Sikat gigi di kantong dan handuk yang tersampir di bahu hampir terjatuh begitu saja kala Dinara bersitatap singkat dengan lelaki yang pagi- pagi telah berdiri di depan pagar rumahnya.
Jemari panjangnya dengan cekatan membuka kunci gerbang. Mata yang belum terbuka sepenuhnya itu sedikit menyipit saat menemukan sosok tinggi mengenakan kaos tanpa lengan dan sepatu olahraga berdiri dihadapannya. Orang itu jelas baru selesai olahraga pagi. Tidak seperti Dinara yang baru saja beranjak dari ranjang kesayangannya. Kalau bukan karena suara baritone orang dihadapannya ini, Dinara mungkin masih sibuk berkelana dalam mimpi.
Memang apa yang diharapkan dari hari minggu Dinara? Setelah setiap hari bekerja sambil kuliah, setidaknya dia ingin minggu menjadi hari santainya.
Dinara masih mengenakan kaos kebesaran ditambah rambutnya super acak- acakan. Bahkan dia tak repot- repot mengenakan alas kaki untuk keluar rumah.
"Cari siapa, ya?" tanyanya sembari masih berusaha mengumpulkan nyawa.
Lelaki yang memegang kotak bening itu mematung sebentar. Beberapa detik kemudian senyumnya tercetak jelas meskipun wajahnya ditutupi masker berwarna hitam. Untuk beberapa saat Dinara sempat terpana karena garis dahi lelaki itu menurutnya sangat menawan.
Dia bahkan sudah kelihatan tampan saat masih menggunakan masker. Selain itu, postur fisiknya lumayan. Tinggi semampai, rambut sedikit panjang yang basah ditambah dengan otot bisep dan dada yang sepertinya cukup terlatih.
Dinara hampir saja menganga karena menurutnya laki-laki tersebut bahkan ada diatas rata- rata tampan. Kapan lagi dia bisa mendapat pemandangan gratis se-menyenangkan ini?
"Maaf mengganggu pagi- pagi, saya tetangga baru disebelah." Lelaki itu membuyarkan lamunan Dinara sebentar. Dia menunjuk rumah yang berada tepat disebelahnya. Dinara ikut melirik kesamping dan baru menyadari bahwa rumah kosong disebelahnya ternyata kini telah berpenghuni.
Oh tetangga baru, ya? Dalam hati saja Dinara sudah jingkrak-jingkrak tak karuan. Mimpi apa dia semalam tiba- tiba punya tetangga ganteng begini?
Dinara fokus pada hazel gelap dan bulu mata tebal yang mengerjap kearahnya. Laki- laki itu jelas punya jenis tatapan yang mempesona.
Meskipun Dinara cukup lama menjomblo dan memang sedang tak punya secuil pun ketertarikan untuk menjalin hubungan sekarang ini, melihat lelaki tampan tetap saja merupakan bagian dari cuci mata yang sah-sah saja.
"Ini dari mama saya, sebagai perkenalan dengan tetangga," lanjut lelaki itu.
Dinara perlahan menerima uluran dua kotak kue dengan senang hati. Kalau tadi dia sempat terpesona dengan si lelaki, kali ini fokusnya dicuri oleh dua kotak coklat cookies yang dia pegang. Memang pesona makanan gratis amat bisa mengalahkan apapun baginya.
"Terimakasih," Dinara berujar tulus nan riang. Senyumnya mengembang cerah, hampir mengalahkan binar matahari pagi ini. Ada keheningan sebentar sebelum suara lelaki itu kembali mengalun lembut.
"Dinara.."
"Ya?" Dinara refleks menyahut dengan senyuman.
Tapi sebentar...
Mereka baru bertemu pagi ini, kan? Bagaimana bisa laki- laki dihadapannya itu langsung tahu namanya?
Senyum di wajah Dinara perlahan memudar. Dia menatap lelaki asing tersebut dengan was-was. Apa jangan- jangan orang itu adalah penguntit?
"Remember me?"
Dahi Dinara makin berkerut. Dia tiba- tiba saja merasa bulu kuduknya merinding. Ditambah lagi, suara baritone yang dalam dan serak itu tiba- tiba terdengar familiar bagi indra pendengarannya.
Dengan tinggi 168 senti, Dinara masuk golongan perempuan yang cukup tinggi. Tapi laki- laki dihadapannya memang sepertinya punya tinggi yang menjulang juga sehingga Dinara masih harus mendongak untuk menatapnya. Ditengah terpaan kebingungan, Dinara refleks melangkah mundur ketika lelaki asing itu justru mendekat kearahnya.
