, sih? Aku benar-benar nggak habis pikir sama kamu." Wanita tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berlalu pergi dari hadapan menantunya.Esmeralda yang melihat ibu mertuanya hendak masuk ke dalam rumah, ia buru-buru menyusul langkah wanita tua itu, berjalan di belakangnya sambil sesekali menoleh ke belakang, fokus menatap ke arah pohon beringin.Esmeralda terkejut, saat ia tanpa sengaja menangkap sorot mata berwarna merah menyala di dekat pohon beringin.Makhluk itu masih di sana, bersembunyi dalam kegelapan malam.***"Mas, aku benar-benar melihatnya," ucap Esmeralda saat Franky baru saja selesai mandi. Ia tampak mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggunakan handuk kecil."Mas, sosok itu benar-benar ada!" lanjut wanita itu saat ia menyadari bahwa tidak ada respon dari suaminya."Dek, berapa kali mas bilang sama kamu? Itu hanya halusinasi kamu saja!" ucap lelaki itu dengan enggan."Tapi, mas...." Belum sempat Esmeralda melanjutkan ucapannya, Franky dengan cepat memotongnya. "Dek, mas nggak mau dengar lagi cerita horor yang kamu kisahkan sama mas. Lebih baik, kamu tulis saja novel tentang makhluk yang kamu ceritakan itu. Mungkin saja banyak peminatnya," ucap lelaki itu sebelum ia berlalu pergi meninggalkan kamarnya. Ia menutup pintu dengan cukup keras, yang telah membuat Esmeralda sedikit tersentak."Kenapa sih mas, kamu nggak mau percaya sama omonganku sekali saja!" gumamnya dengan perasaan sedih. Ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia sudah tidak tahu lagi harus dengan cara apa, agar suaminya tidak menganggapnya hanya berhalusinasi dan mengarang sebuah cerita.Tok... Tok... Tok...Sebuah ketukan pintu yang cukup nyaring, telah menyita perhatian dari Esmeralda.Wanita itu buru-buru mengusap kedua matanya yang sedikit basah. Ia segera beranjak dari tepi tempat tidurnya untuk membukakan pintu."Bapak?" Kedua alis Esmeralda tampak mengerut. Ia menatap Pak Agus, yang merupakan bapak mertuanya itu dengan tatapan heran."Nduk, kamu belum makan dari semalam kan? Ayo makan dulu! Ibu dan suami kamu sudah menunggu di meja makan," ucapnya dengan ramah sambil mengulum senyuman tipis di bibirnya.Esmeralda hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah. Ia segera beranjak dari tempatnya, mengikuti langkah Pak Agus menuju ke meja makan.Saat Esmeralda duduk di sebelah Franky, ia menoleh, menatap Bu Edith yang balas menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Hal itu telah membuat wanita itu merasa canggung.Suasana makan siang, tampak hening. Tak ada pembicaraan sama sekali untuk memecahkan kesunyian yang berlangsung selama beberapa saat lamanya. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang saling beradu mengenai piring."Selesai makan, kamu langsung cuci piring!" ucap Bu Edith memberikan perintah. Ia segera beranjak dari kursi makan, berjalan menuju ke kamarnya.Bayangan wanita tua itu menghilang, bersamaan dengan pintu kamar yang tertutup secara rapat.Setelah kepergian ibu mertuanya, Pak Agus segera menyusul wanita tua itu ke dalam kamarnya.Kini di meja makan, hanya tersisa ia dan suaminya yang terlihat serius menikmati soup ayam buatan ibunya.Esmeralda menoleh, menatap wajah Franky dengan tatapan mata yang dalam."Mas...." Suaranya terdengar lirih memanggil, memecahkan kesunyian yang berlangsung cukup lama."Hm?" Franky