"K-kamu mau apa?"
Jarak ini terlalu dekat, apalagi untuk lelaki asing yang pertama kali bertemu dengannya. Wangi alami tubuh sang lelaki menyeruak memenuhi indra penciuman Dinara membuatnya sedikit pusing. Bukan karena bercampur keringat, namun karena terlalu maskulin dan sepertinya bisa membuat lututnya lemas, hehehe.
Dengan gerakan pelan, tangan besarnya membuka masker perlahan. Saat itu, Dinara sempat terpana karena seperti dugaannya, lelaki dihadapannya memang diatas kata tampan.
Tapi tunggu dulu, kenapa wajah ini terlihat familiar?
Dinara melotot sekaligus melongo. Dia hampir saja terjerambab ke belakang jika saja tangan besar itu tidak menahan pinggangnya. Kini deru nafas lelaki dihadapannya terasa makin dekat berhembus di kulit wajahnya.
Sebuah senyuman iblis terpatri disana, menggantikan segala kelembutan yang sempat Dinara bayangkan. Laki- laki dihadapannya sekarang bukanlah malaikat, melainkan iblis yang menyamar di bumi.
"N-ngapain disini?!" Dinara akhirnya berhasil menjaga keseimbangan dan mendorong keras tubuh besar itu untuk memberi jarak. Dia tak bisa lengah apalagi ketika menyadari tatapan yang berusaha keras dia lupakan sejak lima tahun lalu itu.
Kedua alis laki- laki tersebut naik dibarengi bibirnya yang menyeringai, "udah jelas, kan?"
Dinara merutuk, bagaimana bisa laki- laki ini menjadi tetangganya sekarang? Bagaimana nasib hari-hari temaram Dinara selanjutnya?
"Apa kabar, Dinara?"
Hampir saja jantungnya mencelos kebawah karena sebuah pertanyaan sederhana. Gadis itu berusaha mengumpulkan kembali kesadaran dan rasionalitas yang telah dia rangkai bertahun- tahun. Dia tak akan terjebak lagi akan pertanyaan klise yang disampaikan iblis dihadapannya itu.
Pandangannya kini berubah dingin nan menajam. Dinara mengeraskan rahangnya tak gentar.
"Lo lihatnya gimana?" dia menjawab ketus.
Lelaki itu tertawa kecil, dia menatap Dinara dari atas ke bawah yang membuat Dinara benar- benar risih.
"Tentu, lo masih kelihatan luar biasa. Masih sama cantiknya seperti dulu," ujarnya santai sembari memasukkan kedua tangannya di kantong celana pendek yang dia kenakan.
Tidak ada pipi merona atau debaran menyenangkan yang Dinara rasakan. Saat ini dia justru terus meningkatkan genderang kewaspadaan.
"Baru bangun tidur, ya?"
Pertanyaan semakin sok akrab dan Dinara sangat benci itu.
"Bukan urusan lo!"
Lelaki itu kembali tertawa kecil, "anyway.."
Dia menjeda kalimat sembari menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. Lalu berdehem, "enggak sebesar itu tapi laki- laki manapun bisa saja tergoda."
Dahi Dinara makin mengerut, lelaki dihadapannya menjeda dengan berdehem lagi untuk kesekian kali.
"Sebaiknya jangan dipamerin."
Telunjuknya mengarah dengan kurang ajar. Dinara tanpa sadar mengikuti kemana arah telunjuk itu berlabuh.
"Nyeplak," tandas lelaki itu akhirnya. Dia tersenyum miring saat Dinara akhirnya menyadari kemana arah pembicaraan ini.
Gadis itu jelas melotot kaget. Dia menutup gerbang secara cepat lalu berlari masuk dan segera membanting pintu utama keras- keras. Cookies dia letakkan di meja dan tangannya kini reflek menyilang di depan dada.
Dinara menghentakkan kedua kakinya keras, rasanya dia ingin menghilang dan pindah ke Planet Mars sekarang.
"SANDI ARSENA BRENGSEK!"