hanya menggumam menyahuti panggilan istrinya. Ia seolah tidak terlalu tertarik untuk membalas panggilan wanita itu."Mas, bantu aku untuk mengambil bambu kuning ya?" ucap Esmeralda mengajukan permintaan pada Franky secara tiba-tiba."Bambu kuning?" Kedua alis lelaki itu tampak mengerut. Ia menatap raut wajah Esmeralda dengan tatapan heran. "Bambu kuning untuk apa sih, dek?"Wanita itu tidak langsung menjawab pertanyaan yang telah diajukan oleh suaminya. Ia mematung selama beberapa detik, mencoba untuk mengatur nafasnya yang terasa sedikit mencekik leher.Esmeralda memberanikan diri untuk menatap wajah Franky yang masih menatap wajahnya, yang masih terlihat menunggu jawaban dari wanita itu."Untuk apa, dek?" ulangnya sekali lagi dengan penasaran."Untuk penangkal, mas," sahut wanita itu dengan lirih. Kedua matanya terlihat berbinar, menyimpan harapan bahwa suaminya akan memenuhi permintaannya.Franky tersenyum kecut. Ia menggelengkan kepalanya dengan perlahan."Dek, kita sudah sepakat kan? Kita nggak akan membahas soal makhluk yang sering kamu ceritakan itu!" ucap lelaki itu dengan tegas, yang membuat Esmeralda merasa sedikit kecewa.Franky segera beranjak dari meja makan. Ia masuk ke dalam kamarnya sambil membanting pintu dengan cukup keras. Suaranya yang nyaring, telah membuat Esmeralda tersentak.Wanita itu menatap pintu kamar yang telah tertutup rapat sambil menghela nafasnya dengan kasar. Ia segera beranjak dari kursinya, mengumpulkan piring-piring yang kotor, dan membawanya ke wastafel untuk dicuci.Selesai mencuci piring, Esmeralda segera keluar dari rumahnya untuk mencari udara segar sambil menjernihkan pikirannya yang mulai tampak kusut.Wanita itu duduk di tangga yang berada di depan rumahnya. Entah kenapa, kedua matanya seperti mendapatkan sihir untuk selalu menatap ke arah pohon beringin itu.Esmeralda berusaha menajamkan penglihatannya, kala ia menemukan ada sesuatu yang tak sengaja tertangkap dalam pandangannya.***Sentuhan tangan lembut yang secara tiba-tiba menyentuh bahu Esmeralda, membuat wanita itu tersentak. Ia menoleh, dan melihat suaminya telah berdiri di belakangnya. Esmeralda buru-buru beranjak dari tempat duduknya. Sesekali ia kembali menatap ke arah pohon beringin. Tidak ada apapun di sana. Ia berpikir bahwa ia mulai berhalusinasi karena ia sering diteror sosok Genderuwo penunggu pohon besar itu. Esmeralda menarik nafasnya dengan berat. Pandangannya kembali ia arahkan pada Franky yang balas menatapnya dengan heran. "Dek, kamu ngapain duduk di depan sini?" tanyanya mulai membuka suara. "Nggak ada mas, aku cuma mencari udara segar. di dalam soalnya panas," sahut Esmeralda sekenanya. "Jangan sering melamun di depan pintu, dek. Pamali." Suara Franky terdengar tegas memberikan peringatan pada istrinya yang hanya tersenyum tipis. "Iya, mas." Esmeralda menganggukkan kepalanya dengan lemah. "Bikinkan mas kopi, dek. Sebentar lagi Mas sama bapak mau pergi ke toko kelontong di pasar. Har
Esmeralda melangkah meninggalkan dapur. Ia membiarkan gelas yang telah berisi gula dan kopi di dekat wastafel. Langkahnya terseok menuju ke depan pintu, memperhatikan suaminya yang telah pergi bersama dengan bapak mertuanya. Raut wajah Esmeralda seketika berubah menjadi tegang, saat ibu mertuanya membalik tubuh. Tanpa bisa dihindari, keduanya saling beradu pandang selama beberapa saat, sebelum Esmeralda memilih untuk mengalihkan pandangannya. Ia buru-buru beranjak dari tempatnya berdiri menuju ke kamar. Baru saja ia hendak meraih gagang pintu, rambutnya ditarik oleh Bu Edith dari belakang. "Kamu mau ngapain? hah?" "Aduh, Bu! sakit!" Esmeralda merintih sambil berusaha melepaskan cengkraman ibu mertuanya. "Aku bisa kena stroke menghadapi menantu seperti kamu!" Wanita tua itu mulai melepaskan tangannya dari rambut Esmeralda yang hanya tertunduk. "Aku mau pergi dulu! Kamu bersihkan semua rumah ini, dan jangan sampai ada yang terlewat! Kalau sampai aku pulang, kamu belum selesai me
Wajah Franky tampak pucat. Ia tidak menyahut sambutan istrinya. Lelaki itu melengos masuk begitu saja, melewati istrinya yang tampak mematung selama beberapa saat. Esmeralda segera menutup pintu. Ia berjalan mengikuti langkah Franky menuju ke kamar mereka berdua. "Mas, kamu sendiri? Mana bapak?" Meskipun semula ia tampak ragu-ragu, pada akhirnya ia memutuskan untuk bertanya juga pada lelaki itu. "Mas?" Kedua alis Esmeralda mengerut. Ia menatap wajah suaminya dengan heran saat ia menyadari bahwa lelaki itu hanya diam saja, dan sama sekali tak menyahutnya. Franky berjalan menghampiri istrinya yang masih tampak terbengong menatap keanehan dirinya. Hanya dengan sekali sentuhan, handuk yang menutupi tubuh bugil Esmeralda, terlepas dan menampakkan setiap lekuk tubuhnya yang putih dan mulus. Lelaki itu masih diam dan tanpa ekspresi menatap tubuh istrinya yang polos. Ia menarik tangan Esmeralda dengan lembut, dan menuntunnya untuk berbaring di atas tempat tidur, sementara lelaki itu mula
"Mas...." Suara Esmeralda terdengar lirih. Ia menatap raut wajah suaminya dengan tidak percaya. "Kenapa, dek? Mas benar-benar capek. Boleh nggak, mas tidur sebentar?" Lelaki itu balas menatap wajah Esmeralda yang terlihat seperti linglung. "Mas, semalam mas ada pulang kan?" tanyanya hendak memastikan kembali. "Duh, dek. Berapa kali lagi sih, mas harus ngomong ke kamu, kalau mas nggak ada pulang? Kamu tahu sendiri kan? Kalau malam, nggak ada ojek yang mau masuk hutan? Lagian kamu kenapa sih?" Lelaki itu mulai terlihat sedikit kesal. Ia membalikkan tubuhnya dan mulai tak menghiraukan istrinya. Ia berusaha untuk memejamkan kedua matanya, untuk beristirahat melepaskan lelahnya. "Jadi semalam itu apa?" gumam Esmeralda dalam hati. Tatapannya tampak kosong. Ia mencoba untuk berpikir dengan jernih. "Apakah aku hanya bermimpi saja?" Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan cepat, seolah antara hati dan pikirannya tidak sejalan. "Tapi itu terlalu nyata untuk dikatakan mimpi." Esmeralda m
Esmeralda bergegas menutup pintu, saat ia melihat ibu mertuanya menoleh ke arah kamarnya. Ia bergegas naik ke atas ranjang, dan berpura-pura tertidur dengan pulas. Dan benar saja firasatnya. Sayup-sayup ia mendengar suara pintu kamarnya terbuka secara perlahan. Wanita tua itu berdiri di depan pintu, menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Dalam kegelapan di dalam kamarnya, Esmeralda masih bisa mengintip apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya. Wanita tua itu seolah mengawasi dirinya. Cukup lama ia berdiri di sana, yang membuat Esmeralda ketakutan. Blam! Suara pintu ditutup dengan cukup keras, yang membuat wanita itu tersentak. Suasana mendadak hening. Esmeralda mengintip untuk melihat situasi di dalam kamarnya. Wanita tua itu sudah tidak mengawasinya lagi. Hal itu membuat ia bisa bernafas dengan lega. "Apa yang dilakukan ibu ya? Kenapa dia kelihatan lebih menakutkan dari biasanya," gumamnya dengan lirih. ***Suasana makan siang, terlihat tegang dan kaku. Tak ada pembicaraan sel