Rasanya Dinara ingin mencak-mencak meluapkan seluruh kekesalannya. Hari minggu yang biasanya menjadi hari temaram kesayangannya kini seolah berubah menjadi mimpi buruk. Sepertinya Dinara harus menandai kalender hari ini sebagai hari apes khususnya.Bertahun- tahun tidak bertemu, tadi pagi Dinara justru bertemu si menyebalkan Sandi Arsena dengan tampilan paling memalukan. Padahal Dinara kan ingin sekali seperti gadis- gadis di cerita fiksi yang seolah membalaskan dendam pada lelaki masa lalu yang menolak mereka. Tumbuh menjadi gadis cantik dan sukses yang bisa memamerkan kesuksesannya sehingga para lelaki bodoh itu menyesal menyia-nyiakan mereka.Ah, itu semua tinggal angan- angan. Sandi sudah merusak khayalan sempurnanya itu pagi tadi. Meskipun bukan seratus persen salah lelaki tinggi itu, tetap saja Dinara tidak terima. Kenapa juga dia harus tampil memalukan seperti itu?Tapi masalahnya belum berakhir. Sekarang ini Dinara benar- benar tidak tahu lagi harus meletakkan wajahnya dimana.
Dinara mengenakan sepatu hak tinggi miliknya dengan tergesa. Berkas masih belum rapi dan tas yang bertanggar di bahu keadaan resleting terbuka. Gadis dua puluh dua tahun itu hampir saja terjerembab jatuh dari tangga kalau saja tadi sang adik tidak menahan tubuhnya. "Kakak panik banget ! Hati- hati dong!" teriak Dikta yang telah mengenakan seragam sekolah lengkap. Dinara tak mengindahkan kicauan siapapun, dia langsung menarik satu potong roti dan berlalu keluar pintu rumah. "Semuanyaa, Dinara berangkat duluan!" teriaknya sambil berlalu.Kalau saja kemarin malam dia tidak memaksakan diri mengerjakan berkas sampai subuh, mungkin sekarang Dinara tidak akan terlambat bangun. Sebenarnya kalaupun tidak dikerjakan, gadis itu masih punya cukup waktu untuk mengerjakannnya di kantor. Tapi begitulah Dinara jika sudah tenggelam dalam satu pekerjaan. Mungkin jika ada gempa bumi-pun dia tidak akan sadar. Langkah grasa-grusunya terhenti kala netranya menyadari bahwa mobilnya tak berada di tempat s
"Lain kali izin H-1 sama gue!" Dinara menerima kunci sembari sebelah tangannya menoyor pelan adik sepupunya. Keenan meringis, dia memasang tampang kesal karena Dinara masih saja suka menoyornya sembarangan."Ya namanya juga mendadak, kak. Gue juga gaktau kalo si semok mogok begitu," ujarnya membela diri.Dinara mengernyit, "si semok?" Keenan memutar bola matanya malas, "mobil gue," balasnya. Dinara hampir menganga mendengar jawaban acak adik sepupunya itu. Lelaki dua puluh tahun yang merupakan putra dari adik ayahnya. Rumah mereka kebetulan berada di kompleks yang sama sehingga kalau ada apa- apa jadi mudah saling bantu. Apalagi baik orang tua Dinara ataupun Keenan sama-sama pebisnis yang sering hilir mudik keluar kota meninggalkan anak- anak di rumah.Gadis itu tidak ingin meladeni lebih jauh perbincangan tidak penting tentang nama aneh mobil sepupunya itu. Dia bersidekap sembari mengusir Keenan dari wilayah tempat kerjanya. Namun sekali lagi laki- laki itu melebarkan senyuman men
Jalanan lenggang membuat Dinara berhasil tiba lebih cepat. Dia membelokkan mobil masuk kompleks perumahan dan akhirnya sampai tepat di kediamannya. Ketika hendak menutup kembali gerbangnya, Dinara melirik rumah sebelah yang nampak ramai dengan beberapa mobil- mobil asing. Pikirnya, mungkin keluarga Sandi kedatangan beberapa tamu berhubung mereka baru saja pindah. Dinara tentu tak ambil pusing. Dia langsung masuk kedalam rumah dan menemukan situasi sepi seperti biasanya. Dia mengambil segelas air lebih dulu sebelum memutuskan naik kearah kamar tidurnya. Sebelum masuk, lebih dulu Dinara memeriksa kamar Dikta, adiknya. Didapatinya remaja itu sedang tekun di meja belajarnya. "Mama sama papa udah berangkat, dek?" tanyanya. Memang semalam kedua orang tuanya itu sudah memberi info bahwa mereka akan pergi keluar kota selama beberapa hari untuk mengurus pekerjaan. Dikta membalik tubuhnya dan mengangguk pada Dinara. Remaja laki- laki itu melepas kaca mata belajar miliknya. Dinara terseny