Esmeralda diam selama beberapa saat. Ia menatap wajah suaminya yang balas menatapnya dengan sorot mata yang tajam. "Ya, ada sesuatu yang terjadi, mas," sahut wanita itu dengan lirih. Franky masih bungkam, menunggu istrinya melanjutkan ucapannya. "Benar seperti katamu. Aku terlalu banyak berhalusinasi. Bahkan aku berhalusinasi bahwa kamu pulang pada malam itu. Halusinasi itu terasa seperti nyata. Kamu tahu kenapa, mas?" Esmeralda menatap wajah suaminya dengan tatapan mata yang dalam, hingga Franky menjadi melemah. Lelaki itu tidak menyahut. Ia hanya menarik nafas panjang, dan membuangnya secara kasar. "Karena kamu terlalu sibuk memikirkan keluargamu. Tapi kamu sama sekali tidak mempedulikan bagaimana perasaanku, mas," lanjut Esmeralda setelah ia menyadari bahwa suaminya hanya diam saja, tidak memberikan respon. "Maafkan mas ya, dek? Mas stress dengan hidup mas yang seperti ini. Mas belum bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan mas yang sekarang. Selama ini, mas memiliki pekerjaan
Esmeralda beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan mengendap menuju ke pintu kamar. Ia membukanya secara perlahan, dan mengintip dari sedikit celah. Wanita itu tampak tersentak. Ia melihat Bu Edith berjalan melewati kamarnya. "Wanita tua itu dari mana?" gumamnya dalam hati dengan penasaran. Sudah beberapa kali ia menemukan ibu mertuanya berkeliaran pada tengah malam. Esmeralda kembali menutup pintu kamarnya. Ia berjalan kembali menuju ke tempat tidur untuk kembali membaringkan tubuhnya. Sambil menatap langit-langit, ia terus berusaha untuk berpikir. Kedua matanya yang mulai terasa berat, membuat ia memutuskan untuk kembali tidur. Pikiran-pikiran yang telah mengganggunya, ia tepis untuk sementara waktu. Baru beberapa menit ia tertidur, ia telah dikejutkan suara yang cukup nyaring, yang berasal dari dapur. Klontang! Hal itu membuat Esmeralda kembali membuka kedua matanya. Seketika, kantuknya menjadi Hilang.Segera ia beranjak dari tempat tidur, dan keluar dari kamarnya untuk
"Nduk? Kamu mau ke mana?" tanya wanita itu saat ia telah berdiri di hadapan Esmeralda yang menatapnya dengan tajam. "Mau ke puskesmas, Bu," sahut Esmeralda dengan enggan. "Kamu nggak enak badan?" tanya wanita itu lagi, hendak memastikan. Esmeralda hanya menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Tiba-tiba saja tangan Bu Valentine bergerak menyentuh perut Esmeralda. Ia meraba dengan perlahan. Sebuah senyum tercetak jelas di bibirnya. Hal itu telah membuat Esmeralda sedikit kebingungan melihat reaksi Bu Valentine. "Nduk, sepertinya kamu nggak sakit," ucap wanita itu dengan lirih, yang membuat Esmeralda mengerutkan kedua alisnya, menatap wajah Bu Valentine dengan tatapan heran. "Apa maksud ibu?" tanyanya dengan penasaran. "Kamu hamil, nduk!" sahut Bu Valentine yang membuat Esmeralda tak bisa berkata-kata. "Saya permisi dulu, Bu!" wanita itu cepat-cepat beranjak dari hadapan Bu Valentine yang masih menatapi kepergiannya. Sementara itu, Esmeralda duduk di ruang tunggu puskesmas samb