Dinara memutar bola matanya malas sebab nasi goreng yang tadinya dia siapkan untuk diri sendiri sekarang harus dia bagi dua. Setelah memutuskan untuk membawa Sandi masuk kedalam rumahnya, dia harus merelakan porsinya dibagi dua. Lelaki yang duduk santai lesehan di ruang tamu itu makan dengan super lahap seolah tidak sempat makan tiga hari. "Lo ada acara di rumah gak sempet colek makanan dikit gitu?" sarkas Dinara sembari menyuap nasi goreng di piringnya."Jangankan makanan, gue aja kaget yang dateng tiba- tiba sekampung. Awalnya gue cuma ngajakin sepuluh orang. Eh mereka pada ngajakin pacarnya, belum lagi pacar- pacarnya pada bawa temen," ujar Sandi menggebu. Lelaki itu meneguk air dalam gelas yang juga sudah Dinara siapkan sebelumnya. Piringnya sudah bersih sekarang. "Tempat cuci piringnya dimana, Nar?" tanya sandi sembari berdiri. Dinara yang baru saja menghabiskan nasinya ikut beranjak. "Sini biar gue aja!" Tangannya hendak menagih piring di tangan Sandi. Namun dengan cepat le
Lampu remang- remang yang sedari tadi menyorot mendadak berkedip. Seolah seirama dengan mata Dinara yang mengedip heran mendengar ucapan mendadak Sandi. Lelaki dengan rahang tegas itu seolah menenggelamkannya dalam tatapan kelam. Dinara merasakan dejavu yang mendadak membuat ngilu kembali menjalar di hatinya. Ada kebingungan yang sempat mencuat namun dengan cepat ditepis oleh sisi rasionalnya. Gadis itu kembali pada wajah datarnya, "Sekarang gue paham kenapa lo sampai dikejar- kejar penggemar gila. Lo gampang mengumbar omongan," ujarnya. Sandi yang awalnya diam kini kembali tertawa kecil. "Lo gak baper?" tanya Sandi."Kalau maksudnya bawaan laper, ya gue baper," jawabnya tanpa beban. Sekali lagi Sandi tergelak akan jawaban santai bernada datar milik Dinara.Awalnya Sandi pikir Dinara adalah sosok kaku seperti apa yang teman-temannya ceritakan dahulu. Mereka bilang Dinara hanyalah gadis ambisius yang tidak bisa bercanda. Masuk daftar hitam untuk didekati karena sulit digapai. Namu
"Din, Mas Alam udah kirim fotonya. Tolong langsung buatin deskripsinya sekarang ya!""Minta tolong revisian naskah yang Pak Samsul kemarin dong, Din!""Bu Alana minta draft-nya harus rampung nanti sore, langsung print out aja kalo udah kelar!"Hari-hari hectic Dinara berjalan seperti biasanya. Penuh dengan pekerjaan yang padat merayap namun syukurnya masih bisa dia kerjakan dengan baik. Jemarinya tak henti bergerak lincah diatas keyboard saat merevisi naskah buatan rekan-rekan satu timnya. Setelah selesai, Dinara akan langsung mengirimkannya pada Kepala Divisi untuk ditinjau kembali atau mengembalikannya lengkap dengan catatan.Terdengar suara-suara sendi saat Dinara mulai meregangkan tubuhnya di depan meja kerja. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kiri menunjukkan pukul empat lebih tiga puluh menit, dia bisa pulang tiga puluh menit lagi kalau memang tidak ada lembur hari ini. Dinara meninjau lagi daftar pekerjaannya. Menandai mereka dengan tanda centan
"Oh iya, surat pengajuan cuti dua hari kamu sudah disetujui HR. Good luck wisudanya, ya!" Bu Alana berujar usai dia melahap potongan terakhir brownies bagiannya. Dinara yang mendengar kabar baik langsung memamerkan deretan giginya, "terimakasih, bu!"Ia memang telah mengajukan cuti dua hari untuk wisudanya nanti. Satu untuk gladi dan satu lagi untuk hari wisuda. Meskipun masih dua minggu lagi, Dinara harus mengajukan jauh-jauh hari karena itulah prosedur yang berlaku di perusahaan.Mendengar wisuda, tiga serangkai yang tadinya masih asik menghabiskan cemilan langsung kembali bersuara. "Emang udah selesai ngurus surat-surat kelengkapan wisuda, Din?" tanya Stecia.Dinara mengangguk, "udah kelar minggu lalu. Itu lho pas gue izin datang terlambat karena harus ke kampus nyetor berkas kelengkapan wisuda," ujar Dinara. Stecia menerawang karena baru ingat. "Terus kebaya sama MUA juga udah siap?" tanya Kalila kali ini. Dinara mengangguk lagi. Semuanya memang sudah disiapkan sejak lama. K